Tuesday, August 5, 2008

IDEOLOGI-IDEOLOGI DALAM DUNIA

KEPEMIMPINAN

BERFIKIR

DALAM ISLAM

IDEOLOGI-IDEOLOGI DALAM DUNIA

Apabila kita telusuri seluruh dunia ini, maka yang kita dapati hanya ada tiga mabda (ideologi). Yaitu Kapitalisme, Sosialisme termasuk Komunisme, dan Islam. Dua mabda pertama, masing-masing diemban oleh satu atau beberapa negara. Sedangkan mabda yang ketiga yaitu Islam, tidak diemban oleh satu negarapun, melainkan diemban oleh individu-individu dalam masyarakat. Sekalipun demikian, mabda ini tetap ada di seluruh penjuru dunia.

Mengenai kapitalisme, sesungguhnya mabda ini tegak atas dasar pemisahan antara agama dengan kehidupan (sekularisme). Ide ini menjadi aqidahnya (sebagai asas), sekaligus sebagai qiyadah fikriyah (kepemimpinan ideologis), serta qaidah fikriyah (landasan berfikir)-nya. Atas dasar landasan berpikir ini, mereka berpendapat bahwa manusia sendirilah yang berhak membuat peraturan hidupnya. Diharuskan pula untuk mempertahankan kebebasan manusia yang terdiri dari kebebasan beraqidah, berpendapat, hak milik, dan kebebasan pribadi. Dari kebebasan hak milik ini dihasilkan sistem ekonomi kapitalis, yang merupakan hal yang paling menonjol dalam mabda ini atau yang dihasilkan oleh aqidah mabda ini. Oleh karena itu, mabda tersebut dinamakan mabda kapitalisme. Sebuah nama yang diambil dari aspek yang paling menonjol dalam mabda itu.

Akan halnya demokrasi yang dianut oleh mabda ini, berasal dari pandangannya bahwa manusia berhak membuat peraturan (undang-undang). Oleh karena itu, menurut keyakinan mereka, rakyat adalah sumber kekuasaan. Rakyatlah yang membuat perundang-undangan. Rakyat pula yang menggaji kepala negara untuk menjalankan undang-undang yang telah dibuatnya. Rakyat berhak mencabut kembali kekuasaan itu dari kepala negara, sekaligus menggantinya, termasuk merubah undang-undang sesuai dengan kehendaknya. Hal ini karena kekuasaan dalam sistem demokrasi adalah kontrak kerja antara rakyat dengan kepala negara yang digaji untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan undang-undang yang telah dibuat oleh rakyat.

Sekalipun demokrasi berasal dari ideologi mabda ini, akan tetapi kurang menonjol dibandingkan dengan sistem ekonominya. Buktinya sistem kapitalisme di Barat ternyata sangat mempengaruhi elite kekuasaan (pemerintahan) sehingga mereka tunduk kepada para kapitalis (pemilik modal, konglomerat). Bahkan hampir-hampir dapat dikatakan bahwa para kapitalislah yang menjadi penguasa sebenarnya di negara-negara yang menganut mabda ini. Di samping itu demokrasi bukanlah ciri khas dari mabda ini, sebab komunis pun juga menyuarakannya dan menyatakan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat. Oleh karena itu lebih tepat bila mabda ini dinamakan mabda kapitalisme.

Kelahiran mabda ini bermula pada saat kaisar dan raja-raja di Eropa dan Rusia menjadikan agama sebagai alat untuk memeras, menganiaya dan menghisap darah rakyat. Para pemuka agama, waktu itu, dijadikan perisai untuk mencapai keinginan mereka. Maka timbulah pergolakan sengit, yang kemudian membawa kebangkitan bagi para filosof dan cendekiawan. Sebagian mereka mengingkari adanya agama secara mutlak. Sedangkan yang lainnya mengakui adanya agama, tetapi menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan dunia. Sampai akhirnya pendapat mayoritas dari kalangan filosof dan cendekiawan itu lebih cenderung memilih ide yang memisahkan agama dari kehidupan, yang kemudian menghasilkan usaha pemisahan antara agama dengan negara. Disepakati pula pendapat untuk tidak mempermasalahkan agama, dilihat dari segi apakah diakui atau ditolak. Sebab, yang menjadi masalah adalah agama itu harus dipisahkan dari kehidupan.

Ide ini dianggap sebagai kompromi antara pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus tunduk kepada mereka --dengan mengatasnamakan agama-- dengan para filosof dan cendekiawan yang mengingkari adanya agama dan dominasi para pemuka agama. Jadi, ide sekulerisme ini sama sekali tidak mengingkari adanya agama, akan tetapi juga tidak memberikan peran dalam kehidupan. Yang mereka lakukan tidak lain memisahkannya dari kehidupan.

Berdasarkan hal ini, maka aqidah yang dianut oleh Barat secara keseluruhan adalah sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan. Aqidah ini merupakan qaidah fikriyah yang menjadi landasan setiap pemikiran. Di atas dasar inilah ditentukan setiap arah pemikiran manusia dan arah pandangan hidupnya. Berdasarkan hal ini pula, dipecahkan berbagai problematika hidup, lalu ideologi ini dijadikan sebagai qiyadah fikriyah yang diemban dan disebarluaskan oleh dunia Barat ke seluruh dunia.

Aqidah sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan, pada hakekatnya merupakan pengakuan secara tidak langsung akan adanya agama. Mereka mengakui adanya Pencipta alam semesta, manusia, dan hidup, serta mengakui adanya hari Kebangkitan. Sebab, semua itu adalah dasar pokok agama, ditinjau dari keberadaan suatu agama.

Dengan pengakuan ini berarti telah diberikan suatu ide tentang alam semesta, manusia, dan hidup, serta apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia, sebab mereka tidak menolak eksistensi agama. Namun tatkala ditetapkan bahwa agama harus dipisahkan dari kehidupan, maka pengakuan itu akhirnya hanya sekadar formalitas belaka, karena sekalipun mereka mengakui eksistensinya, tetapi pada dasarnya mereka menganggap bahwa kehidupan dunia ini tidak ada hubungannya dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia.

Anggapan ini muncul ketika dinyatakan adanya pemisahan agama dari kehidupan, dan bahwasanya agama hanya sekedar hubungan antara individu d engan Penciptanya saja. Dengan demikian, didalam aqidah sekuler secara tersirat mengandung pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup. Jadi mabda kapitalisme berdasarkan uraian yang dijelaskan di atas dianggap sebagai suatu mabda sebagaimana mabda-mabda yang lainnya.

