Friday, October 31, 2008

Al-Islam: Menegakkan Kembali Khilafah

Bulan Rajab adalah bulan mulia. Pada bulan ini terdapat satu hari saat Rasulullah saw. mengalami peristiwa besar, yakni Isra’ Mi’raj, tanggal 27 Rajab.

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah wujud pengokohan Rasulullah saw. sebagai pemimpin. Rasulullah diangkat sebagai imam shalat berjamaah para nabi dan rasul. Kepemimpinan Rasul dalam shalat berjamaah sesungguhnya membuktikan bahwa Beliau adalah pemimpin seluruh umat manusia.

Namun, pada bulan Rajab ini pula, ada satu hari saat kaum Muslim mulai mengalami berbagai kehancuran dan malapetaka. Islam sebagai agama dan sistem pun mulai mengalami hal serupa. Itulah tanggal 28 Rajab, saat Khilafah terakhir, Khilafah Turki Utsmani, dihancurkan oleh antek Inggris, Mustafa Kemal. Sejak itu sampai detik ini, kaum Muslim tercerai-berai ke dalam hampir 50 negara tanpa ada Khilafah yang melindungi, mengayomi dan memelihara mereka. Islam dan umatnya, sejak keruntuhan Khilafah hingga saat ini, dililit berbagai macam permasalahan.

Sejarah Emas Khilafah

1. Pengayom dan pelindung umat.

Islam adalah penebar rahmat bagi seluruh manusia, bukan hanya kaum Muslim, tetapi juga umat lain. Tercatat dalam sejarah, tatkala kawasan Sicilia di Eropa berada dalam pangkuan Islam semasa Khalifah Ziyadat Allah I, Sicilia menjadi kawasan yang penuh berkah bagi umat non-Islam. Betapa tidak. Di Sicilia terdapat beragam suku dan etnis seperti Sicilia, Arab, Yahudi, Barbar, Persia, Tartar dan Negro berbaur dalam keharmonisan. Tidak ada satu pun pembantaian terhadap penduduk yang beragama Nasrani, walau mereka minoritas. Bahkan penduduk asli Sicilia yang Nasrani justru dilindungi dan dihormati kebebasannya dalam menjalankan aktivitas peribadatan.

Penguasa Muslim hanya membebankan jizyah atas penganut agama Nasrani. Hak milik dan usaha mereka dilindungi. Demikian pula warga Yahudi. Penguasa Muslim menghormati hak hidup dan melindungi kebebasan umat beragama lain dalam menjalankan ibadah. Walhasil, sejak dalam kekuasaan Islam, Sicilia menjelma menjadi salah satu pusat peradaban di Eropa setelah Cordova.

Kondisi sebaliknya justru terjadi saat ini. Umat Islam kini ditindas secara sistematis oleh sistem kapitalis penguasa dunia. Ketika Islam menjadi umat minoritas, mereka dibantai sebagaimana yang terjadi di Palestina, Khasmir, Kosovo, Xinjiang, Pattani, dll. Mayoritas Muslim pun kini menjadi bulan-bulanan musuh-musuhnya, sebagaimana yang terjadi di negeri ini. Sungguh menyedihkan.

2. Pencetak ilmuwan dan intektual.

Islam dalam sistem Khilafah mendorong dan mencetak para ilmuwan dan intelektual handal. Tercatat ribuan bahkan jutaan ilmuwan dan intelektual yang telah dilahirkan oleh Islam. Bukan hanya memberikan sumbangan bagi kemakmuran umat Islam, mereka juga memberikan sumbangan sangat berarti bagi dunia. Contoh: Ibnu Mun’im. Ia dikenal sebagai spesialis terbaik dalam geometri dan teori ilmu hitung. Ia juga seorang dokter. Dalam bidang matematika, Ibnu Mun’im telah berhasil mempublikasikan sederet hasil karyanya. Salah satunya yang masih tetap survive hingga kini adalah Fiqh al-Hisab (Ilmu Hitung).

Ada juga Abdul Malik bin Quraib al-Asma’i. Ialah sarjana pertama yang mengkaji ilmu alam dan zoologi (ilmu hewan). Beberapa buah pikirannya yang sangat terkenal mengupas tentang hewan, yakni Kitab al-Khayhl, yang membahas seluk beluk kuda. Selain itu, ia juga menulis Kitab Al-Ibil yang mengupas tentang unta, Kitab ash-Sha’ tentang kambing, dan Kitab al-Wuhush tentang hewan liar. Abdul Malik juga mengkaji manusia melalui Kitab Khalq al-Insan. Ia juga tercatat sebagai ilmuwan pertama yang mempelajari anatomi manusia. Salah satu kitabnya yang sangat fenomenal adalah Kitab al-Asma’i yang masih menjadi rujukan ilmuwan di Austria pada paruh kedua abad ke-19 M.

Di atas adalah contoh ilmuwan yang dilahirkan oleh Islam selain ribuan nama lainnya seperti Al-Khawarizmi (penemu angka ‘nol’), Ibnu Sina (Bapak Kedokteran Dunia), Al-Jabar (Bapak Matematika Dunia), dll.

3. Surganya pengobatan.

Dalam 250 tahun, sarjana Muslim telah menghasilkan 18 kitab tentang opthalmologi. Padahal ilmuwan Yunani dari zaman Hipocrates hingga Paulus selama 10 abad hanya menghasilkan lima buku opthalmologi. Ilmu pengobatan mata alias opthalmologi berkembang begitu pesat di era modern. Kemajuan yang dicapai dunia opthalmologi saat ini tak akan mungkin terjadi tanpa peran para dokter spesialis mata Muslim di era keemasan.

”Saya mengundang Anda kembali ke massa 1.000 tahun silam untuk menyaksikan fakta sejarah pencapaian para dokter Muslim di bidang opthalmologi,” papar Professor J Hirschberg, seorang ahli mata terkemuka berkebangsaan Jerman dalam tulisannya berjudul, ”Arab Opthalmologist”. Hirschberg begitu mengagumi pencapaian para dokter spesialis mata Muslim pada era Kekhalifahan.

Salah satu dokter spesialis mata yang terkenal adalah Al-Jurjani. Ia adalah dokter bedah mata yang terkenal dari Persia. Pada tahun 1088 M, ia menulis kitab yang berjudul Nur al-‘Ayun (Cahaya Mata). Kitab yang ditulis pada era kekuasaan Sultan Malikshah itu terdiri dari 10 bab. Tujuh bab di antaranya membahas 30 jenis operasi mata, termasuk tiga operasi katarak. Satu bab lainnya secara khusus membahas katarak, trahum, penyakit kornea serta masalah kelopak mata. Buku ini begitu lengkap.

Tak cuma itu, para dokter spesialis mata Muslim pun telah berperan besar dalam menemukan peralatan medis yang digunakan untuk melakukan operasi mata. Sungguh pencapaian yang prestisius.

Kecanggihan penemuan bidang kedokteran ini jelas menjadi pintu bagi kemudahan pengobatan umat Islam. Apalagi dengan kebijakan Khilafah yang menggratiskan pengobatan bagi masyarakat. Pemerintahan Islam menjadi surga pengobatan bagi orang sakit. Tidak seperti sekarang. Orang ’dilarang’ sakit karena biaya pengobatan dan rumah sakit begitu mahal; tak terjangkau oleh kebanyakan orang.

4. Surganya investasi dan industri.

Islam sangat mendorong ekonomi real. Islam menjamin setiap investasi bisnis yang ada sehingga tumbuh industri yang tentu akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Tercatat pada masa Kekhilafahan Turki Utsmani, investasi dalam sektor industri begitu besar. Hal ini tampak pada tumbuh suburnya industri tekstil (wol, linen, katun dan sutera). Tekstil adalah industri primadona saat itu.

Sentra produksi wol dan sutera Islam berada di Andalusia. ”Pada abad ke-12, industri tekstil berkembang sangat pesat di wilayah itu,” papar Dr. Du Ry. Di wilayah Andalusia, menurut catatan sejarahwan Arab, terdapat tak kurang dari 800 pabrik tenun. Tidak aneh jika era Kekhilafahan Islam kerap dijuluki sebagai ’peradaban tekstil.’ Bisa kita bayangkan, betapa besar investasi dan perputaran ekonomi berjalan pada masa itu saat dunia Barat belum mengenal cara membuat katun dan sutera.

Menegakkah Kembali Khilafah

Dalam kitab Al-Fiqh ’ala al-Mazhahib al-Arba’ah, karya Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (V/362) disebutkan, Para imam (Abu Hanifah, Malik, Syafii, Ahmad)–rahimahumullah–telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu; tidak boleh tidak, kaum Muslim harus mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama serta menyelamatkan orang-orang terzalimi dari orang-orang zalim…”

Imam Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H/1037 M), ketika menjelaskan Ahlus Sunnah dalam kitabnya, Al-Farqu bayna al-Firaq (hlm. 248-249), mengatakan, terdapat 15 (lima belas) masalah pokok agama (arkan ad-din) yang telah disepakati oleh Ahlus Sunnah. Masalah pokok agama yang nomor 12 (dua belas) adalah wajibnya Imamah atau Khilafah.

