Jawab:
Pada dasarnya negara adalah entitas pelaksana (kiyân tanfîdzî), yang melaksanakan konsep (mafâhîm), standarisasi (maqâyîs), dan keyakinan (qanâ‘ât) yang diterima oleh umat. Sebagai entitas pelaksana, negara mempunyai tugas untuk mengurus urusan umat. Dengan apa? Tentu dengan konsep, standarisasi, dan keyakinan yang diterima oleh umat. Bagi kaum Muslim, konsep, standarisasi, dan keyakinan itu tidak lain adalah syariat Islam.
Dalam pandangan Islam, pemerintah mempunyai tugas untuk mengurus urusan umat dengan hukum syariat, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
«الإمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Imam (Kepala Negara) adalah pengurus (yang mengurusi urusan rakyat) dan orang yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya. (HR al-Bukhari).
Dalam hal ini, Ibn Hajar al-Asqalani menjelaskan, “Cara Imam al-A‘zham (Kepala Negara/Khalifah) mengurus (urusan rakyat) adalah menjaga syariah, dengan menegakkan semua hukum (Allah) dan adil dalam menjalankan pemerintahan.”[i]
Konotasi adil di sini, menurut Ibn Hajar, adalah tidak bertindak zalim kepada rakyat.
Karena itu, Islam juga memandang, bahwa pemerintahan atau kekuasaan itu tidak identik dengan military force (kekuatan militer), termasuk di dalamnya kepolisian.[ii]
Memang, pemerintahan (kekuasaan) sebagai pelaksana kebijakan tentu membutuhkan military force (kekuatan militer), yang disebut sebagai penegak hukum. Dengannya keputusan pemerintah menjadi efektif, karena kekuatan tersebut bisa digunakan untuk memaksa agar penerima keputusan tersebut tunduk dan patuh pada keputusan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Demikian halnya, kekuatan militer hanya bisa dibentuk, diperkuat, dan dikembangkan jika ada pemerintahan.
Tugas pemerintah adalah mengurus urusan rakyat melalui sejumlah kebijakan yang dituangkan dalam seperangkat perundang-undangan. Dalam menjalankan kebijakannya, pemerintah tetap harus berpijak pada paradigma “mengurus”, tidak boleh bergeser pada paradigma “memaksa” atau “menekan”. Sebagai contoh, dalam mengurus urusan sandang, papan, dan pangan setiap warga negara, pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjamin hak setiap warga sehingga sandang, papan dan pangan mereka, orang-perorang, benar-benar terjamin. Caranya adalah dengan mewajibkan kepada masing-masing warga negara yang mampu bekerja untuk bekerja. Hanya saja, dalam hal ini, negara tidak boleh menutup mata terhadap orang yang tidak mampu bekerja; baik karena faktor tidak adanya keterampilan (skill), sarana atau fasilitas kerja, maupun karena faktor keterbatasan modal usaha. Jadi, dengan logika “mengurus”, pemerintah tidak boleh hanya memaksa mereka agar bekerja, sementara menutup mata terhadap keterbatasan mereka. Karena itu, masing-masing orang yang mempunyai kemampuan untuk bekerja tetapi—karena sejumlah keterbatasannya—dia tidak mampu harus dibantu oleh pemerintah sehingga menjadi mampu, setelah itu baru dia bisa dipaksa. Inilah paradigma “mengurus”. Ini berbeda dengan paradigma “memaksa” atau paradigma “komando”.
Memang, tidak dapat dinafikan bahwa kekuatan militer itu merupakan manifestasi kekuatan fisik, yang direpresentasikan oleh tentara dan polisi. Dengan kekuatan fisik tersebut pada akhirnya pemerintah bisa menjalankan hukum, memaksa para pelaku kriminal dan orang-orang fasik, memadamkan pemberontakan, serta menghadapi para penentangnya. Kekuatan tersebut juga bisa digunakan untuk mempertahankan kekuasaan, termasuk menjaga pemikiran dan pemahamannya, serta mengemban pemikiran dan pemahaman yang dimiliki oleh negara tersebut ke luar negeri.
Meski demikian, harus tetap diperhatikan, bahwa kekuasaan (pemerintahan) tidak boleh berubah menjadi kekuatan militer. Sebab, jika itu terjadi, tugas utama kekuasaan (pemerintahan) untuk mengurus urusan rakyat akan berantakan. Dengan begitu, konsep kekuasaannya akan berubah menjadi konsep pemaksaan dan intimidasi, bukan konsep pengurusan urusan rakyat. Akibatnya, pemerintahannya pun berubah menjadi pemerintahan polisi atau militer, yang senantiasa menebarkan teror, intimidasi, pertumpahan darah, dan tekanan-tekanan fisik maupun psikis yang lain.
Jika kekuasaan (pemerintahan) tidak boleh berubah menjadi kekuatan militer, maka demikian sebaliknya. Kekuatan militer juga tidak boleh berubah menjadi kekuasaan (pemerintahan). Kalau itu terjadi, kekuasaan (pemerintahan) akan berjalan dengan logika-logika kemiliteran, dan akan mengurus urusan rakyat dengan pemahaman hukum-hukum kemiliteran, termasuk digunakannya intimidasi dan teror. Padahal, kedua perkara tersebut bisa menyebabkan terjadinya kehancuran, melahirkan rasa ketakutan dan kegelisan rakyat.
Karena itu, dalam pandangan Islam, negara tidak boleh berubah menjadi negara militer (military state). Bentuk negara seperti ini juga tidak dibenarkan dalam Islam. Meski demikian, tetap harus dicatat, bahwa militer—baik tentara maupun polisi—mempunyai peranan yang penting dalam pemerintahan Islam, baik untuk menjaga penerapan syariat Islam di dalam negeri, maupun mengemban risalah Islam ke luar negeri. Dalam hal ini, pilihan mereka hanya salah satu di antara dua kebaikan, sebagaimana seruan Abdullah bin Rawwahah:
اخْتَرُوْا أَحَدَ الْحُسْنَيَيْنِ، إِمَّا ظُهُوْرًا وَإِمَّا شَهَادَةً
Pilihlah salah satu di antara dua kebaikan; kemenangan (di medan perang) atau mati syahid.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
[i] Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri, juz XIII, hlm. 113.
[ii] Di dalam Islam, tentara dan polisi berada dalam satu atap, yang lazim disebut dengan istilah: jaysy ad-dawlah (tentara negara). Hanya saja, sebagai kesatuan penjaga keamanan, polisi diberi keterampilan khusus, termasuk dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar.
No comments:
Post a Comment