Adapun sosialisme, termasuk juga komunisme, dua-duanya memandang bahwa alam semesta, manusia, dan hidup merupakan materi belaka, dan bahwasanya materi menjadi asal dari segala sesuatu. Dari perkembangan dan evolusi materi inilah benda-benda lainnya menjadi ada. Tidak ada satu zat pun yang terwujud sebelum alam materi ini.

Dalam pandangannya, materi itu bersifat azali (tak berawal dan tak berakhir), qadim (terdahulu) dan tidak seorangpun yang mengadakannya --dengan kata lain bersifat wajibul wujud (wajib adanya). Oleh karena itu, penganut ideologi ini mengingkari kalau alam ini diciptakan oleh Zat Yang Maha Pencipta. Mereka mengingkari aspek kerohanian dalam segala sesuatu, dan beranggapan bahwa pengakuan adanya aspek rohani merupakan sesuatu yang berbahaya bagi kehidupan. Agama dianggap sebagai candu yang meracuni masyarakat dan menghambat pekerjaan. Bagi mereka tidak ada sesuatu yang berwujud kecuali hanya materi, bahkan menurutnya, berpikir pun merupakan cerminan/refleksi dari materi ke dalam otak. Materi adalah pangkal berpikir dan pangkal dari segala sesuatu, yang berproses dan berkembang dengan sendirinya lalu mewujudkan segala sesuatu. Ini berarti mereka mengingkari adanya Sang Pencipta dan menganggap materi itu bersifat azali, serta mengingkari adanya sesuatu sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Yang mereka akui hanya kehidupan dunia ini saja.

Meskipun kedua mabda kapitalisme dan sosialisme ini berselisih pendapat dalam ide dasar tentang manusia, alam, dan hidup, akan tetapi keduanya sepakat bahwa nilai-nilai yang paling tinggi dan terpuji pada manusia adalah nilai-nilai yang ditetapkan oleh manusia itu sendiri. Dan bahwasanya kebahagiaan itu adalah dengan memperoleh sebesar-besarnya kesenangan yang bersifat jasmaniah. Menurut pandangan kedua mabda ini, cara itu adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan. Bahkan, itulah kebahagiaan yang sebenarnya. Keduanya juga sependapat dalam memberikan kebebasan pribadi bagi manusia, bebas berbuat semaunya menurut apa yang diinginkannya selama ia melihat dalam perbuatannya itu terdapat kebahagiaan. Maka dari itu tingkah laku atau kebebasan pribadi merupakan sesuatu yang diagung-agungkan oleh kedua mabda ini.

Akan tetapi kedua ideologi tersebut berbeda pandangannya tentang individu dan masyarakat. Kapitalisme adalah mabda individualis, yang berpendapat bahwa masyarakat terbentuk dari individu-individu. Mabda ini tidak memprioritaskan pandangannya terhadap masyarakat secara utuh, namun lebih mengutamakan pandangannya terhadap individu. Oleh karena itu, dalam kapitalisme kebebasan individu harus dijamin. Dan sebagai jaminan atas kemerdekaannya, masing-masing individu bekerja untuk (memelihara eksistensi) masyarakat. Bertolak dari sinilah kebebasan beraqidah (memilih sekehendaknya agama dan kepercayaan) adalah sebagian dari apa yang mereka agung-agungkan, sama halnya dengan kebebasan ekonomi yang mereka bangga-banggakan. Falsafah mabda ini tidak membatasi kebebasan tersebut, akan tetapi negara membatasai dengan menggunakan kekuatan militer dan ketegasan undang-undangnya. Namun demikian negara hanya berfungsi sebagai sarana, bukan tujuan. Untuk itulah, pada akhirnya kekuasaan tetap berada pada individu dan bukan pada negara. Dengan demikian mabda kapitalis mengemban suatu ide yang dijadikan sebagai dasar untuk memimpin bangsa-bangsa (qiyadah fikriyah), yaitu pemisahan antara agama dengan kehidupan. Berdasarkan ideologi inilah kapitalisme menjalankan roda pemerintahan dan peraturan-peraturannya, mempropagandakan, serta berusaha terus-menerus untuk menerapkannya di setiap tempat.

Adapun sosialisme, termasuk komunisme adalah mabda yang memandang masyarakat sebagai satu kesatuan yang menyeluruh, yang terdiri dari manusia dan interaksinya dengan alam. Hubungan ini bersifat mutlak dan pasti, serta mereka tunduk padanya secara mutlak dan otomatis. Kesatuan ini secara keseluruhan merupakan satu bagian yang tak terpisahkan, yang terdiri dari alam, manusia, dan interaksinya, yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Manusia secara individu merupakan bagian dari alam. Faktor ini menonjol pada diri manusia. Manusia tidak akan berkembang tanpa berhubungan dengan aspek ini, atau tanpa tergantung kepada alam. Hubungannya dengan alam merupakan hubungan antar sesama zat. Oleh karena itu, masyarakat dianggap sebagai satu kesatuan yang berkembang secara serempak. Masing-masing berputar mengikuti yang lain sebagaimana berputarnya gigi dalam sebuah roda. Konsekwensinya mereka tidak mengenal istilah kebebasan beraqidah bagi masing-masing individu dan kebebasan ekonomi bagi negara dan masyarakat. Aqidahnya ditentukan berdasarkan kemauan negara, demikian juga halnya dengan ekonomi. Atas dasar inilah negara termasuk salah satu hal yang diagung-agungkan oleh mabda ini. Bertolak dari filsafat materialisme ini lahirlah aturan-aturan kehidupan dan sistem ekonomi. Sistem ekonomi dijadikan sebagai asas yang merupakan manifestasi bagi semua peraturan yang ada.

Mabda sosialisme, termasuk komunisme, mengemban suatu ide yang dijadikan sebagai dasar untuk memimpin bangsa-bangsa, yaitu dialektika materialisme dan evolusi materialisme. Di atas asas inilah mereka menjalankan roda pemerintahan dan peraturan-peraturannya serta mempropagandakan ideologinya dan berusaha untuk menerapkannya di setiap tempat di belahan bumi ini.

Adapun Islam menerangkan bahwa di balik alam semesta, manusia, dan hidup, terdapat Al-Khaliq yang menciptakan segala sesuatu, yaitu Allah SWT. Asas mabda ini adalah keyakinan akan adanya Allah SWT. Aqidah ini yang menentukan aspek rohani, yaitu bahwa manusia, hidup, dan alam semesta, diciptakan oleh Al-Khaliq. Dari sini nampak bahwa hubungan antara alam sebagai makhluk, dengan Allah SWT sebagai Pencipta adalah adalah aspek rohani yang ada pada alam. Tampak pula hubungan antara hidup sebagai makhluk dengan Allah SWT sebagai Pencipta, yang menjadi aspek rohani pada hidup. Demikian pula halnya dengan hubungan manusia sebagai makhluk, dengan Allah sebagai Pencipta, merupakan aspek rohani yang ada pada manusia. Dari sini diketahui bahwa ruh (spirit) adalah kesadaran manusia akan hubungan dirinya dengan Allah SWT.