Pada kitab yang sama (hlm. 270), Imam Abdul Qahir al-Baghdadi juga menjelaskan, “Mereka (Ahlus Sunnah) berkata…Sesungguhnya Imamah (Khilafah) adalah fardhu atau wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam (khalifah), yang akan mengangkat bagi mereka para hakim dan orang-orang kepercayaan (umara’) mereka…”

Bagaimana dengan kalangan non-Ahlus Sunnah? Mereka juga sama; sama-sama mewajibkan Khilafah. Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya, Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal (IV/78), menyatakan, “Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murjiah, semua Syiah dan semua Khawarij mengenai wajibnya Imamah (Khilafah) dan bahwa umat wajib menaati Imam yang adil, yang akan menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan mengatur mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah saw…”

Wahai kaum Muslim:

Realitas sejarah jelas menunjukkan bagaimana keunggulan dan keagungan Khilafah pada masa lalu. Lebih dari itu, realitas syariah pun menunjukkan bahwa menegakkan Khilafah adalah wajib bagi kaum Muslim menurut para ulama, tentu berdasarkan ijtihad mereka saat menggali nash-nash syariah (al-Quran dan as-Sunnah).

Karena itulah, di tengah kebobrokan sistem Kapitalisme-sekular saat ini, menegakkan kembali Khilafah adalah urgen saat ini, baik secara rasional maupun syar’i. Khilafahlah satu-satunya institusi yang bisa menerapkan sistem Islam (hukum-hukum syariah) secara total dalam kehidupan, sebagai pekara yang telah Allah wajibkan atas kaum Muslim. Allah SWT berfirman:

فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ

Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (QS al-Maidah [5]: 48).

Allah SWT juga berfirman:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ

Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (QS al-Maidah [5]: 49).

Wallahu a’lam. []

Pradigma Sekulerisme, Pangkal Pemikiran yang Menolak Khilafah

Pengantar

Umat Islam pada masa sekarang sesungguhnya tidak pernah mengalami kehidupan di bawah Khilafah (negara Islam) sejak kehancurannya tahun 1924 di Turki (Mughni, 1997: 149). Pasca tragedi itu, praktis generasi umat Islam selanjutnya lahir dan hidup di bawah hegemoni sistem pemerintahan demokrasi ala Barat. Karena itu, ketika berbicara tentang sistem pemerintahan, mereka tidak akan mampu membayangkannya kecuali berdasarkan standar-standar sistem demokrasi yang dipaksakan penjajah. Ini diperparah lagi dengan bercokolnya peradaban Barat (al-hadhârah al-gharbiyyah)—yang berpangkal pada ide sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan)—di Dunia Islam yang telah merasuki segala sendi dan aspek kehidupan (An-Nabhani, 1994: 9).

Dalam kondisi seperti inilah, dapat dipahami mengapa lalu muncul opini-opini negatif seputar ide Khilafah. Misalnya, Khilafah sudah tidak relevan lagi untuk masa sekarang; Khilafah harus ditolak karena hanya menimbulkan konflik, perpecahan, bencana dan kemerosotan bagi umat; dan seterusnya. Opini-opini negatif itu lahir tentu bukan karena ide Khilafah itu batil dalam pandangan Islam, melainkan karena ia bertentangan dengan realitas sistem demokrasi yang ada, atau tidak sesuai dengan pola pikir sekularistik yang mengharuskan pemisahan agama dari politik.

Tulisan ini bermaksud menampilkan berbagai opini negatif tersebut, sekaligus mencermati dan mengkritisinya agar umat memahami bahwa opini-opini itu sesungguhnya adalah palsu dan harus ditolak.

Opini Negatif dan Jawabannya

Banyak sekali opini negatif tentang Khilafah, baik dari kalangan orientalis maupun intelektual Muslim dari luar dan dalam negeri. Para orientalis biasanya gemar melukiskan bahwa Khilafah itu penuh penyimpangan, kesewenang-wenangan, absolut, otoriter, dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban (Dhiauddin Rais, 2001: 283-284). T.W. Arnold dalam bukunya, The Caliphate, halaman 47, mengutip ucapan Arnold Toynbee, “Khalifah yang diakui (oleh para ulama) adalah sebuah pemerintahan despotis (sewenang-wenang), yang penguasanya mempunyai kekuasaan tak terbatas, dan menuntut ketaatan tanpa reserve dari rakyatnya.”

Senada dengan ini, D.S. Margoliouth, dalam bukunya, Mohammedanism halaman 97, mengatakan, “Jika seseorang telah ditentukan untuk memegang kekuasaan, maka kaum Muslim tidak mempunyai hak untuk menggugat pemimpin yang sedang berkuasa itu.”

Sementara itu, D.B. Donald mengatakan, “Tidak mungkin—sama sekali—seorang imam (khalifah) menjadi pemimpin berdasarkan konstitusi, dalam pengertian seperti yang kita ketahui.” (D.B. Donald, The Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, hlm. 58-59).

Terhadap opini ini bisa diajukan beberapa jawaban. Pertama, jika yang dimaksudkan oleh Toynbee dan Arnold adalah aspek normatif Islam, maka opini mereka adalah tuduhan palsu. Sebab, akan kita jumpai nash-nash syariat yang memberikan batasan kekuasaan khalifah dan mewajibkan muhâsabah (pengawasan) kepada penguasa. Dalam Islam, penguasa wajib berbuat adil, tidak boleh berbuat zalim (sewenang-wenang) (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 58). Rakyat wajib mengawasi dan mengontrol penguasa sebagai bagian dari aktivitas saling menasihati atau amar makruf nahi mungkar (Lihat: QS al-‘Ashr [103]: 3 dan Ali Imran [3]: 104 dan110). Ketaatan rakyat kepada penguasa hanya pada yang makruf, bukan pada yang mungkar. Rasullullah saw. bersabda:

«إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِيْ اْلمَعْرُوْفِ»

Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang makruf. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Kedua, jika yang mereka maksudkan adalah aspek realitas, bukan normatif, maka mungkin saja terjadi seorang khalifah berbuat zalim. Sebab, khalifah adalah manusia biasa, bukan orang yang maksum (infellible). Namun, kezaliman khalifah adalah fakta, bukan norma. Ini menyangkut apa yang ada (das sein), bukan apa yang seharusnya (das sollen). Sama halnya dengan seorang Muslim yang mencuri. Ini fakta, bukan berarti Islam membolehkan pencurian. Para orientalis telah sengaja mengaburkan dan mencampuradukkan dua hal yang amat berbeda ini.

Ketiga, opini para orientalis yang sengaja mengeksploitasi hal-hal negatif dari khilafah, sebenarnya didasarkan pula pada asumsi dan pengalaman Eropa sendiri, seperti perilaku despotik raja-raja Eropa pada Abad Pertengahan, atau khususnya di Prancis pada abad XVI-XVII menjelang revolusi Prancis (1789) (Mointesquieu, 1977: 200; Lucas, 1993: 269-283). Mereka melakukan generalisasi dari pengalaman sempit mereka serta menerapkannya pada realitas dan sejarah umat Islam. Tentu perspektif ini sangat gegabah dan sembrono.

Keempat, pendapat Donald juga tidak mendalam dan sangat tendensius. Sebab, sungguhpun dalam Khilafah tidak ada konstitusi dalam pengertian Barat—yang ditetapkan oleh majelis wakil rakyat, dalam Islam diakui adanya berbagai hukum yang diadopsi Khalifah untuk mengatur urusan rakyat (An-Nabhani, 2001: 86; 1953: 116-127). Bukankah hukum-hukum ini fungsinya sama dengan konsitusi dan undang-undang modern, yakni untuk mengatur urusan publik?

Pendapat para orientalis di atas akhirnya diadopsi oleh sebagian kalangan intelektual Muslim seperti Ali Abdur Raziq. Nama ini pantas disebut secara khusus, namun bukan dalam konteks keteladanan, melainkan dalam konteks kelancangannya menjadi ulama pertama yang mengingkari wajibnya Khilafah. Bukunya, Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm, yang terbit di Mesir tahun 1925 menafikan hubungan Islam dengan politik. Raziq, dalam bukunya itu (hlm. 150 dan 167) menolak adanya sebuah sistem pemerintahan dalam Islam dan menolak bahwa Rasul telah mendirikan sebuah negara yang bersifat politis (Al-Khalidi, 1980: 85). Sementara itu, Dr. Sulaiman ath-Thamawi dalam bukunya, As-Sulthath ats-Tsalâts halaman 282 mengatakan, bahwa al-Quran dan as-Sunnah tak pernah menyinggung masalah pemerintahan, kecuali sekilas dan sekelumit saja (Al-Khalidi, 1980: 87). Karena itu, bentuk sistem pemerintahan dalam Islam akan selalu berkembang dan berubah mengikuti tuntutan perkembangan masyarakat. Inilah juga inti pendapat Muhammad Al-Baltaji dalam bukunya, Manhaj Umar ibn al-Khaththâb fî at-Tasyrî‘’ (hlm. 417), dan Dr. Muhammad Abdullah Al-Arabi dalam bukunya, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm (hlm. 49) (Al-Khalidi, 1980: 87). Ujung-ujung berbagai opini ini akhirnya dapat diduga, yaitu menolak konsep Khilafah dan menerima sistem demokrasi yang ada. Fazlur Rahman, misalnya, menyatakan bahwa negara dalam Islam adalah berbentuk republik demokrasi dengan berkedaulatan rakyat. Menurutnya, sistem demokrasi ini sesuai dengan Islam, realistis, dan akan menyenangkan masyarakat jika diterapkan (Amiruddin, 2000: 153).