Iman kepada Allah SWT harus disertai dengan keharusan beriman kepada kenabian Muhammad SAW, berikut risalahnya; juga bahwasanya Al-Quran itu adalah Kalamullah dan harus beriman terhadap seluruh apa yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, aqidah Islam menetapkan bahwa sebelum kehidupan ini ada sesuatu yang wajib diimani keberadaannya, yaitu Allah SWT, dan menetapkan pula iman terhadap alam sesudah kehidupan dunia, yaitu hari Kiamat. Juga bahwasanya manusia dalam kehidupan dunia ini terikat dengan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya, yang merupakan hubungan kehidupan ini dengan sebelumnya. Manusia terikat pula dengan pertanggungjawaban atas kepatuhannya memenuhi semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya, yang hal ini merupakan hubungan kehidupan dunia dengan sesudahnya.

Setiap muslim harus mengetahui hubungan dirinya dengan Allah pada saat melakukan suatu perbuatan, sehingga seluruh amal perbuatannya relevan dengan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Inilah yang dimaksud dengan perpaduan antara materi dengan ruh. Di samping itu, tujuan akhir dari kepatuhannya terhadap perintah-perintah Allah SWT dan larangan-larangan-Nya adalah mendapatkan keridlaan-Nya semata. Sedangkan sasaran yang hendak dicapai oleh manusia dalam pelaksanaan perbuatan adalah tercapainya nilai (kehidupan), yang dihasilkan oleh amal perbuatannya.

Dengan demikian tujuan-tujuan utama untuk menjaga masyarakat bukan ditentukan oleh manusia, akan tetapi berasal dari perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Aturan ini selalu tetap keadaannya, tidak akan berubah atau berkembang. Oleh karena itu, melestarikan eksistensi manusia, menjaga akal, kehormatan, jiwa, pemilikan individu, agama, keamanan dan negara, adalah tujuan-tujuan utama yang fixed, yang tidak akan berubah ataupun berkembang. Untuk menjaganya ditetapkan sanksi-sanksi yang tegas. Maka dibuatlah hukum-hukum yang menyangkut hudud (sanksi) dan uqubat (pidana, hukuman, pelanggaran terhadap peraturan negara) untuk memelihara tujuan-tujuan yang bersifat baku tadi.

Dengan demikian pelaksanaan pemeliharaan tujuan-tujuan ini wajib adanya, karena merupakan perintah-perintah dan larangan-larangan dari Allah SWT, bukan hanya karena menghasilkan nilai-nilai materi (mashlahat dan keuntungan bagi masyarakat dan negara, pent.)

Demikianlah hendaknya setiap muslim dan juga negara dalam menjalankan seluruh aktifitasnya menyesuaikan diri dengan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya, karena negaralah yang mengatur seluruh urusan rakyat. Dan dengan melaksanakan aktifitasnya sesuai dengan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya inilah yang melahirkan ketenangan bagi setiap muslim. Dari sini jelaslah bahwa kebahagiaan itu, bukan sekedar memenuhi kebutuhan jasmani dan memperoleh kesenangan semata, melainkan mendapatkan keridlaan Allah SWT.

Sedangkan kebutuhan jasmani dan naluri manusia, Islam telah membuat aturan yang menjamin adanya pemenuhan seluruh kebutuhannya, baik yang menyangkut kebutuhan perut, biologis, rohani, atau kebutuhan lainnya. Namun tidak berarti bahwa pemenuhan sebagian kebutuhan mengeliminir kebutuhan yang lain; atau, mengekang sebagian lalu mengumbar sebagian atau keseluruhannya. Islam menserasikannya dan memenuhi seluruh kebutuhan manusia dengan aturan yang amat rinci dan mendetail, yang akan memungkinkan manusia mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan, serta mencegah terjadinya hal-hal yang dapat menjerumuskannya pada martabat hewani -- yaitu pelampiasan naluri tanpa kendali.

Untuk menjamin pengaturan ini, Islam memandang jemaah (masyarakat) secara keseluruhan, tidak terpecah-pecah. Islam memandang bahwa individu merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari jamaah. Hanya saja posisi seperti ini tidak identik dengan gerigi dalam roda, melainkan merupakan bagian dari suatu keseluruhan --sebagaimana tangan yang merupakan bagian dari tubuh. Islam memperhatikan individu sebagai bagian dari jamaah, bukan individu yang terpisah. Perhatian ini akan melestarikan eksistensi jamaah. Pada waktu yang bersamaan, Islam juga memperhatikan keberadaan jamaah yang menjadi wadah dan terdiri dari bagian-bagian tertentu, yaitu individu-individu yang ada di dalam jamaah. Perhatian ini dapat melestarikan individu-individu sebagai bagian yang tak terlepas dari jamaah. Rasulullah SAW bersabda:

مَثَلُ القَائِم عَلى حُدُودِ الله وَالرَاقِع فِيها كَمثلِ قَوم اشتَهَمُّوا عَلى سَفِينَةٍ فَأصَابُ بَعضهُم أَعْلاهَا وَبَعْضُهُم أَسْفَلهَا فَكانَ الَّذِينَ في أَسْفَلِهَا اِذَا اسْتَقُوْا مِن اْلماَءِ مرُّوْا عَلى مَنْ فَوْقهُمْ، فَقَالُوْا لَوْ أَنا خَرَقْنَا في نَصِيْبِنَا خَرْقًا وَلَم نُؤْذِ مَنْ فَوْقِنا، فَإِنْ تَرَكُوْهُم وَمَا أَرَادُوْا هَلَكُوْا جَمِيْعًا، وَإِنْ أَخَذُوْا عَلى أَيْدِيْهِمْ نَجُّوْا وَنَجُّوْا جَمِيْعًا

"Perumpamaan orang-orang yang mencegah berbuat maksiat dan yang melanggarnya adalah seperti kaum yang menumpang kapal. Sebagian dari mereka berada di bagian atas dan yang lain berada di bagian bawah. Jika orang-orang yang berada di bawah membutuhkan air, mereka harus melewati orang-orang yang berada di atasnya. Lalu mereka berkata: 'Andai saja kami lubangi (kapal) pada bagian kami, tentu kami tidak akan menyakiti orang-orang yang berada di atas kami'. Tetapi jika yang demikian itu dibiarkan oleh orang-orang yang berada di atas (padahal mereka tidak menghendaki), akan binasalah seluruhnya. Dan jika dikehendaki dari tangan mereka keselamatan, maka akan selamatlah semuanya".[i]

Pandangan Islam tentang hubungan antara jamaah dengan individu inilah yang memberikan persepsi (mafhum) yang khas terhadap masyarakat. Sebab individu-individu --yang merupakan bagian dari jamaah-- harus memiliki pemikiran-pemikiran yang menghubungkan antar mereka dan menjadikan kehidupannya berlandaskan ide-ide tersebut. Mereka harus memiliki satu perasaan yang akan mempengaruhi tingkah laku mereka dan mendorongnya untuk melakukan sesuatu. Mereka harus memiliki pula satu aturan yang dapat memecahkan persoalan-persoalan kehidupan secara keseluruhan. Dari sini masyarakat itu akan terbentuk, yaitu terdiri dari manusia, pemikiran, perasaan, dan peraturan. Manusia dalam kehidupannya selalu terikat dengan pemikiran, perasaan, dan peraturan ini.

Oleh karena itu, bagi seorang muslim segala sesuatu dalam kehidupannya selalu terikat dengan Islam, sehingga tidak memiliki kebebasan mutlak. Aqidah seorang muslim terikat dengan batas-batas Islam dan tidak bebas. Maka murtadnya seorang muslim merupakan tindak pidana besar yang pantas dibunuh apabila tidak segera kembali bertaubat kepada Islam. Dari segi tingkah laku, seorang muslim juga terikat dengan aturan Islam. Atas dasar inilah perbuatan zina merupakan tindak pidana,dan terhadap pelakunya berhak diberikan sanksi tanpa ada perasaan belas kasihan, bahkan hukuman itu diumumkan kepada khalayak, sebagaimana firman Allah SWT:

وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

"(Dan) Hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang yang beriman"

(An-Nuur 2).

Begitu pula halnya dengan minum khamr yang termasuk tindakan kriminal, pelakunya pantas mendapatkan hukuman. Penganiayaan terhadap orang lain termasuk tindak pidana yang hukumannya tergantung jenis pelanggaran yang dilakukannya. Misalnya menuduh berbuat zina, membunuh, dan sebagainya.

Aspek ekonomi juga terikat dengan syariat Islam dan sebab-sebab pemilikan yang dibolehkan syara' untuk individu, serta realitas pemilikan yang merupakan izin dari Syari' (Allah SWT) untuk memperoleh manfaat suatu benda. Penyimpangan dari batasan-batasan ini termasuk dalam tindak pidana yang hukumannya bisa berbeda tergantung macam penyimpangannya, misalnya mencuri, menjambret, dan sebagainya.

Oleh karena itu harus ada negara yang berkewajiban melindungi jamaah dan individu, serta yang menerapkan peraturan di tengah-tengah masyarakat. Di samping itu diharuskan adanya pengaruh dari mabda (Islam) dalam diri penganutnya, agar pelaksanaan peraturan tersebut dapat terjaga secara normal dari dalam masyarakat itu sendiri. Jadi, mabda-lah yang mengikat dan melindungi, sedangkan negara adalah pelaksananya.

Berdasarkan keterangan ini, maka kedaulatan adalah milik syara', bukan milik negara atau umat, sekalipun kekuasaan berada di tangan umat, yang secara lahiriyah ada di tangan negara. Dari sini, maka satu-satunya thariqah yang ditempuh dalam menerapkan peraturan adalah melalui negara, di samping menjadikan taqwallah pada individu mukmin sebagai sandaran untuk menerapkan hukum-hukum Islam. Karena itu amat diperlukan adanya peraturan yang harus diterapkan oleh negara; begitu pula halnya dengan nasehat dan dorongan agar individu mukmin menerapkan Islam berdasarkan taqwallah. Jadi, dapat dikatakan bahwa Islam adalah aqidah dan nizham (peraturan); atau dengan kata lain mabda Islam adalah fikrah dan thariqah yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari fikrah tersebut.

Peraturan Islam lahir dari aqidah. Sedangkan peradabannya memiliki model dan ciri yang khas dalam kehidupan. Metode Islam dalam pengembangan dakwah adalah diterapkannya Islam oleh negara dan diemban sebagai qiyadah fikriyah ke seluruh dunia. Metode ini harus dijadikan asas untuk memahami dan menerapkan peraturan Islam. Perlu diketahui bahwa penerapan Islam oleh jamaah kaum muslimin yang hidup dalam pemerintahan yang menerapkan hukum Islam, adalah termasuk upaya-upaya menyebarluaskan dakwah Islam; karena penerapan peraturan Islam di tengah-tengah non muslim tergolong metoda dakwah yang bersifat praktis. Dahulu penerapan peraturan Islam telah berhasil memberikan pengaruh dengan gemilang dalam mewujudkan dunia Islam yang wilayahnya sangat luas.

Walhasil, ideologi yang ada di dunia ini ada tiga, yaitu kapitalisme, sosialisme termasuk komunisme, dan Islam. Masing-masing ideologi ini memiliki aqidah yang melahirkan aturan serta mempunyai tolok ukur bagi perbuatan manusia di dalam kehidupan, memiliki pandangan khas terhadap masyarakat dan memiliki metoda tertentu dalam melaksanakan setiap aturannya.

Dari segi aqidah, ideologi komunis memandang bahwa segala sesuatu berasal dari materi yang berkembang dan mewujudkan benda-benda lainnya berdasarkan evolusi. Sedangkan ideologi kapitalis mengharuskan pemisahan agama dari kehidupan. Sebagai akibatnya lahirlah ideologi sekuler, yang memisahkan agama dengan negara. Para kapitalis tidak ingin membahas apakah di sana terdapat pencipta atau tidak. Mereka –baik yang mengakui eksistensi-Nya maupun yang tidak-- hanya membahas bahwa tidak ada hak bagi Pencipta untuk campur tangan dalam kehidupan ini. Jadi, sama saja kedudukannya bagi mereka yang mengakui keberadaan Pencipta atau yang mengingkari-Nya, yaitu memisahkan agama dari kehidupan.

Adapun Islam memandang bahwa Allah adalah Pencipta bagi segala sesuatu. Dialah yang mengutus para Nabi dan Rasul dengan membawa agama-Nya untuk seluruh umat manusia; dan bahwa kelak manusia akan di-hisab atas perbuatan-perbuatannya di hari kiamat. Karena itu, aqidah Islam mencakup Iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari kiamat, serta qadla-qadar, baik buruknya dari Allah SWT.