Pendapat para orientalis dan para intelektual Muslim luar negeri yang negatif terhadap Khilafah ini pada gilirannya juga merasuki para intelektual Muslim di Indonesia. Harun Nasution (1983), misalnya, mengatakan bahwa tidak ada ayat atau hadis yang mengharuskan sistem pemerintahan tertentu dalam Islam. Karena itu, dalam sejarah, bentuk sistem pemerintahan Islam bisa berubah-ubah.

Pendapat yang senada ini banyak sekali, yang intinya menolak negara Islam (Khilafah) dan membenarkan demokrasi, seperti Munawir Syadzali dalam bukunya, Islam dan Tata Negara (1990), Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya, Islam dan Masalah Kenegaraan (1985), Nurcholish Madjid dalam bukunya, Tidak Ada Negara Islam (1997). Masih banyak lagi. Kiranya kini sangat sulit sekali menemukan intelektual atau ulama Indonesia yang ikhlas yang tetap mengakui wajibnya Khilafah. Sulit sekali menemukannya. Kalaupun ada, hanya segelintir, misalnya KH. Moenawar Khalil dalam bukunya, Khalifah (Kepala Negara) Sepanjang Pimpinan Qur`an dan Sunnah (1984) dan Ulil Amri (1984).

Terhadap berbagai opini intelektual Muslim ini, dapat diajukan beberapa jawaban secara garis besar. Pertama, dari segi orisinalitas, opini-opini tersebut sesungguhnya tidaklah orisinal, tetapi sekadar plagiat dan imitasi dari pendapat orientalis yang kafir. Tujuannya sama dengan orientalis, yakni menolak negara Islam dan membenarkan peradaban Barat yang tengah menguasai Dunia Islam, tak ada lain.

Kedua, dari segi ide dasar, para intelektual tersebut (seperti Ali Abdur Raziq, Harun Nasution, dan Nurcholish Madjid) sebenarnya telah mempercayai sekularisme sebagai standar yang absolut dan tidak boleh diubah. Sekularisme yang merupakan pengalaman lokal Barat telah dianggap bisa berlaku secara universal sehingga bisa diterapkan pula untuk umat Islam (Audi, 2002: xiv). Jadi, Islamlah yang harus diubah jika tidak sesuai dengan sekularisme, atau sekularisme dicari-cari justifikasinya secara paksa dari khazanah pemikiran Islam (Armas, 2003: 14-22).

Ketiga, dari segi metode berpikir (tharîqah at-tafkîr), para intelektual itu telah menjadikan realitas sebagai sumber pemikiran. Positivisme yang menjadikan realitas empirik sebagai sumber pengetahuan telah menjadi pegangan absolut, melebihi sumber pengetahuan berupa wahyu (Al-Quran dan as-Sunnah). Ini tampak jelas dari cara berpikir Harun Nasution, yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan selalu berubah-ubah sepanjang sejarah. Tentu, cara berpikir ini sangat naif. Sebab, yang berubah sebenarnya bukanlah sistem pemerintahan Islam secara normatif, melainkan bentuk atau cara pelaksanaannya secara praktis-empiris, yang bisa saja menjadi tidak sesuai dengan Islam. Contohnya adalah sistem putra mahkota semasa Muawiyah. Ini adalah penyimpangan. Dengan adanya fakta semacam ini dalam realitas sejarah Islam, tidak berarti bahwa Islam membenarkannya. Sejarah mencatat bahwa para sahabat menolak tindakan Muawiyah itu.

Keempat, secara syar‘î, opini-opini yang menolak Khilafah adalah benar-benar suatu pendapat yang baru pada abad ke-20, yang tidak pernah diungkapkan oleh seorang pun dari kalangan mujtahidin yang terpercaya. Ini berkebalikan secara total dengan pendapat palsu Abdullah Ahmed an-Naim, misalnya, yang mengatakan bahwa ide “negara Islam” adalah pembaruan yang dilakukan oleh kaum fundamentalis selama paruh kedua abad ke-20 (Berger, 2003: 202). Memang, kosakata negara Islam (ad-dawlah al-islâmiyyah) populer pada abad XX. Akan tetapi, sejak dulu para ulama telah menggunakan istilah imamah, khilafah, atau darul Islam untuk maksud yang sama (Az-Zuhaili, 1996: 823). Dalam hal kewajibannya, Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, dalam kitabnya, Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba‘ah, (juz V hlm. 308), telah menukilkan bahwa Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, dan Ahmad telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu hukumnya wajib (Al-Jaziri, 1999: 308; Ad-Dimasyqi, 1996: 208).

Penutup

Jika kita mendalami opini-opini negatif di atas, sesungguhnya asumsi dasar di balik semua opini negatif itu adalah pengakuan terhadap paham sekularisme. Inilah satu-satunya pangkal semua opini penolakan Khilafah. Tak ada ide yang lain. Sekularisme yang tumbuh dan lahir dalam setting sosio-historis Barat ini telah dijadikan qâ‘idah fikriyyah (landasan pemikiran) untuk membangun semua pemikiran cabang, sekaligus menjadi miqyâs (standar) untuk menilai benar salahnya pemikiran lain. Padahal, sekularisme adalah konsep partikular dan lokal (Barat), serta tidak bisa dipaksakan secara universal atas Dunia selain-Barat.

Selain itu, berbagai opini yang berusaha memberikan citra buruk pada Khilafah atau menegasikan kewajiban Khilafah sebenarnya mendasarkan diri pada positivisme, yang dirintis oleh August Comte (w. 1857). Menurut paham ini, realitas adalah sumber pemikiran. Realitas juga standar untuk menilai benar salahnya suatu gagasan (Suparman & S. Malian, 2003: 48-49)

Lebih dari itu, opini-opini negatif yang berusaha memburukkan citra Khilafah, atau menegasikan kewajiban Khilafah, sesungguhnya dimaksudkan untuk menghancurkan laju kebangkitan umat Islam untuk mengembalikan Khilafah. Selain itu, opini-opini jahat itu hanya dimaksudkan untuk melestarikan hegemoni sistem demoktasi-sekular yang ada, agar negara-negara kapitalis yang kafir di bawah pimpinan AS dapat terus menginjak-injak dan menghinakan umat Islam di seluruh dunia. [M. Shiddiq Al-Jawi]

Daftar Pustaka

Ad-Dimasyqi, Muhammad ibn Abdurrahman (Qadhi Shafd). 1996. Rahmah al-Ummah fî Ikhtilâf al-A’immah. Cetakan I. Beirut: Darul Fikr.

Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba‘ah. Juz V. Cetakan I. Beirut: Darul Fikr.

Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm. Cetakan I. Kuwait: Dar Al-Buhuts al-Ilmiyah.

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah. Juz II. Cetakan II. Al-Quds: Min Mansyurat Hizb at-Tahrir.

———-. 1994. Ad-Dawlah al-Islâmiyah. Cetakan V. Beirut: Darul Ummah.

———-. 2001. Nizhâm al-Islâm. Cetakan VI. T.tp.: Min Mansyurat Hizb at-Tahrir.

Amiruddin, M. Hasbi. 2000. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman. Cetakan I. Yogyakarta : UII Press.

Armas, Adnin. 2003. Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal. Cetakan I. Jakarta: Gema Insani Press.

Audi, Robert. 2002. Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal. Cetakan I. Yogyakarta: UII Press.

Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh. Juz IX (Al-Mustadrak). Cetakan I. Damaskus/Beirut: Darul Fikr.

Berger, Peter L. (Ed.). 2003. Kebangkitan Agama Menantang Politik Dunia (The Desecularization of The World). Alih Bahasa Hasibul Khoir. Yogyakarta: Ar-Ruzz.

Khalil, Moenawar. 1984. Khalifah (Kepala Negara) Sepanjang Pimpinan Qur’an dan Sunnah. Cetakan II. Solo: CV. Ramadhani.

———-. 1984. Ulil Amri. Cetakan I. Solo: CV. Ramadhani.

Lucas, Henry S. 1993. Sejarah Peradaban Barat Abad Pertengahan (A Short History of Civilization). Alih Bahasa Sugihardjo Sumobroto & Budiawan. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Ma’arif, Ahmad Syafii. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.

Montesquieu. 1977. The Spirit of Laws. Edited by David Wallace Carrithers. Berkeley: University of California Press.

Mughni, Syafiq A.1997. Sejarah Kebudayaan Islam di Turki. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Nasution, Harun. 1983. “Islam dan Sistem Pemerintahan Sebagai Berkembang Dalam Sejarah.” Studia Islamika No. 17 Th. VIII Juli 1983. Jakarta: LPIAIN Syarif Hidayatullah.

Rais, Dhiauddin. 2001. Teori Politik Islam (An-Nazhariyah As-Siyâsiyyah al-Islâmiyyah). Alih Bahasa Abdull Hayyi Al-Kattanie dkk. Jakarta: Gema Insani Press.

Robert, Keith A. 1984. Religion in Sociological Prespective. Illinois: The Dorsey Press.

Santoso, Agus Edi (Ed.). 1997. Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Muhammad Roem. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Sjadzali, Munawwir. 1990. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: UI Press.

Suparman & S. Malian. 2003. Ide-Ide Besar Sejarah Intelektual Amerika. Cetakan I. Yogyakarta: UII Press.

Partai Politik dalam Islam

Makna dan Fungsi Partai Politik Kini

Partai politik dalam era modern dimaknai sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuannya adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia). Dilihat dari pengertian tersebut, ada beberapa unsur penting yang ada dalam partai politik, yaitu: orang-orang, ikatan antara mereka hingga terorganisir menjadi satu kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama.

Dalam praktek kekinian, setidaknya ada empat fungsi partai politik, yaitu:

Pertama, partai sebagai sarana komunikasi politik. Partai menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat. Partai melakukan penggabungan kepentingan masyarakat (interest aggregation) dan merumuskan kepentingan tersebut dalam bentuk yang teratur (interest articulation). Rumusan ini dibuat sebagai koreksi terhadap kebijakan penguasa atau usulan kebijakan yang disampaikan kepada penguasa untuk dijadikan kebijakan umum yang diterapkan pada masyarakat.

Kedua, partai sebagai sarana sosialisasi politik. Partai memberikan sikap, pandangan, pendapat, dan orientasi terhadap fenomena (kejadian, peristiwa dan kebijakan) politik yang terjadi di tengah masyarakat. Sosialisi politik mencakup juga proses menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan, partai politik berusaha menciptakan image (citra) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum.

Ketiga, partai politik sebagai sarana rekrutmen politik. Partai politik berfungsi mencari dan mengajak orang untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai.

Keempat, partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Di tengah masyarakat terjadi berbagai perbedaan pendapat, partai politik berupaya untuk mengatasinya. Namun, semestinya hal ini dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi atau partai itu sendiri melainkan untuk kepentingan umum.

Belajar dari Realitas Partai

Indonesia adalah negeri Muslim terbesar di dunia. Tapi, sungguh ironis, Islam malah dipinggirkan. Mengapa?

Pertama, partai-partai yang berkuasa lebih bercorak sekular dan kebangsaan. Konsekuensinya, aturan-aturan yang diterapkan adalah aturan-aturan sisa peninggalan penjajah Belanda. Sistem ekonomi yang dipraktekkan pun ekonomi Kapitalistik yang secara intrinsik meniscayakan kesenjangan yang hebat antara kaya dengan miskin. Kekayaan alam milik rakyat pun dibiarkan dikuasai asing dan para saudagar dalam negeri. Semuanya legal karena ditopang oleh perundang-undangan yang dibuat oleh wakil-wakil partai-partai tersebut yang duduk di parlemen.

Kedua, partai-partai Islam yang ada tidak memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas dan tegas. Sebagai contoh, ketika mensikapi fenomena kepala negara perempuan hanya berkomentar, “Ini masalah fikih. Semua terserah rakyat.” Pada waktu didesak pendapatnya tentang syariah Islam, menjawab, “Syariah Islam itu kan keadilan, kebebasan, dan kesetaraan.” Kalau begitu, tidak ada bedanya dengan partai-partai umumnya. Ketika ramai membincangkan amandemen UUD 1945 tentang dasar negara, sebagian menyatakan, “Partai kami tidak akan mendirikan Negara Islam”, “Kembali kepada Piagam Jakarta”, dan partai Islam lainnya menyatakan ‘Indonesia ini plural harus kembali ke Piagam Madinah di mana tiap agama menjalankan hukum masing-masing’. Sikap demikian membuat umat menyimpulkan tidak ada bedanya antara partai yang menamakan partai Islam dengan partai lainnya.

Ketiga, partai-partai secara umum hanya diperuntukkan bagi pemenangan Pemilu. Kegiatannya terkait persoalan rakyat hanya digiatkan menjelang Pemilu. Dalam kurun waktu antara dua Pemilu, umumnya partai kurang aktif. Kalaupun aktif lebih disibukkan dengan aktivitas Pilkada untuk menggoalkan calonnya. Interpelasi masalah beras atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hanya panas-panas tahi ayam. Ujungnya, tidak ada penyelesaian.

Keempat, tidak menjalankan metode yang jelas. Untuk melakukan perubahan di tengah masyarakat ditempuh dengan membuat undang-undang. Namun, jalannya dengan kompromi dan tambal sulam. Bahkan, berkoalisi antara partai Islam dengan partai nasionalis yang anti Islam, bahkan partai kristen yang jelas-jelas memproklamirkan dirinya ‘konsisten menentang syariah’. Kalaupun menyatakan ‘partai nasionalis relijius’ tidak jelas apa maksudnya. Dengan perilaku demikian rakyat tidak melihat ada bedanya antara partai Islam dengan partai nasionalis, misalnya.

Kelima, tidak adanya ikatan yang kuat di antara para anggotanya. Ikatan yang ada lebih pada kepentingan. Muncullah perpecahan di dalam tubuh partai-partai Islam atau berbasis massa umat Islam.

Keenam, perilaku sebagian anggota/pengurus tidak mencerminkan partai Islam sesungguhnya. Aliran dana untuk DPR termasuk yang ‘tidak jelas asalnya’, juga diterima oleh sebagian partai Islam. Alasannya, nanti akan dikembalikan kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Hal ini menambah pemahaman masyarakat tentang sulitnya membedakan antara partai Islam dengan partai bukan Islam.

Inilah beberapa penyebab kegagalan partai, khususnya partai Islam. Karenanya, siapapun harus belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut.

Memaknai Partai Politik Islam

Pengertian dan fungsi partai politik yang disampaikan di muka sangatlah umum. Visi dan misinya amat terbuka, bisa berdasarkan Sekular-Kapitalis, Sosialis/Komunis, atau Islam. Lalu, bagaimana cara untuk mewujudkan partai yang benar?

Terlebih dahulu, penting untuk didudukkan apa hakikat partai politik (hizbun siyasiy) dalam sudut pandang Islam. Secara bahasa, kata hizb dipakai dalam beberapa ayat al-Quran. Di antaranya, Imam Jalalain dalam memaknai kata ’hizb (hizbullah)’ dalam surat al-Maidah ayat 56 dan Mujadilah ayat 22 sebagai atba’uhu (pengikutnya) serta orang-orang yang mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Imam al-Qurthubiy dalam tafsirnya memaknai kata hizb dalam surat al-Maidah ayat 56, Al-Mukminun ayat, 53 dan Mujadilah ayat 19 sebagai penolong, sahabat, kelompok (fariq), millah, kumpulan orang (rohth). Sementara itu, dalam kamus Al-Muhit, disebutkan: Sesungguhnya partai adalah sekelompok orang. Partai adalah seorang dengan pengikut dan pendukungnya yang punya satu pandangan dan satu nilai’’. Imam Ar-Razi dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib berkata, “Partai adalah kumpulan orang yang satu tujuan, mereka bersama-sama bersatu dalam kewajiban partai untuk mewujudkan tujuannya”.

Adapun terkait makna politik (siyasah) disebutkan dalam kamus Al-Muhit bahwa As-Siyasah (politik) berasal dari kata: Sasa –Yasusu – Siyasatan bi ma’na ra’iyatan (pengurusan). Al-Jauhari berkata: sustu ar-raiyata siyasatan artinya aku memerintah dan melarang kepadanya atas sesuatu dengan sejumlah perintah dan larangan). Wa as-siyasah maksudnya: al-qiyamu ‘ala syaiin bima yashluhuhu (siyasah/politik adalah melakukan sesuatu yang memberi mashlahat padanya) (Lisanul Arab, Ibn Mandzur). Dengan demikian, politik/siyasah bermakna mengurusi urusan berdasarkan suatu aturan tertentu yang tentu berupa perintah dan larangan.

Rasulullah SAW menggunakan kata siyasah (politik) dalam sabdanya:

»كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ

نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ

فَيَكْثُرُونَ«

Adalah Bani Israil, urusan mereka diatur (tasusuhum) oleh para Nabi. Setiap seorang Nabi wafat, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada Nabi sesudahku, dan akan ada para khalifah yang banyak (HR. Bukhari).

Di dalam kitab Fath al-Bariy, pada syarah hadits ini , dijelaskan makna siyasah (politik):

( تسوسهم الأنبياء) أي أنهم كانوا إذا ظهر فيهم

فساد بعث الله لهم نبيا لهم يقيم أمرهم ويزيل ما

غيروا من أحكام التوراة , وفيه إشارة إلى أنه لا بد

للرعية من قائم بأمورها يحملها على الطريق

الحسنة وينصف المظلوم من الظالم

“(Mereka diurus oleh para Nabi), maksudnya, tatkala tampak kerusakan di tengah-tengah mereka, Allah pasti mengutus kepada mereka seorang Nabi yang menegakkan urusan mereka dan menghilangkan hukum-hukum Taurat yang mereka rubah. Di dalamnya juga terdapat isyarat, bahwa harus ada orang yang menjalankan urusan di tengah-tengah rakyat yang membawa rakyat melewati jalan kebaikan, dan membebaskan orang yang terzalimi dari pihak yang zhalim”

Berdasarkan makna hizbun (partai) dan siyasah (politik) tadi, maka dapat disebutkan bahwa partai politik (hizbun siyasiy) merupakan suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, cita-cita dan tujuan yang sama dalam rangka mengurusi urusan rakyat. Dengan kata lain, partai politik adalah kelompok yang berdiri di atas sebuah landasan ideologi yang diyakini oleh anggota-anggotanya, yang ingin mewujudkannya di tengah masyarakat.

Karakteristik Partai Politik Islam

Allah SWT mengisyaratkan hal ini didalam firman-Nya:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (TQS. Ali ’Imran[3]: 104).