Dari segi bagaimana lahirnya peraturan dari aqidah, ideologi komunis memandang bahwa peraturan diambil dari alat-alat produksi. Sebab, pada masyarakat feodal, misalnya, kapaklah yang menjadi alat produksi. Dengan penggunaan kapak ini lalu ditetapkan sistem feodalisme. Apabila masyarakat berkembang menjadi masyarakat kapitalis, maka alat mesinlah yang menjadi sarana produksi. Dengan penggunaan mesin ini terbentuklah sistem kapitalisme. Jadi, peraturan mabda itu diambil dari evolusi materi.

Lain halnya dengan ideologi kapitalis, yang memandang bahwa manusia --karena memisahkan agama dengan kehidupan-- harus membuat peraturan sendiri tentang kehidupan. Karenanya, peraturan dalam sistem kapitalis diambil dari realita dan dinamika kehidupan manusia. Dari sinilah masyarakat kapitalis membuat aturannya sendiri.

Sedangkan Islam memandang bahwa Allah SWT telah menentukan bagi manusia suatu aturan hidup untuk dilaksanakan dalam kehidupan ini. Dia mengutus Sayyidina Muhammad SAW guna membawa aturan-Nya untuk disampaikan kepada manusia. Konsekuensinya, kehidupan ini harus dijalankan sesuai dengan aturan tersebut. Oleh karena itu, masyarakat yang telah menerima Islam senantiasa mempelajari persoalan hidup yang selalu berkembang, lalu berijtihad memecahkan masalah yang dihadapinya berdasarkan Al-Quran dan As-Sunah.

Adapun dari segi tolok ukur bagi segala macam perbuatan dalam kehidupan, ideologi komunis memandang bahwa dialektika materialisme --yaitu aturan materialisme-- merupakan tolok ukur dalam kehidupan manusia. Dengan berkembangnya aturan materialis, berkembang pula tolok ukurnya. Sedangkan ideologi kapitalis memandang bahwa tolok ukur perbuatan dalam kehidupan adalah ''kemanfaatan''. Dengan asas inilah perbuatan diukur dan ditegakkan. Namun, Islam memandang bahwa tolok ukur perbuatan-perbuatan dalam kehidupan adalah halal dan haram, yakni perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Jadi, yang halal dikerjakan dan yang haram ditinggalkan. Prinsip ini tidak akan mengalami perkembangan maupun perubahan. Islam tidak menjadikan manfaat sebagai tolok ukur, melainkan hanya syara semata.

Dari segi pandangannya terhadap masyarakat, ideologi komunis memandang bahwa masyarakat adalah kumpulan unsur yang terdiri dari tanah, alat-alat produksi, alam, dan manusia. Semua itu merupakan satu kesatuan, yaitu materi. Tatkala alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya berkembang, manusia pun turut berkembang, yang akhirnya menjadikan masyarakat berkembang secara keseluruhan. Oleh karena itu, masyarakat komunis tunduk kepada evolusi materi, sementara manusia harus terus berusaha untuk mempercepat transformasi yang bertolak belakang (antithesa) dengan kehendaknya. Ketika masyarakat berkembang, individu akan turut berkembang pula. Individu akan bergerak dan selalu terikat dengan gerakan masyarakat, seperti putaran gigi pada sebuah roda.

Ideologi kapitalis memandang bahwa masyarakat terdiri dari individu-individu. Apabila urusan individu ini teratur, maka dengan sendirinya urusan masyarakat akan teratur pula. Titik perhatiannya adalah individu-individu saja. Sementara tugas negara adalah bekerja untuk kepentingan individu. Dari sini, ideologi ini disebut juga individualisme.

Sedangkan ideologi Islam memandang bahwa asas tempat masyarakat berpijak adalah aqidah, disamping pemikiran, perasaan, dan peraturan yang lahir dari aqidah. Oleh karena itu apabila pemikiran dan perasaan Islam ini berkembang luas, dan peraturan Islam diterapkan di tengah-tengah rakyat, barulah terbentuk masyarakat Islam. Dengan demikian, mayarakat itu sebenarnya terdiri dari kumpulan manusia, pemikiran, perasaan, dan peraturan.

Islam juga memandang bahwa manusia satu dengan manusia lainnya akan membentuk sebuah jamaah, namun tetap tidak akan membentuk sebuah masyarakat kecuali jika mereka menganut pemikiran, memiliki perasaan, serta diterapkannya peraturan di tengah-tengah mereka. Sebab, yang mewujudkan hubungan sesama manusia adalah faktor kemashlahatan dan bila masyarakat telah menyamakan pemikirannya tentang kemashlahatan, juga perasan mereka, sehingga rasa ridla dan marahnya menjadi sama, ditambah pula adanya penerapan peraturan yang sama, yang mampu memecahkan berbagai macam persoalan, maka terbentuklah hubungan antar sesama anggota masyarakat. Apabila terdapat perbedaan dalam pemikiran masyarakat terhadap kemashlahatan, berbeda perasaannya, berbeda rasa ridla dan marah (benci)nya, berbeda pula peraturan yang digunakan untuk memecahkan persoalan antar manusia, maka tidak akan terdapat hubungan dengan sesama manusia dan tidak akan terbentuk masyarakat. Maka, masyarakat Islam terbentuk dari manusia, pemikiran, perasaan, dan peraturan. Inilah yang mewujudkan adanya hubungan dan yang membuat jamaah itu menjadi sebuah masyarakat yang memiliki ciri khas.

Seandainya seluruh manusia itu muslim, sedangkan pemikiran-pemikiran yang dibawanya adalah kapitalisme-demokrasi, sementara perasaan-perasan yang dibawanya adalah spiritualisme semata (tanpa disertai aturan), atau nasionalisme; sedangkan aturan yang diterapkan adalah aturan kapitalisme-demokrasi, maka masyarakatnya menjadi masyarakat yang tidak Islami sekalipun mayoritas penduduknya adalah orang-orang Islam.

Dilihat dari segi penerapan aturan, ideologi komunis mengajarkan hanya negara adalah satu-satunya institusi yang berhak menerapkan peraturan melalui kekuatan militer dan undang-undang. Negara yang mengatur dan bertanggung jawab terhadap urusan individu dan kelompok masyarakat. Negara pula yang berhak mengubah peraturan.