Imam Al-Qurthubi mendefinisikan kata (أمة) dalam tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, sebagai sekumpulan orang yang terikat dalam satu akidah. Tetapi, menurutnya, umat dalam surat Ali ‘Imran ayat 104 ini juga bermakna kelompok karena adanya lafadz “minkum” (di antara kalian). Imam Ath-Thabari, seorang faqih dalam tafsir dan fiqh, berkata dalam kitabnya Jami’ Al-bayan tentang arti ayat ini yakni: ‘’(Wal takun minkum) Ayuhal mu’minun (ummatun) jama’atun‘’, artinya: “Hendaknya ada di antaramu (wahai orang-orang beriman) umat )jama’ah yang mengajak pada hukum-hukum Islam(”. Al-Qadhi Al-Baydhawi dalam kitabnya, Tafsir al-Baidhawi tentang arti ayat ini menyatakan: Lafadz Min —dalam ayat tersebut— mempunyai konotasi li at-tab’idh (menujukkan makna sebagian). Karena amar makruf dan nahi munkar merupakan fardhu kifayah.

Disamping karena aktivitas tersebut tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, ketika orang yang diperintah oleh nash tersebut harus mempunyai sejumlah syarat, yang tidak bisa dipenuhi oleh semua orang. Seperti pengetahuan tentang hukum, tingkat kecakapan, tatacara menunaikannya dan kemampuan melaksanakannya. Perintah tersebut memang menyerukan kepada seluruhnya (umat Islam), namun yang diminta mengerjakannya hanya sebagian dari mereka. Itu membuktikan, bahwa perintah tersebut wajib untuk seluruhnya, sehingga ketika mereka meninggalkan pokok kewajiban tersebut, semuanya berdosa. Namun, kewajiban tersebut dinyatakan gugur dengan dikerjakan oleh sebagian di antara mereka. (Al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz I, hal. 374).

Pada titik terakhir ini, Imam as-Syathibi memberikan penegasan, “Pada dasarnya mereka (kaum Muslim) dituntut untuk menunaikannya secara keseluruhan. Namun, mereka ada yang mampu melaksanakannya secara langsung. Mereka inilah orang-orang berkompeten untuk melaksanakannya. Sedangkan yang lain, meski mereka tidak mampu, tetapi tetap mampu menghadirkan orang-orang yang berkemampuan. Jadi, siapa saja yang mampu menjalankan pemerintahan (wilayah), dia dituntut untuk melaksanakannya. Bagi yang tidak mampu, dituntut untuk melakukan perkara lain, yaitu menghadirkan orang yang mampu dan memaksanya untuk melaksanakannya. Kesimpulannya, yang mampu dituntut untuk menjalankan kewajiban tersebut, sementara yang tidak mampu dituntut untuk menghadirkan orang yang mampu. Alasannya, karena orang yang mampu tersebut tidak akan ada, kecuali dengan dihadirkan. Ini merupakan bagian dari Ma la yatimmu al-wajib illa bihi, yaitu kewajiban yang hanya bisa dijalankan dengan sempurna dengan adanya perkara tadi.” (as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, juz I, hal. 128-129)

Ringkasnya, di dalam ayat itu disebutkan ‘Hendaknya ada di antara kamu segolongan umat …’, artinya, hendaknya ada sekelompok/segolongan orang dari kaum Muslim (ummatan minal muslimin atau jama’atan minal muslimin). Ayat ini menegaskan perintah kepada kaum Muslim tentang keharusan adanya kelompok/jama’ah. Kelompok untuk apa? Untuk menjalankan dua fungsi: pertama, da’wah ilal khair (menyeru kepada al-khoir) dan kedua, amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari perkara munkar).

Kata al-khair dalam frase da’wah ilal khair menurut tafsir Jalalain berarti al-Islam (Tafsir al-Quran al-’Azhim li al-imamain Jalalain, hal. 58), sehingga makna da’wah ilal khair adalah mendakwahkan/menyeru manusia kepada Islam. Sementara itu, Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa al-khair adalah mengikuti al-Quran dan as-Sunnah. Maksud ayat tersebut, lanjutnya adalah hendaknya ada dari umat ini suatu kelompok yang solid dalam menjalankan tugas tersebut sekalipun hal itu juga merupakan kewajiban atas setiap individu umat ini (Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-’Azhim, Juz I, hal. 478). Berdasarkan hal ini, jelaslah kelompok yang dikehendaki Allah adalah kelompok yang secara penuh berjuang untuk menyerukan Islam.

Pada sisi lain, kelompok tersebut berbentuk partai politik. Hal ini dipahami dari fungsi kedua dari kelompok itu, yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Cakupan amar ma’ruf nahi munkar amat luas, termasuk di dalamnya menyeru para penguasa agar mereka berbuat ma’ruf (melaksanakan syariah Islam) dan melarangnya berbuat munkar (menjalankan sesuatu yang bertentangan dengan syariah Islam). Bahkan, mengawasi para penguasa dan menyampaikan nasihat kepadanya merupakan bagian terpenting dari aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.

Padahal, aktivitas demikian merupakan aktivitas politik sekaligus termasuk kegiatan politik yang amat penting, yang menjadi ciri utama kegiatan sebuah partai politik. Jadi, ayat tersebut mengisyaratkan tentang kewajiban mendirikan partai-partai politik yang berdasarkan Islam. Dengan kata lain, partai politik yang harus ada adalah partai politik yang tegak di atas ideologi (mabda) Islam atau partai Islam ideologis.

Berdasarkan hal tersebut, partai politik Islam adalah partai yang berideologi Islam, mengambil dan menetapkan ide-ide, hukum-hukum dan pemecahan problematika dari syariah Islam, serta metode operasionalnya mencontoh metode (thariqah) Rasulullah SAW.

Partai politik Islam adalah partai yang berupaya menyadarkan masyarakat dan berjuang bersamanya untuk melanjutkan kehidupan Islam. Partai politik Islam tidak ditujukan untuk meraih suara dalam Pemilu atau berjuang meraih kepentingan sesaat, melainkan partai yang berjuang untuk merubah sistem Sekular menjadi sistem yang diatur oleh syariah Islam. Orang-orang, ikatan antara mereka hingga terorganisir menjadi satu kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama semuanya haruslah didasarkan dan bersumber dari Islam. Karenanya, partai Islam yang ideologis memiliki beberapa karakter, di antaranya:

1. Dasarnya adalah Islam. Hidup matinya adalah untuk Islam.

2. Orang-orangnya adalah orang-orang yang berkepribadian Islam. Mereka berpikir berdasarkan Islam dan berbuat berdasarkan Islam. Partai politik Islam terus menerus melakukan pembinaan kepada para anggotanya hingga mereka memiliki kepribadian Islam sekaligus memiliki pemikiran, perasaan, pendapat dan keyakinan yang sama, sehingga orientasi, nilai, cita-cita dan tujuannya pun sama. Merekapun menjadi sumberdaya manusia (SDM) yang siap untuk menerapkan syariah Islam. Pada saat yang sama, ikatan yang menyatukan mereka bukan kepentingan atau uang melainkan akidah Islamiyah.

3. Memiliki amir/pemimpin partai yang menyatu dengan pemikiran Islam dan dipatuhi selama sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah. Nabi SAW bersabda, “Jika kalian bertiga dalam satu safar, tunjuklah amir satu di antaramu” (HR Muslim).

4. Memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas terkait berbagai hal. Partai Islam haruslah memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas tentang sistem ekonomi, sistem politik, sistem pemerintahan, sistem sosial, sistem pendidikan, politik luar negeri, dll. Semuanya harus tersedia dan siap untuk disampaikan. Konsepsi inilah yang disosialisasikan kepada masyarakat hingga mereka menjadikan penerapan semua sistem Islam tersebut sebagai kebutuhan bersama. Syariah Islam inilah yang diperjuangkan untuk ditegakkan. Pada sisi lain, konsepsi tidak akan dapat dilakukan kecuali adanya metode pelaksanaan (thariqah). Dan metode pelaksanaan hukum Islam tersebut adalah melalui pemerintah yang menerapkan Islam. Upaya mewujudkan pemerintahan yang menerapkan hukum Islam (khilafah) tersebut merupakan arah yang dituju partai Islam.

5. Mengikuti metode yang jelas dalam perjuangannya sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Pertama, melakukan pembinaan dan pengkaderan. Kedua, bergerak dan bergaul bersama dengan masyarakat. Ketiga, menegakkan syariah secara total dengan dukungan dan bersama dengan rakyat.

6. Melakukan aktivitas:

a. Membangun tubuh partai dengan melakukan pembinaan secara intensif sehingga menyakini ide-ide yang diadopsi oleh partai.

b. Membina umat dengan Islam dan pemikiran, ide serta hukum syara’ yang diadopsi oleh partai, sehingga tercipta opini tentang syari’at Islam sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah umat dan keharusan menerapkan syariah Islam dalam wadah Khilafah.

c. Melakukan perang pemikiran dengan semua ide, pemikiran, aturan yang bertentangan dengan Islam.

d. Melakukan koreksi terhadap penguasa yang tidak menerapkan Islam atau menzhalimi rakyat.

e. Perjuangan politik melawan negara kafir penjajah dan para penguasa yang zhalim.

Arah Jalan

Secara umum ada dua jalan yang ditempuh dalam perjuangan merubah sistem Sekular menjadi Islam. Pertama, jalan parlemen. Jalan ini menggunakan logika linier, yaitu partai politik ikut dalam parlemen untuk merumuskan perundang-undangan yang sesuai dengan syariah. Dengan demikian, sistem akan berubah.

Fakta menunjukkan perubahan total tidak pernah terjadi melalui jalan parlemen. Kalaupun bisa terjadi bersifat parsial. Karenanya, perjuangan melalui parlemen bukanlah metode untuk melakukan perubahan total.

Parlemen tidak dapat dijadikan sebagai metode perubahan. Sebab, metode perubahan melalui parlemen hanya bersifat teoritis belaka bukan praktis. Selain itu, pemilu bukanlah metode perubahan yang telah ditempuh oleh Rasul saw. ketika mendirikan pemerintahan Islam. Selain itu, fakta di Indonesia juga menunjukkan bahwa partai-partai politik dan anggota parlemen sejak awal telah melihat keharusan mereka untuk terikat dengan Sekularisme Kapitalisme beserta produk perundangan-undangannya. Ini artinya, pemilu di Indonesia tidak diadakan dalam rangka melakukan perubahan mendasar apapun.

Pada sisi lain dilihat dari faktanya, parlemen itu memiliki tiga fungsi, yaitu:

1. Membuat undang-undang dasar dan undang-undang serta mengesahkan berbagai kesepakatan, rancangan undang-undang, dan berbagai perjanjian yang lain.

2. Mengangkat kepala negara –di beberapa negara, dia dipilih secara langsung oleh rakyat– dan memberikan mandat kepadanya untuk menjalankan pemerintahan.

3. Melakukan pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintahan.

Partai Islam ditujukan untuk menerapkan Islam secara kaffah, karenanya partai yang membuat undang-undang sekular, melalui wakilnya yang duduk di parlemen, bertentangan dengan fakta partai Islam itu sendiri. Lebih dari itu, dalam pandangan Islam, manusia tidak berhak membuat hukum dan undang-undang. Yang berhak membuat hukum perundang-undangan itu hanyalah Allah SWT. Allah berfirman:

إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ

Kuputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. (TQS. Yûsuf [12]: 40)

Begitu juga pemberian mandat kepada pemerintah yang tidak berhukum dengan hukum Allah, jelas hukumnya haram, tidak boleh dilakukan oleh partai Islam. Allah SWT menegaskan hal ini dalam firmanNya:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barang siapa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah (syariah Islam), maka mereka termasuk orang-orang kafir. (TQS. al-Mâidah [5]: 44)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ

Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang zalim. (TQS. al-Mâ’idah [5]: 45)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Barang siapa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah (syariah Islam), maka mereka termasuk orang-orang fasiq” (TQS. al-Mâidah [5]: 47)

Adapun aktivitas pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintahan merupakan kewajiban yang harus dilakukan, termasuk oleh partai politik. Caranya, bisa dari luar parlemen, bisa juga dari dalam parlemen. Karena itu, siapapun yang ada di dalam parlemen harus menjadikannya sebagai mimbar dakwah dalam rangka melakukan koreksi (muhasabah) bagi penguasa. Satu hal yang penting dicatat adalah parlemen sebagai mimbar dakwah hanyalah salah satu teknik (uslub) saja dalam melakukan koreksi pada penguasa.

Jalan kedua adalah jalan yang merupakan metode perubahan. Metode ini adalah metode yang ditempuh oleh Rasulullah SAW. Metode tersebut berupa pembinaan umat Islam dan berinteraksi dengan mereka hingga terbentuk kesadaran umum pada diri mereka. Bukan sembarang kesadaran melainkan kesadaran bahwa mereka adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk seluruh umat manusia, dan kesadaran bahwa agama Islam yang telah diturunkan oleh Allah kepada Muhammad adalah risalah paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Umat pun menjadi sadar bahwa Allah akan memenangkannya atas semua agama dan ideologi, termasuk atas demokrasi Barat.

Agama inilah satu-satunya yang akan membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya Islam. Tidak berhenti sampai di situ, muncul pula kesadaran bahwa masalah utama umat Islam saat ini adalah mengembalikan Khilafah Islam yang akan menerapkan syariah Allah di dalam negeri, mengemban risalah ke seluruh dunia, serta menyatukan kaum Muslim di bawah panji La ilaha illallah. Umat juga sadar bahwa mengembalikan Khilafah itu harus dilakukan melalui thalab an-nushrah (aktivitas mencari pertolongan) dari para pemilik kekuatan (ahlul quwwah), bukan melalui pemilihan umum. Partai politik Islam melakukan proses penyadaran pada semua lini masyarakat.

Dalam prakteknya, partai Islam tidak lepas dari langkah-langkah berikut:

1. Dimulai dengan pembentukan kader yang berkepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah), melalui pembinaan intensif (halqah murakkazah) dengan materi dan metode tertentu. Proses ini akan menjadikan rekrutmen kader politik tidak pernah surut. Bukan kader yang berambisi untuk mendapatkan kursi melainkan kader perjuangan dalam menegakkan Islam demi kemaslahatan manusia.

2. Pembinaan umat (tatsqif jamaiy) untuk terbentuknya kesadaran masyarakat (al-wa’yu al-am) tentang Islam. Pembinaan ini harus menghubungkan realitas yang terjadi dengan pandangan dan sikap Islam terhadap realitas tersebut. Misalnya, memperbincangkan dengan masyarakat persoalan kenaikan harga listrik, BBM, penjualan kekayaan rakyat kepada asing, tekanan Dana Moneter Internasional (IMF), penghinaan terhadap Nabi/al-Quran/Islam, dll, disertai penjelasan hukum Islam tentang masalah tersebut. Partai membuat komentar, analisis, dan sikap politik terkait hal-hal tersebut lalu disampaikan kepada rakyat. Juga, dilakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa serta membongkar rencana jahat negara asing. Dengan cara seperti ini rakyat akan memiliki sikap politik sesuai dengan pandangan Islam terhadap berbagai peristiwa yang terjadi. Dengan pembinaan ini pula terjadi transfer nilai-nilai dan hukum Islam dari generasi ke generasi. Partai Islam sehari-hari berada di tengah rakyat.

3. Pembentukan kekuatan politik melalui pembesaran tubuh partai (tanmiyatu jismi al-hizb) agar kegiatan pengkaderan dan pembinaan umum dapat dilakukan dengan lebih intensif, hingga terbentuk kekuatan politik (al-quwwatu al-siyasiya). Kekuatan politik adalah kekuatan umat yang memilliki kesadaran politik Islam (al-wa’yu al-siyasiy al-islamy), yakni kesadaran bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan syariah Islam. Maka harus ada upaya terus menerus penyadaran politik Islam kepada masyarakat, yang dilakukan oleh kader. Makin banyak kader, makin cepat kesadaran terbentuk sehingga kekuatan politik juga makin cepat terwujud. Di sinilah agregasi dan artikulasi kepentingan rakyat terjadi. Apa yang menjadi kepentingan rakyat tersebut tidak lepas dari tuntutan dan tuntunan aturan Islam. Dengan cara seperti ini terjadi komunikasi politik dan sosialisi politik antara partai dengan rakyat hingga massa umat memiliki kesadaran politik.

Pemikiran partai Islam tentu berbeda dengan partai Sekular-Kapitalis-Liberal maupun Sosialis-Komunis. Sebagai contoh, dalam masalah ekonomi, partai sekular menjadikan seluruh aset produksi, termasuk sumber daya alam (SDA) dibiarkan dikuasai oleh individu atau swasta berdasarkan mekanisme pasar. Sementara partai Sosialis menjadikan negara sebagai aktor tunggal aktivitas ekonomi, sehingga semua aset produksi, termasuk sumber daya alam (SDA) dimonopoli oleh negara. Rakyat pun tidak boleh memiliki aset produksi apapun. Adapun partai Islam, menjadikan aset produksi, termasuk sumber daya alam (SDA), sesuai dengan mekanisme hukum syara’, yang terbagi dalam tiga jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan individu, umum dan negara. Ada juga partai yang tidak memiliki konsep apapun tentang masalah tersebut, maka senyatanya ia bukanlah partai, atau sekadar partai papan nama.

4. Massa umat yang memiliki kesadaran politik menuntut perubahan ke arah Islam. Di sinilah penggabungan kepentingan (interest aggregation) dan perumusan kepentingan (interest articulation) dilandaskan pada Islam dan diperjuangkan bersama antara partai dengan rakyat.

5. Penyampaian Islam pun ditujukan kepada ahl-quwwah dan pihak-pihak yang berpengaruh seperti politisi, orang kaya, tokoh masyarakat, media massa dan sebagainya. Melalui pendekatan intensif ahl-quwwah setuju dan mendukung perjuangan partai bersama rakyat. Kekuatan politik yang didukung oleh berbagai pihak semacam ini tidak akan terbendung.

6. Sistem (syariah) dan kekuasaan (khilafah atau penyatuan ke dalam khilafah) Islam tegak melalui jalan umat.

Jalan tersebut merupakan jalan yang didasarkan pada kesadaran masyarakat dan perjuangan bersama antara partai dengan umat sehingga dikenal dengan jalan ‘an thariq al-ummah (melalui jalan umat). Tampak, jalan tersebut merupakan jalan damai dan alami. Tidak ada sesuatu yang perlu ditakutkan atau dikhawatirkan. Sebab, inti dari metode itu adalah kesadaran umat dan tuntutan umat demi kemaslahatan umat.

Kemasalahatan umat itu bukanlah sekadar persoalan moralitas dan sentimen keagamaan. Namun, Partai politik Islam juga memiliki solusi syariah yang cerdas, dan bisa diterapkan oleh negara, seperti menjamin kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan) tiap individu masyarakat. Mekanisme ini dilakukan setelah secara individu, seseorang tidak mampu memenuhinya, dan keluarga dekatnya tidak mampu memenuhinya. Selain itu, Islam juga menjamin kebutuhan kolektif, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan gratis sebagaimana yang banyak dinyatakan dalam al-Quran dan hadits Nabi.

Demikianlah seharusnya partai politik Islam. Kehadirannya didambakan oleh rakyat yang menginginkan hidup sejahtera di dunia dan akhirat. []

Syariat Islam dapat Diterapkan di Indonesia

Syariah Islam sangat mungkin diterapkan sebagai hukum positif pengganti aturan hukum warisan kolonial yang berlaku saat ini. Demikian benang merah dari Diskusi Publik dengan tema “Syariah Islam, Rahmat Bagi Semua” yang digelar DPD II Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kota Pangkalan Bun di Masjid Baburahmah, Kelurahan Raja, Kabupaten Kobar, Provinsi Kalimantan Tengah, pada hari Ahad 27 Juli 2008 lalu.

Tampak hadir Ketua Komisi Fatwa Muhammadiyah Kobar Ust Arbiata, Lc dan tokoh masyarakat Ir Gusti Sirajudin serta komponen masyarakat lainnya. Dalam acara ini, menghadirkan dua pembicara dari HTI yakni, Ahmad Mizani Rahman, Ssi dan Ustadz Jaga Sukma serta moderator Andri Saputra, ST. Ahmad menuturkan secara historis di Kalimantan Tengah pernah berdiri Kesultanan Kotawaringin yang menjalankan pemerintahannya berlandaskan hukum Islam.

Hal ini dibuktikan dengan penerapan sejumlah hukum Islam seperti Ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati) dan tradisi kebabaran yang berfungsi sebagai kontrol sosial untuk mencegah pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan. Menurut aturan ini, bila masyarakat menemukan laki-laki dan perempuan berdua-duaan (khalwat) dan statusnya bujangan, maka masyarakat segera menikahkan keduanya. Bagi para wanita, jika ingin keluar rumah, mereka mengenakan berkelumun, yakni pakaian yang mirip jilbab untuk menutupi aurat.

Ia menambahkan dalam bidang administrasi pemerintahan, sultan telah mengambil sejumlah kebijakan untuk menggerakan roda ekonomi. Semasa Sultan Kotawaringin IX atau dikenal dengan sebutan Pangeran Ratu Muhammad Imanuddin (1805-1814), Ia memindahkan ibukota Kesultanan dari Kotawaringin Lama ke Keraton Kuning Indera Kencana di Pangkalan Bun. Selain itu, Sultan juga membangun pelabuhan baru di Kumai dan Sukamara.

Hasil kegiatan ekonomi di daerah pelabuhan disetorkan kembali ke pusat pemerintahan yang dikenal masyarakat dengan sebutan upeti. Hanya saja, upeti ini bukan pajak seperti dalam sistem republik sekarang ini.

Pembicara kedua, Ustadz Jaga Sukma menambahkan peluang penerapan syariah Islam khususnya di Indonesia sangat terbuka lebar. Pasalnya, dalam Kongres Umat Islam Indonesia beberapa tahun yang lalu para ulama dan perwakilan komponen umat Islam sepakat mengharamkan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) dan menjadikan syariat Islam sebagai solusi atas problematika yang dihadapi negeri ini. Acara tersebut turut dihadiri sejumlah tokoh dan kaum muslimin di Kota Pangkalan Bun.

(Humas DPD II HTI Kota Pangkalan Bun, Kabupaten Kobar, Provinsi Kalimantan Tengah).

Memperingati 87 Tahun Runtuhnya Khilafah

بسم الله الرحمن الرحيم

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Jakarta, 28 Rajab 1429 H/ 31 Juli 2008 M

PERNYATAAN

HIZBUT TAHRIR INDONESIA

TENTANG

Memperingati 87 Tahun Runtuhnya Khilafah

Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di seluruh dunia untuk menegakkan syariat Islam dan mengemban dakwah ke segenap penjuru dunia. Dalam sejarahnya yang membentang lebih dari 1300 tahun, Khilafah secara praktis telah berhasil menaungi dunia Islam, mampu menyatukan umat Islam seluruh dunia dan menerapkan syariah Islam secara kaffah sedemikian sehingga kerahmatan yang dijanjikan benar-benar dapat diujudkan. Maka, syariah dan Khilafah bagaikan dua sisi mata uang. Tepat sekali ketika Imam Ghazali dalam kitab al-Iqtishad fi al-I’tiqad menggambarkan eratnya hubungan antara syariah dan Khilafah dengan menyatakan, ”al-dinu ussun wa al-shultanu harisun – agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaga”. ”Wa ma la ussa lahu fa mahdumun wa ma la harisa lahu fa dha’i – apa saja yang tidak ada pondasinya akan roboh, dan apa saja yang tidak ada penjaganya akan hilang.”

Tapi sayang sekali, payung dunia Islam itu kini telah tiada. Setelah melalui berbagai upaya yang dilakukan selama puluhan tahun, pada tanggal 28 Rajab 87 tahun lalu, Kemal Pasha, politisi keturunan Yahudi dengan dukungan pemerintahan Inggris, secara resmi meng-abolish (menghapuskan) kekhilafahan yang waktu itu berpusat di Turki (khilafah Utsmani). Dengan hancurnya payung dunia Islam itu, umat Islam hidup bagaikan anak ayam kehilangan induk, tak punya rumah pula. Maka, berbagai persoalan, penindasan, penjajahan dan penistaan umat terus berlangsung hingga saat ini. Maka, tak berlebihan kiranya bila para ulama menyebut hancurnya Khilafah sebagai ummul jaraim (induk dari segala kejahatan) karena memang semenjak itu dunia Islam terus didera berbagai krisis. Menyadari arti pentingnya Khilafah dan betapa vitalnya bagi izzul Islam wal muslimin, umat Islam tidak pernah tinggal diam. Maka, sejak masa keruntuhan umat Islam terus berjuang keras untuk menegakkan kembali Khilafah Islam. Dan perjuangan itu tidak pernah berhenti hingga sekarang.

Selama bulan Rajab ini, Hizbut Tahrir Indonesia sejumlah agenda yang diselenggarakan semata sebagai medium bagi umat Islam Indonesia untuk mengokohkan komitmen terhadap syariah dan ukhuwah; mengingatkan kembali tentang kewajiban untuk menegakkan syariah dan khilafah. Dalam pandangan Hizbut Tahrir Indonesia, problem rakyat, bangsa dan negara ini khususnya, dan umat Islam di seluruh dunia pada umumnya dipicu oleh sistem sekuleristik dan terpecah belahnya umat Islam. Umat Islam akan bisa kembali meraih kemuliaannya bila kepadanya diterapkan syariah dan umat bersatu kembali di bawah kepemimpinan seorang Khalifah. Inilah dua substansi penting dari ide Khilafah, yakni untuk tegaknya syariah dan terwujudnya ukhuwah.

Dalam konteks Indonesia, ide Khilafah sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan multidimensi yang nyata-nyata sekarang tengah mencengkeram negeri ini dalam berbagai aspeknya. Hanya melalui kekuatan global, penjajahan global bisa dihadapi secara sepadan. Karena itu pula, perjuangan bagi tegaknya syariah dan Khilafah harus dibaca sebagai bentuk kepedulian yang amat nyata dari Hizbut Tahrir Indonesia dan umat Islam pada umumnya untuk menjaga kemerdekaan hakiki negeri ini atas berbagai bentuk penjajahan yang ada.

Di tengah duka memperingati keruntuhan khilafah, sebagai bentuk kepedulian secara nyata dalam mengatasi krisis multidimensi yang masih terus berlangsung hingga saat ini di, Hizbut Tahrir Indonesia, menyatakan:

1. Menyerukan kepada seluruh umat Islam, khususnya para pimpinan ormas, orpol, ulama, wakil rakyat, anggota TNI/Polri, wartawan, cendekiawan, para pengusaha, para pekerja serta para pemuda dan mahasiswa untuk secara sungguh-sungguh mengamalkan syariat Islam dan berjuang bagi tegaknya syariah Islam di negeri ini. Serta secara sengaja menempatkan perjuangan penegakan syariah sebagai agenda utamanya. Sesungguhnya mengamalkan syariah dalam kehidupan pribadi dan menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara merupakan kewajiban setiap muslim dan merupakan realisasi dari ibadah kepada Allah SWT.

2. Menyerukan kepada pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia untuk segera menghentikan sekularisme dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta praktik-praktik kotor dalam pemerintahan baik berupa korupsi, perlindungan terhadap para penjahat (koruptor, penjudi dan sebagainya), penjualan aset strategis negara dan pembiaran beroperasinya perusahaan asing seperti Freeport dan Exxon Mobil untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia, penyebaran pornografi di media massa, ekonomi ribawi, dan sebagainya yang semua itu telah terbukti menimbulkan berbagai kerusakan serta kerugian bagi rakyat.

3. Menolak keras setiap upaya pemecahbelahan dan kolonialisasi negeri-negeri muslim serta penggiringan opini internasional yang digalang oleh negara Barat untuk menyudutkan Islam yang diidentikkan dengan terorisme termasuk penghinaan terhadap Nabi Muhammad yang mulia. Sesungguhnya Islam datang untuk membawa rahmat. Justru kolonialisme, imperialisme atau penjajahan dengan segala bentuknya, dimana negara Barat sebagai aktor utamanya, itulah yang selama ini telah membawa kesengsaraan pada bangsa-bangsa di dunia.

4. Menuntut AS segera keluar dari Irak dan menghentikan segala bentuk penindasan atas negeri-negeri Muslim

5. Menyerukan kepada umat Islam untuk bangkit dan bersatu untuk menerapkan syariah, menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah ‘ala Minhajin Nubuwwah sebagai jalan satu-satunya untuk menyatukan umat dan menerapkan syariah secara kaffah guna mewujudkan negeri yang adil, makmur, sejahtera, damai dan sentosa serta menjaga setiap jengkal negeri Islam, melawan imperialisme dan mewujudkan kembali izzul Islam wal muslimin. Inilah saatnya Khilafah memimpin Dunia.

“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (Q.S. Yusuf [12]: 21)

Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia

Muhammad Ismail Yusanto

Bahaya Feminisme dan Liberalisme

Setelah Perang Dunia II, penjajahan tidak lagi melalui fisik, tetapi melalui pemikiran, yaitu menyebarkan ide sekularisme dan liberalisme. Ide ini melandasi seluruh aspek kehidupan. Untuk mengokohkan penjajahannya maka ide tersebut dijadikan konvensi internasional. Melalui PBB, konvensi berhasil mengikat negara-negara anggota PBB. Konvensi yang dimaksud antara lain Konvensi PBB yang berkaitan dengan HAM dan tentang perempuan yang bertujuan memajukan perempuan; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW); Deklarasi Universal HAM (1948); Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (1966); Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference Population and Development – ICPD) di Kairo tahun 1994 dan konferensi PBB tentang perempuan; Konvensi PBB tentang hak-hak politik perempuan yang telah diratifikasi dengan UU no. 68 tahun 1958 dan UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dengan bab khusus tentang hak-hak perempuan.

Selama puluhan tahun terakhir PBB telah banyak menyelenggarakan konferensi untuk kemajuan wanita (baca: kebebasan wanita dari hukum Islam), mulai dari yang pertama di Mexico City tahun 1975 hingga yang keempat tahun 1995.

Konferensi PBB keempat kalinya tentang perempuan 1995 di Beijing sangat besar pengaruhnya terhadap derasnya arus liberalisasi melalui ide feminisme. Pelaksanaan hasil konferensi tersebut diimplementasikan oleh para feminis, baik melalui lembaga pemerintah (semisal Tim Pengarusutamaan Gender DEPAG, Departemen Pemberdayaan Perempuan) maupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)/NGOs (Non Goverment Organization–Organisasi Non Pemerintah).

CLDKHI merupakan implementasi konvensi tersebut oleh Tim Pengarusutamaan Gender yang diketuai Musdah Mulia. Dalam menentukan isi CLDKHI (Caunter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam), mereka merujuk pada “kitab suci”-nya, yaitu Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW); Deklarasi Universal HAM(1948) serta Kovensi Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (1966).

Pemerintah harus melaksanakan norma-norma dan instrumen-instrumen HAM internasional yang terkait dengan kekerasan dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Pemerintah juga harus melaksanakan CEDAW. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi isi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women) ini dengan dikeluarkannya UU no. 7 tahun 1984. Karenanya, Pemerintah telah mengesahkan undang-undang nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), UU Perlindungan Anak dan upaya melegalisasi aborsi melalui amandemen UU Kesehatan.

Sosialisasi ide Gender Eguality atau Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) sangat massif baik melalui swasta semisal LSM, Ormas, Lembaga Pendidikan maupun Pemerintah. Bidang garapan yang dipengaruhinya mulai dari kebijakan sampai hal yang teknis. Wilayah kerjanya pun sejak dari tingkat nasional sampai dengan kelurahan, bahkan RT dan institusi paling kecil, yaitu keluarga.

Ide ini dimasukkan dalam 12 bidang kritis yang ada, yaitu: perempuan dan kemiskinan; pendidikan dan pelatihan bagi perempuan; perempuan dan kesehatan; kekerasan terhadap perempuan; perempuan dan konflik bersenjata; perempuan dan ekonomi; perempuan dalam pengambilan kekuasaan; mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan; hak asasi perempuan; perempuan dan media; perempuan dan lingkungan serta anak perempuan.

Sosialisasi feminisme juga melalui lembaga pendidikan dan media, baik melalui lembaga pendidikan formal (misal: masuk salah satu mata pelajaran sampai pada kurikulum berbasis gender) maupun melalui pendidikan non-formal (misal: seminar-seminar, diskusi, diklat dan training). Media cetak pun tak ketinggalan semisal jurnal, majalah, koran dan buku; juga media elektronik, internet, televisi dan radio.


Serangan Terhadap Islam

Agar ide Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) diadopsi masyarakat, maka ide ini dibungkus dengan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Dalam penyajiannya mereka ’melogikakan’ liberalisasi hukum Islam. Inilah racun-racun yang mereka sebar dan dibungkus dengan madu untuk menyerang Islam.

Dalam laporan tentang pelaksanaan konvensi, para feminis menyebutkan bahwa kekerasan dan adanya diskriminasi terhadap perempuan merupakan hambatan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender. Mereka menggambarkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah manifestasi dari hubungan kekuasaan antara pria dan wanita yang tidak seimbang sepanjang sejarah sehingga menyebabkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan serta menghalangi kemajuan perempuan.

Dalam mencari penyebab timbulnya kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, mereka melihat adanya pola-pola budaya; khususnya efek yang merugikan dari praktik-praktik tradisionil atau adat serta semua tindakan ekstrimis yang berkaitan dengan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama yang telah mengabadikan kedudukan perempuan lebih rendah dalam keluarga, kelompok kerja dan masyarakat (kepemimpinan ada pada pihak laki-laki).

Mereka mengemukakan fakta kepemimpinan dalam masyarakat yang menerapkan ajaran Islam ada pada pihak laki-laki. Dari sinilah mereka mulai menggugat hukum Islam dan berusaha mengubahnya dengan dalih bias gender. Menurut mereka, harus ada rekontruksi dan reinterpretasi hukum-hukum Islam yang dinilai bias gender.

Inilah logika yang dibangun kaum feminis. Karenanya, mereka memposisikan Islam sebagai hambatan bagi tercapainya Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). Mereka menyimpulkan bahwa Islam menghambat kemajuan wanita. Karena itulah mereka berupaya mengubah hukum Islam. Mereka juga menanamkan keraguan kepada umat Islam terhadap kebenaran ajarannya, khususnya dengan mempertanyakan keadilan Islam dalam memperlakukan perempuan. Mereka mengatakan, hukum-hukum agama (Islam) telah memasung kebebasan perempuan, membuat perempuan tidak maju karena hanya beraktivitas pada sektor domestik (rumah tangga). Disebabkan posisi tersubordinasi inilah perempuan rentan mengalami kekerasan. Dari sudut pandang inilah mereka membahas bagaimana upaya menyelesaikan masalah kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.

Berangkat dari landasan ideologi liberalis, kaum feminis mengusung ide semangat pembebasan perempuan dan kesetaraannya dengan laki-laki (ide keadilan dan kesetaraan gender). Agenda gerakan feminisme ini hakikatnya adalah agenda liberalisasi hukum Islam. Agenda yang sama juga diusung kaum liberal. Di dalam bukunya, Fakta dan Data Yahudi di Indonesia, Ridwan Saidi menulis bahwa Lutfi asy-Syaukani memperkenalkan empat agenda JIL, salah satunya adalah emansipasi (feminisme). Artinya, salah satu upaya liberalisasi di Dunia Islam adalah melalui gerakan feminis ini


Bahaya bagi Perempuan dan Umat

Nyatalah bahwa propaganda liberalisme dan feminisme tidak lebih merupakan alat musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Feminisme mengajak kaum Muslim beramai-ramai meninggalkan aturan agama yang dianggap sebagai penghalang kemandirian dan kebebasan perempuan.

Ide ini hanya akan membawa kerusakan pada tatanan individu, keluarga dan masyarakat yang telah mapan dengan nilai-nilai Islam. Ide ini hanya akan menularkan kerusakan dan kebobrokan masyarakat Barat yang kapitalis dan sekularis.


Khatimah

Demikianlah para feminis mempropa-gandakan ide-ide sesatnya secara massif. Mereka berupaya menyeret sedikit demi sedikit kaum Muslimah untuk meninggalkan kewajiban utamanya sebagai ummu wa rabah al-bayt (sebagai ibu dan pengatur rumah tangga), lalu menjadi feminis sejati yang betul-betul membebaskan diri dari hukum Islam dengan sukarela.

Oleh karena itu, marilah kita bersatu berjuang melawan ide liberal dan ide gender equality serta menjelaskan konspirasi di balik ide-ide tersebut di bawah payung PBB, yang bersifat internasional. Namun, kita tidak akan bisa mengenyakan ide feminisme maupun liberalisme sampai ke akar-akarnya kecuali kita memiliki kepemimpinan politik secara internasional, yaitu Khilafah ’ala Minhaj an-Nubuwah.

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. [Rahma Qomariyah, S.Pd; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]