Sedangkan ideologi kapitalisme memandang bahwa negara adalah pihak yang mengontrol kebebasan. Jika seseorang melanggar kebebasan individu lainnya, maka negara akan mencegah tindakan tersebut. Bahkan keberadaan negara adalah sarana untuk menjamin adanya kebebasan. Akan tetapi jika seseorang tidak mengganggu kebebasan yang lain, sekalipun terdapat intimidasi serta perampasan terhadap hak-haknya, namun ia rela, maka hal itu tidak termasuk dalam kategori tindakan melanggar kebebasan. Dalam hal ini negara tidak akan turut campur. Jadi, terwujudnya negara adalah untuk memberi jaminan agar ada kebebasan.

Lain halnya dengan Islam yang memandang bahwa aturan dilaksanakan oleh setiap individu mukmin dengan dorongan taqwallah yang tumbuh dalam jiwanya. Sementara teknis pelaksanaannya dijalankan oleh negara dengan adil, yang dapat dirasakan oleh jamaah. Juga dengan adanya sikap tolong menolong antara umat dengan negara dalam melakukan amar ma'ruf nahi munkar; serta diterapkannya (peraturan) dengan kekuatan negara. Dalam Islam negaralah yang bertanggungjawab terhadap urusan jamaah. Negara tidak mengurus kepentingan individu, kecuali bagi mereka yang fisiknya lemah (tidak mampu). Selain itu, peraturan Islam tidak mengalami perubahan selamanya, tidak ada evolusi (dalam peraturan). Negara, dalam hal ini Khalifah, memiliki wewenang untuk memilih dan menetapkan hukum-hukum syara' jika ijtihad dalam satu atau lebih topik hukum menghasilkan beragam pendapat.

Dari sisi lain qiyadah fikriyah Islam tidak bertentangan dengan fitrah manusia, walaupun sangat mendalam tetapi gampang dimengerti, cepat membuka akal dan hati manusia, cepat diterima dan mudah dipahami, untuk mendalami isinya --sekalipun kompleks-- dengan penuh semangat dan kesungguhan. Karena memang beragama adalah satu hal yang fitri dalam diri manusia. Setiap manusia menurut fitrahnya cenderung kepada agama. Tidak ada satu kekuatan manapun yang dapat mencabut fitrah ini dari manusia, sebab merupakan pembawaan yang kokoh. Sementara tabi'at manusia merasakan bahwa dirinya serba kurang, selalu merasa bahwa ada kekuatan yang lebih sempurna dibandingkan dirinya yang harus diagungkan. Beragama merupakan kebutuhan terhadap Pencipta Yang Maha Pengatur, yang muncul dari kelemahan manusia dan bersifat alami sejak manusia diciptakan. Jadi, beragama merupakan naluri yang bersifat tetap yang selalu mendorong manusia untuk mengagungkan dan mensucikan-Nya. Oleh karena itu, dalam setiap masa, manusia senantiasa cenderung untuk beragama dan menyembah sesuatu. Ada yang menyembah manusia, menyembah bintang-bintang, batu, binatang, api, dan lain sebagainya. Tatkala Islam muncul di dunia, aqidah yang dibawanya bertujuan untuk mengalihkan umat manusia dari penyembahan terhadap makhluk-makhluk kepada penyembahan terhadap Allah yang menciptakan segala sesuatu.

Akan tetapi ketika muncul ideologi dialektika materialisme, yang mengingkari adanya Allah dan ruh, ternyata ide ini tidak mampu memusnahkan kecenderungan beragama. Ideologi ini hanya bisa mengalihkan pandangan manusia kepada suatu kekuatan yang lebih besar dibanding dirinya dan mengalihkan perasaan taqdis kepada kekuatan besar tersebut. Menurut mereka, kekuatan itu berada di dalam ideologi dan diri para pengikutnya. Mereka membatasi taqdis hanya pada kedua unsur itu. Berarti, mereka telah mengembalikan manusia ke masa silam, masa animisme; mengalihkan penyembahan kepada Allah ke penyembahan makhluk-makhluk-Nya; dari pengagungan terhadap ayat-ayat Allah kepada pengkultusan terhadap doktrin-doktrin yang diucapkan makhluk-makhluk-Nya. Semua ini menyebabkan kemunduran manusia ke masa silam. Mereka tidak mampu memusnahkan fitrah beragama, melainkan hanya mengalihkan fitrah manusia secara keliru kepada kesesatan dengan mengembalikannya ke masa animisme. Berdasarkan hal ini, qiyadah fikriyah-nya telah gagal ditinjau dari fitrah manusia. Malah dengan berbagai tipu muslihat, mereka mengajak orang-orang untuk menerimanya; dengan mendramatisir kebutuhan perut mereka menarik orang-orang yang lapar, pengecut, dan sengsara. Ideologi ini dianut oleh orang-orang yang bermoral bejat, atau yang gagal dan benci terhadap kehidupan termasuk orang-orang sinting yang tidak waras cara berfikirnya agar mereka dapat digolongkan ke jajaran kaum intelektual tatkala mereka mendiskusikan dengan angkuh tentang teori dialektika ini. Padahal kenyataannya, dialektika materialisme paling terlihat kerusakan dan kebathilannya, dan dengan sangat mudah dapat dibuktikan oleh perasaan fitri dan akal sehat.

Supaya manusia tunduk pada ideologi ini, maka dipaksa melalui kekuatan fisik. Maka tekanan, intimidasi, revolusi, menggoyang, merobohkan, dan mengacaukan merupakan sarana-sarana yang penting untuk mengembangkan ideologi tersebut.

Demikian pula qiyadah fikriyah kapitalis bertentangan dengan fitrah manusia, yaitu naluri beragama. Naluri beragama tampak dalam aktivitas pen-taqdis-an; di samping juga tampak dalam pengaturan manusia terhadap aktivitas hidupnya. Akan tampak perbedaan dan pertentangannya tatkala pengaturan itu berjalan. Hal ini menunjukkan tanda kelemahan manusia dalam mengatur aktivitasnya. Oleh karena itu, keberadaan agama haruslah dapat mengatur seluruh amal perbuatan manusia dalam kehidupan. Menjauhkan agama dari kehidupan jelas bertentangan dengan fitrah manusia. Namun bukan berarti bahwa adanya agama dalam kehidupan menjadikan seluruh amal perbuatan manusia terbatas hanya pada aktivitas ibadah saja. Tetapi arti pentingnya agama dalam kehidupan adalah untuk mengatasi berbagai persoalan hidup manusia sesuai dengan peraturan yang Allah perintahkan. Peraturan dan sistem ini lahir dari aqidah yang mengakui apa yang terkandung dalam fitrah manusia, yaitu naluri beragama.

Menjauhkan peraturan Allah dan mengambil peraturan yang lahir dari suatu aqidah yang tidak sesuai dengan naluri beragama adalah bertentangan dengan fitrah manusia. Maka dari itu, qiyadah fikriyah kapitalisme telah gagal dilihat dari segi fitrah manusia. Ia adalah qiyadah fikriyah negatif, yang memisahkan antara agama dengan kehidupan, menjauhkan aktivitas beragama dari kehidupan, menjadikan masalah agama sebagai masalah pribadi (bukan masalah masyarakat), sekaligus menjauhkan peraturan yang Allah perintahkan dari problematika hidup manusia dan pemecahannya.

Qiyadah fikriyah Islam adalah qiyadah fikriyah yang positif. Karena menjadikan akal sebagai dasar untuk beriman kepada wujud Allah. Qiyadah ini mengarahkan perhatian manusia terhadap alam semesta, manusia, dan hidup, sehingga membuat manusia yakin terhadap adanya Allah yang telah menciptakan makhluk-makhluk-Nya. Di samping itu qiyadah ini menunjukkan kesempurnaan mutlak yang selalu dicari oleh manusia karena dorongan fitrahnya. Kesempurnaan itu tidak terdapat pada manusia, alam semesta, dan hidup. Qiyadah fikriyah ini memberi petunjuk pada akal agar dapat sampai pada tingkat keyakinan terhadap Al-Khaliq supaya ia mudah menjangkau keberadaan-Nya dan mengimani-Nya.

Qiyadah fikriyah komunisme bersandar pada materialisme bukan berdasarkan akal, sekalipun dihasilkan oleh akal, karena ide komunisme menyatakan bahwa materi itu ada sebelum adanya pemikiran (pengetahuan). Disamping itu karena ide ini menjadikan segala sesuatu berasal dari materi. Dengan demikian, ide ini bersifat materialistis. Sedangkan qiyadah fikriyah kapitalisme bersandar pada pemecahan jalan tengah (kompromi) yang dicapai setelah terjadinya pertentangan yang berlangsung hingga beberapa abad di kalangan para pendeta gereja dan cendekiawan Barat yang kemudian menghasilkan pemisahan agama dari negara. Qiyadah fikriyah komunisme dan kapitalisme telah gagal. Sebab, keduanya bertentangan dengan fitrah manusia dan tidak dibangun berdasarkan akal.

Berdasarkan keterangan tadi, hanya qiyadah fikriyah Islamlah satu-satunya qiyadah fikriyah yang benar, sedangkan qiyadah fikriyah lainnya adalah rusak. Qiyadah fikriyah Islam dibangun berdasarkan akal, amat berbeda dengan qiyadah-qiyadah fikriyah lainnya yang tidak dibangun berlandaskan akal. Di samping itu, qiyadah fikriyah Islam sesuai dengan fitrah manusia, sehingga mudah diterima oleh manusia. Sedangkan qiyadah fikriyah lainnya berlawanan dengan fitrah manusia.

Bukti bahwa qiyadah fikriyah komunisme dibangun berlandaskan materialisme bukan akal adalah karena ideologi ini menyatakan bahwa materi mendahului pemikiran (pengetahuan). Jadi tatkala otak memantulkan materi akan menghasilkan pemikiran; kemudian otak akan memikirkan/mempertimbangkan hakekat materi yang dipantulkan ke otak. Sebelum hal itu terjadi, tentu tidak akan muncul pemikiran. Dengan demikian, segala sesuatu, menurut komunis, haruslah berlandaskan pada materi. Maka dasar aqidah komunisme adalah materi bukan pemikiran. Pendapat di atas adalah salah ditinjau dari dua segi :

Pertama, sebenarnya tidak ada refleksi/pantulan antara materi dengan otak. Otak tidak melakukan refleksi dengan materi. Juga, materi tidak berefleksi dengan otak. Sebab untuk merefleksikan sesuatu dibutuhkan reflektor untuk memantulkan dan memfokuskan, seperti halnya cermin yang memiliki kemampuan untuk memantulkan. Tetapi kenyataannya, hal semacam itu tidak ada, baik di otak maupun pada materinya. Oleh karena itu, tidak ada refleksi antara materi dengan otak secara mutlak. Materi tidak dipantulkan oleh otak dan (gambaran tentang) materi tidak berpindah ke otak. Yang beralih ke otak adalah pencerapan tentang materi (kesannya) melalui panca indera. Hal ini bukan refleksi antara materi dengan otak, dan bukan pula refleksi antara otak dengan materi, melainkan pencerapan tentang materi (melalui panca indera). Tidak ada perbedaan dalam proses tersebut antara mata dengan panca indera yang lainnya. Penginderaan dapat terjadi dengan proses perabaan, penciuman, rasa, pendengaran sebagaimana halnya penginderaan melalui mata. Dengan demikian yang terjadi dari suatu materi bukanlah berupa refleksi terhadap otak, melainkan pencerapan dan penginderaan terhadap (segala) sesuatu. Manusialah yang merasakan segala sesuatu dengan perantaraan panca inderanya, dan materi tidak direfleksikan.

Kedua, sesungguhnya penginderaan saja tidaklah cukup menghasilkan suatu pemikiran. Sebab kalau hanya sampai di situ, yang terjadi hanyalah penginderaan saja terhadap fakta (materi). Penginderaan yang diulang-ulang meskipun sampai satu juta kali, tetap saja hanya menghasilkan penginderaan dan tidak menghasilkan pemikiran sama sekali. Proses tersebut mengharuskan adanya beberapa pengetahuan terdahulu bagi manusia yang akan menginterpretasikan fakta yang diinderanya itu sehingga menghasilkan suatu pengetahuan.

Sebagai contoh kita ambil manusia yang ada sekarang. Manusia, siapapun orangnya apabila diberikan kepadanya buku berbahasa suryani sementara ia tidak memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan bahasa suryani, lalu dibiarkan mencerap tulisan itu baik dengan penglihatan maupun dengan perabaan, diberi kesempatan menginderanya berkali-kali --meskipun sejuta kali-- maka ia tetap tidak mungkin mengetahui satu katapun sampai diberikan kepadanya beberapa pengetahuan tentang bahasa suryani dan apa saja yang berkaitan dengan bahasa tersebut. Pada saat itulah ia baru mulai berfikir dengan bahasa tersebut dan mampu memahaminya.

Contoh lain adalah anak kecil yang sudah mampu mengindera, tetapi belum memiliki pengetahuan, kemudian di hadapannya disodorkan sepotong emas, tembaga, dan batu. Lalu dibiarkan inderanya mencerap hal-hal tersebut; maka, ia tidak akan mampu memahaminya sekalipun diulang berkali-kali dengan menggunakan berbagai jenis panca inderanya. Namun jika diberikan kepadanya pengetahuan tentang tiga benda tersebut kemudian ia menginderanya, maka ia akan menggunakan pengetahuan itu sehingga mampu memahami hakekat tiga benda tadi. Anak kecil ini walaupun telah dewasa hingga berumur 20 tahun sedangkan ia belum mendapatkan satu pengetahuan pun maka ia tetap seperti keadaan semula yang hanya mampu mengindera sesuatu tetapi tidak mampu memahaminya sekalipun otaknya berkembang. Sebab, yang menjadikan ia memahami suatu fakta yang diinderanya bukanlah otak melainkan pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh sebelumnya yang diterima oleh otaknya. Hal ini dilihat dari segi proses pengetahuan akal. Adapun dari segi identifikasi yang berupa perasaan, maka hal ini timbul dari naluri dan kebutuhan jasmani manusia. Apa yang terjadi pada hewan, terjadi pula pada manusia. Jika disodorkan secara berulang-ulang buah apel dan batu, ia akan mengerti bahwa apel dapat dimakan, sedangkan batu tidak. Begitu pula halnya dengan keledai ia akan mampu mengidentifikasi bahwa gandum dapat dimakan sedangkan tanah tidak dapat. Akan tetapi proses identifikasi tidak tergolong pemikiran/pemahaman, tetapi berasal dari naluri-naluri dan kebutuhan jasmani, yang ada pada hewan dan ada pula pada manusia. Oleh karena itu, tidak mungkin pemikiran itu ada kecuali terdapat beberapa pengetahuan yang diperoleh sebelumnya di samping pencerapan terhadap fakta melalui panca indera ke otak.

Berdasarkan hal ini, maka akal, fikr (pemikiran), dan idrak (penalaran), terjadi dengan pencerapan terhadap fakta melalui panca indera ke otak, disertai dengan pengetahuan (informasi) yang diperoleh sebelumnya, yang dapat menjelaskan (hakekat) kenyataan tersebut. Oleh karena itu qiyadah fikriyah komunis jelas-jelas keliru dan rusak; sebab, tidak dibangun berdasarkan akal. Sama rusaknya dengan pengertian mereka tentang pemikiran dan akal.

Demikian pula halnya dengan qiyadah fikriyah kapitalisme yang dibangun berdasarkan jalan tengah antara tokoh-tokoh gereja dengan cendekiawan, setelah sebelumnya terjadi pergolakan dan perbedaan pendapat yang sengit dan berlangsung terus-menerus selama beberapa abad di antara mereka. Jalan tengah itu adalah memisahkan agama dari kehidupan, yakni mengakui keberadaan agama secara tidak langsung, tetapi dipisahkan dari kehidupan. Oleh karena itu, qiyadah fikriyah ini tidak dibangun atas dasar akal, tetapi dibangun atas dasar persetujuan kedua belah pihak sebagai jalan tengah.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemikiran/keputusan yang diambil berdasarkan jalan tengah merupakan hal yang asasi bagi mereka. Mereka mencampuradukkan antara haq dan bathil, antara keimanan dengan kekufuran, cahaya dengan kegelapan; dengan menempuh jalan tengah. Padahal sesungguhnya jalan tengah itu tidak ada faktanya; sebab masalahnya adalah tinggal memilih tindakan yang jelas. Apakah yang haq atau yang bathil, iman ataukah kufur, cahaya ataukah kegelapan. Pemecahan yang berasal dari jalan kompromi yang di atasnya dibangun aqidah dan qiyadah fikriyah mereka, telah menjauhkannya dari kebenaran, keimanan, dan cahaya. Oleh karena itu, qiyadah fikriyah kapitalisme rusak, karena tidak dibangun atas dasar akal.

Adapun qiyadah fikriyah Islam dibangun atas dasar akal yang mewajibkan kepada setiap muslim untuk mengimani adanya Allah, kenabian Muhammad SAW, ke-mukjizatan Al-Quranul Karim dengan menggunakan akalnya. Juga mewajibkan beriman kepada yang ghaib dengan syarat harus berasal dari sesuatu yang dapat dibuktikan keberadaannya dengan akal seperti Al-Quran dan Hadits Mutawatir. Dengan demikian, qiyadah fikriyah ini dibangun atas dasar akal. Hal ini dilihat dari segi akal.

Adapun dari segi fitrah manusia, maka qiyadah fikriyah Islam sesuai dengan fitrah; sebab ia mempercayai adanya agama dan adanya kewajiban merealisasikan agama dalam kehidupan ini serta menjalankan kehidupan sesuai dengan perintah dan larangan Allah. Beragama sesuai dengan fitrah, karena ia merupakan salah satu naluri yang memiliki reaksi tertentu, yaitu taqdis. Taqdis berlawanan dengan reaksi naluri-naluri lainnya. Reaksi itu merupakan hal yang wajar bagi naluri (beragama). Sebab itu, beriman kepada agama dan wajib menyesuaikan amal perbuatan manusia di dalam kehidupan sesuai dengan perintah dan larangan Allah, merupakan sesuatu yang naluriah, karena ia sesuai dengan fitrah manusia, maka mudah diterima oleh manusia.

Berbeda halnya dengan qiyadah fikriyah komunisme dan kapitalisme. Kedua ideologi ini bertentangan dengan fitrah manusia. Karena qiyadah fikriyah komunisme mengingkari adanya agama secara mutlak bahkan menentang pengakuan akan adanya agama, maka ia bertentangan dengan fitrah manusia. Sedangkan qiyadah fikriyah kapitalisme, tidak mengakui keberadaan dan peranan agama namun tidak pula mengingkarinya. Malahan tidak menjadikan pengakuan atau pengingkaran terhadap agama sebagai sesuatu yang penting; hanya saja qiyadah fikriyah tersebut mengharuskan pemisahan agama dari kehidupan. Karenanya qiyadah kapitalisme menghendaki perjalanan hidup (manusia) berlandaskan manfaat belaka yang hal itu tidak ada hubungannya dengan agama. Dari sini jelaslah bahwa qiyadah fikriyah kapitalisme bertentangan dengan fitrah manusia.

Berdasarkan hal ini hanya qiyadah fikriyah Islamlah yang cocok bagi manusia karena kesesuaiannya dengan fitrah dan akal manusia. Selain dari qiyadah fikriyah Islam, adalah bathil (salah). Hanya qiyadah fikriyah Islamlah yang benar dan hanya satu-satunya yang akan berhasil (dalam mengatur kehidupan manusia).


No comments: