Taat Kepada Penguasa
Mentaati penguasa merupakan salah satu kewajiban seorang Muslim. Allah swt berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri di antara kalian. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” [TQS. al-Nisaa’:59]
Ketika menafsirkan surat al-Nisa’:59, Imam Nasafiy menyatakan:
ودلت الآية على أن طاعة الأمراء واجبة إذا وافقوا الحق فإذا خالفوه فلا طاعة لهم لقوله عليه السلام ” لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق ” . وحكي أن مسلمة بن عبد الملك بن مروان قال لأبي حازم : ألستم أمرتم بطاعتنا بقوله : و«أولي الأمر منكم»؟ فقال أبو حازم : أليس قد نزعت الطاعة عنكم إذا خالفتم الحق . بقوله «فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله» أي القرآن و«الرسول» في حياته وإلى أحاديثه بعد وفاته { ذلك } إشارة إلى الرد أي الرد إلى الكتاب والسنة
“Ayat ini menunjukkan bahwa taat kepada para pemimpin adalah wajib, jika mereka sejalan dengan kebenaran. Apabila ia berpaling dari kebenaran, maka tidak ada ketaatan bagi mereka. Ketetapan semacam ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiyatan kepada Allah.”[HR. Ahmad]. Dituturkan bahwa Maslamah bin Abdul Malik bin Marwan berkata kepada Abu Hazim,” Bukankah engkau diperintahkan untuk mentaati kami, sebagaimana firman Allah, “dan taatlah kepada ulil amri diantara kalian..” Ibnu Hazim menjawab, “Bukankah ketaatan akan tercabut dari anda, jika anda menyelisihi kebenaran, berdasarkan firman Allah, “jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah, yakni kepada Rasul pada saat beliau masih hidup, dan kepada hadits-hadits Rasul setelah beliau saw wafat..”[1]
Pendapat senada juga dikemukakan oleh al-Hafidz al-Suyuthi dalam kitab Tafsirnya, al-Durr al-Mantsûr, Imam Syaukani dalam Fath al-Qadîr, dan serta kalangan mufassir lainnya. Ibnu al-‘Arabiy, dalam kitab Ahkâm al-Qur’ân, menyatakan:
“Kemudian mereka diperintahkan untuk mentaati pemimpin (ulil amri) yang telah diperintahkan oleh Rasulullah. Ketaatan kepada mereka bukanlah ketaatan mutlak, akan tetapi yang dikecualikan dalam hal ketaatan dan apa yang diwajibkan kepada mereka….”[2]
Dalam kitab Minhâj al-Sunnah, Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah berkata:
“Sesungguhnya, Nabi saw telah memerintahkan untuk taat kepada imam (pemimpin) legal yang memiliki kekuasaan, dan mampu mengatur urusan masyarakat. Tidak ada ketaatan bagi pemimpin yang tidak dikenal dan tidak legal. Tidak ada ketaatan bagi orang yang tidak memiliki kekuasaan dan tidak memiliki kemampuan apapun, secara asal. “[3]
Di dalam hadits-hadits shahih juga dituturkan mengenai kewajiban mentaati penguasa (ulil amriy), baik yang adil maupun fasik. Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat dari Abi Salamah bin ‘Abdirrahman, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah berkata:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي
“Rasulullah saw telah bersabda, “Siapa saja yang mentaati aku, maka dia telah mentaati Allah swt, dan barang siapa bermaksiyat kepadaku, sungguh dia telah bermaksiyat kepada Allah. Siapa saja yang mentaati pemimpinku, maka dia telah mentaatiku; dan barangsiapa tidak taat kepada pemimpinku, maka dia telah berbuat maksiyat kepadaku..” [HR. Bukhari]
Hisyam bin ‘Urwah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia menyatakan, bahwa Rasulullah saw bersabda:
سَيَلِيْكُمْ بَعْدِي وُلَاةٌ فَيَلِيْكُمُ الْبِرَّ بِبِرِّهِ وَالْفَاجِرُ بِفُجُوْرِهِ فَاسْمَعُوْا لَهُمْ وَأَطِيْعُوْا فِي كُلِّ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَصَلُّوْا وَرَاءَهُمْ فَإِنْ أَحْسَنُوْا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أًَسَاءُوْا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Setelahku akan ada para penguasa, maka yang baik akan memimpin kalian dengan kebaikannya, sedangkan yang jelek akan memimpin kalian dengan kejelekannya. Untuk itu, dengar dan taatilah mereka dalam segala urusan bila sesuai dengan yang haq. Apabila mereka berbuat baik, maka kebaikan itu adalah hak bagi kalian. Apabila mereka berbuat jelek maka kejelekan itu hak bagi kalian untuk mengingatkan mereka, serta kewajiban mereka untuk melaksanakannya.”
Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits dari ‘Abdullah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda kepada kami:
سَتَكُونُ أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ
“Kalian akan melihat pada masa setelahku, ada suatu keadaan yang tidak disukai serta hal-hal yang kalian anggap mungkar. Mereka (para shahabat) bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Tunaikanlah hak mereka, dan memohonlah kepada Allah hak kalian.” [HR. Bukhari]
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Abu Raja’, dari Ibnu ‘Abbas, dinyatakan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ النَّاسِ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa membenci sesuatu yang ada pada pemimpinnya, hendaklah ia bersabar. Sebab, tak seorangpun boleh memisahkan diri dari jama’ah, sekalipun hanya sejengkal, kemudian dia mati, maka matinya adalah seperti mati jahiliyyah.” [HR. Bukhari]
Dalam Syarh an-Nawawi ‘alâ Shahiih Muslim telah dinyatakan, “Memisahkan diri dari mereka —maksudnya, para penguasa— hukumnya jelas haram, berdasarkan ijma’ kaum Muslim, walaupun para penguasa itu orang yang fasik dan zalim. Banyak hadits yang menunjukkan pengertian seperti pendapat saya ini”.[4]
Hadits-hadits di atas merupakan hujjah yang sangat jelas wajibnya seorang Muslim mentaati penguasa meskipun ia terkenal fasik dan dzalim. Bahkan di dalam riwayat-riwayat lain, Rasulullah saw telah memberikan penegasan (ta’kîd) agar kaum Muslim tetap mentaati penguasa dalam kondisi apa pun.
Kapan Penguasa Tidak Boleh Ditaati?
Meskipun kaum Muslim diperintahkan untuk tetap mentaati penguasa dzalim dan fasiq[5], dan dilarang memerangi dengan pedang, akan tetapi dalam satu kondisi; kaum mukmin wajib memisahkan diri dari mereka, tidak memberikan ketaatan kepada mereka, dan diperbolehkan memerangi mereka dengan pedang, yaitu, jika mereka telah menampakkan kekufuran yang nyata. Ketentuan semacam ini didasarkan pada riwayat-riwayat berikut ini. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]
Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan:
“قوله صلى الله عليه وسلم : ( ستكون أمراء فتعرفون وتنكرون فمن عرف فقد برئ ومن أنكر سلم , ولكن من رضي وتابع , قالوا : أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا . . . ما صلوا ” هذا الحديث فيه معجزة ظاهرة بالإخبار بالمستقبل , ووقع ذلك كما أخبر صلى الله عليه وسلم . وأما قوله صلى الله عليه وسلم : ( فمن عرف فقد برئ ) وفي الرواية التي بعدها : ( فمن كره فقد برئ ) فأما رواية من روى ( فمن كره فقد برئ ) فظاهرة , ومعناه : من كره ذلك المنكر فقد برئ من إثمه وعقوبته , وهذا في حق من لا يستطيع إنكاره بيده لا لسانه فليكرهه بقلبه , وليبرأ . وأما من روى ( فمن عرف فقد برئ ) فمعناه - والله أعلم - فمن عرف المنكر ولم يشتبه عليه ; فقد صارت له طريق إلى البراءة من إثمه وعقوبته بأن يغيره بيديه أو بلسانه , فإن عجز فليكرهه بقلبه . وقوله صلى الله عليه وسلم : ( ولكن من رضي وتابع ) معناه : لكن الإثم والعقوبة على من رضي وتابع . وفيه : دليل على أن من عجز عن إزالة المنكر لا يأثم بمجرد السكوت . بل إنما يأثم بالرضى به , أو بألا يكرهه بقلبه أو بالمتابعة عليه . وأما قوله : ( أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا , ما صلوا ) ففيه معنى ما سبق أنه لا يجوز الخروج على الخلفاء بمجرد الظلم أو الفسق ما لم يغيروا شيئا من قواعد الإسلام .
“Sabda Nabi saw, “(Satukûnu umarâu fa ta’rifûa wa tunkirûn faman ‘arifa faqad bari`a wa man ankara salima, wa lakin man radhiya wa tâba’a, qâlû: afalâ nuqâtiluhum? Qâla: Lâ…mâ shallû)”, hadits ini, di dalamnya terkandung mukjizat yang sangat nyata mengenai informasi yang akan terjadi di masa mendatang, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi saw. Adapun sabda Rasulullah saw, “(faman ‘arafa faqad bari`a) dan dalam riwayat lain dituturkan, “(faman kariha faqad bari`a). Adapun riwayat dari orang yang meriwayatkan, “(faman kariha faqad bari`a), maka hal ini sudah sangat jelas. Maknanya adalah, ”Siapa saja yang membenci kemungkaran tersebut, maka terlepaslah dosa dan siksanya. Ini hanya berlaku bagi orang yang tidak mampu mengingkari dengan tangan dan lisannya, lalu ia mengingkari kemungkaran itu dengan hati. Dengan demikian, ia telah terbebas (dari dosa dan siksa). Adapun orang yang meriwayatkan dengan redaksi ”(faman ’arafa bari`a), maknanya adalah –Allah swt yang lebih Mengetahui–, ”Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, kemudian ia tidak mengikutinya, maka ia akan mendapat jalan untuk terlepas dari dosa dan siksanya dengan cara mengubah kemungkaran itu dengan tangan dan lisannya. Dan jika tidak mampu, hendaknya ia mengingkari kemungkaran itu dengan hatinya. Sedangkan sabda beliau, ”(walakin man radhiya wa tâba’a)”, maknanya adalah, akan tetapi, dosa dan siksa akan dijatuhkan kepada orang yang meridloi dan mengikuti. Hadits ini merupakan dalil, bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak akan berdosa meskipun hanya sukût (mengingkari kemungkaran dengan diam). Namun, ia berdosa jika ridlo dengan kemungkaran itu, atau jika tidak membenci kemungkaran itu, atau malah mengikutinya. Adapun sabda Rasulullah saw, ”(Afalâ nuqâtiluhum? Qâla” Lâ, mâ shalluu), di dalamnya terkandung makna sebagaimana disebutkan sebelumnya, yakni tidak boleh memisahkan diri dari para khalifah, jika sekedar dzalim dan fasik, dan selama mereka tidak mengubah salah satu dari sendi-sendi Islam”.[6]
Dalam hadits ‘Auf bin Malik yang diriwayatkan Imam Muslim, juga diceritakan:
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ
“Ditanyakan,”Ya Rasulullah, mengapa kita tidak memerangi mereka dengan pedang?!‘ Lalu dijawab, ”Tidak, selama di tengah kalian masih ditegakkan shalat.” [HR. Imam Muslim]
Dalam riwayat lain, mereka berkata:
قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Kami bertanya, ‘Ya Rasulullah, mengapa kita tidak mengumumkan perang terhadap mereka ketika itu?!‘ Beliau menjawab, ‘Tidak, selama mereka masih sholat.”
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.” [HR. Bukhari]
Hadits-hadits ini telah mengecualikan larangan untuk memisahkan diri dan memerangi penguasa dengan pedang pada satu kondisi, yakni ”kekufuran yang nyata”. Artinya, jika seorang penguasa telah melakukan kekufuran yang nyata, maka kaum Mukmin wajib melepaskan ketaatan dari dan diperbolehkan memerangi mereka dengan pedang.
Al-Hafidz Ibnu Hajar, tatkala mengomentari hadits-hadits di atas menyatakan, jika kekufuran penguasa bisa dibuktikan dengan ayat-ayat, nash-nash, atau berita shahih yang tidak memerlukan takwil lagi, maka seorang wajib memisahkan diri darinya. Akan tetapi, jika bukti-bukti kekufurannya masih samar dan masih memerlukan takwil, seseorang tetap tidak boleh memisahkan diri dari penguasa.[7]
Imam al-Khathabiy menyatakan; yang dimaksud dengan “kufran bawahan“ (kekufuran yang nyata) adalah “kufran dzâhiran bâdiyan” (kekufuran yang nyata dan terang benderang)[8]
‘Abdul Qadim Zallum, dalam Nidzâm al-Hukmi fi al-Islâm, menyatakan, bahwa maksud dari sabda Rasulullah saw “selama mereka masih mengerjakan sholat“, adalah selama mereka masih memerintah dengan Islam; yakni menerapkan hukum-hukum Islam, bukan hanya mengerjakan sholat belaka. Ungkapan semacam ini termasuk dalam majaz ithlâq al-juz`iy wa irâdât al-kulli (disebutkan sebagian namun yang dimaksud adalah keseluruhan).[9]
Masih menurut ‘Abdul Qadim Zallum, riwayat yang dituturkan oleh ‘Auf bin Malik, Ummu Salamah, dan ‘Ubadah bin Shamit, seluruhnya berbicara tentang khuruj ‘ala al-imaam (memisahkan diri dari imam), yakni larangan memisahkan diri dari imam. Ini termaktub dengan jelas pada redaksi hadits: “ Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]. Dengan demikian, hadits ini merupakan larangan bagi kaum Muslim untuk memisahkan diri dari penguasa, meskipun ia terkenal fasiq dan dzalim.[10]
Masih menurut ‘Abdul Qadim Zallum; akan tetapi, larangan memisahkan diri dari penguasa telah dikecualikan oleh potongan kalimat berikutnya, yakni,” kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Bukhari]. Ini menunjukkan, bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa, bahkan boleh memerangi mereka dengan pedang, jika telah terbukti dengan nyata dan pasti, bahwa penguasa tersebut telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata.” [11]
Bukti-bukti yang membolehkan kaum Muslim memerangi khalifah haruslah bukti yang menyakinkan (qath’iy). Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa kekufuran adalah lawan keimanan. Jika keimanan harus didasarkan pada bukti-bukti yang menyakinkan (qath’iy), demikian juga mengenai kekufuran. Kekufuran harus bisa dibuktikan berdasarkan bukti maupun fakta yang pasti, tidak samar, dan tidak memerlukan takwil lagi. Misalnya, jika seorang penguasa telah murtad dari Islam, atau mengubah sendi-sendi ‘aqidah dan syariat Islam berdasarkan bukti yang menyakinkan, maka ia tidak boleh ditaati, dan wajib diperangi. Sebaliknya, jika bukti-bukti kekufurannya tidak pasti, samar, dan masih mengandung takwil, seorang Muslim tidak diperkenankan mengangkat pedang di hadapannya.
Imam Nawawiy, di dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan:
قال القاضي عياض : أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر , وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل , قال : وكذا لو ترك إقامة الصلوات والدعاء إليها , ….. قال القاضي : فلو طرأ عليه كفر وتغيير للشرع أو بدعة خرج عن حكم الولاية , وسقطت طاعته , ووجب على المسلمين القيام عليه , وخلعه ونصب إمام عادل إن أمكنهم ذلك.
Imam Qadliy ‘Iyadl menyatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa imamah tidak sah diberikan kepada orang kafir. Mereka juga sepakat, seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekafiran, maka ia wajib dimakzulkan. Beliau juga berpendapat, “Demikian juga jika seorang penguasa meninggalkan penegakkan sholat dan seruan untuk sholat…Imam Qadliy ’Iyadl berkata, ”Seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekufuran dan mengubah syariat, atau terjatuh dalam bid’ah yang mengeluarkan dari hukm al-wilayah (tidak sah lagi mengurusi urusan pemerintahan), maka terputuslah ketaatan kepadanya, dan wajib atas kaum Muslim untuk memeranginya, memakzulkannya, dan mengangkat seorang imam adil, jika hal itu memungkinkan bagi mereka”.[12]
Patut dicatat, kewajiban memerangi penguasa yang telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata” berlaku bagi penguasa yang sebelumnya menerapkan sistem Islam, kemudian ia mengubahnya menjadi sistem kufur. Pada saat itu, umat Islam harus mencegah tindakan tersebut sekalipun dengan mengangkat senjata. Sedangkan apabila penguasa itu sejak awal menerapkan sistem kufur, maka tindakan yang dilakukan terhadapnya tidak dengan mengangkat senjata. Namun, melalui aktivitas dakwah yang mengikuti thariqah dakwah Rasulullah saw dalam mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islam. Dan thariqah dakwah Rasulullah saw dalam mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islam tidak menggunakan kekerasan dan senjata. Beliau saw melakukan pembinaan (tatsqif), berinteraksi dengan umat (tafaa’ul ma’a al-ummah), dan pengambilalihan kekuasaan (istilaam al-hukm).
Status Penguasa Dalam Sistem Kufur
Para ulama telah sepakat; seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata, berdasarkan hadits-hadits shahih di atas. Mereka juga sepakat mengenai bolehnya memerangi penguasa yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata.
Di dalam Syarh an-Nawawi ‘alâ Shahîh Muslim, dijelaskan sebagai berikut,” al-Qâdhi ‘Iyâdh berkata, “Para ulama’ telah sepakat, bahwa jabatan imamah tidak boleh diserahkan kepada orang kafir, kalau tiba-tiba kekufuran itu menimpa dirinya. Dalam kondisi semacam ini ia wajib dipecat. Beliau berkata,” Ketentuan ini juga berlaku jika ia meninggalkan penegakkan sholat dan dakwah untuk mendirikan sholat. Lalu, Imam Nawawi berkata,” al-Qaadhi berkata,” “Seandainya khalifah terjatuh ke dalam kekufuran, atau mengubah syariat, atau melakukan bid’ah yang bisa mengeluarkan dirinya dari jabatan kepala negara; maka ia tidak wajib ditaati. Kaum Muslim wajib mengangkat senjata, mencopotnya, dan mengangkat imam adil yang baru, jika mereka mampu melakukan hal itu.”.[13]
Pertanyaannya, kapan seorang penguasa dianggap telah terjatuh kepada ”kekufuran yang nyata”, sehingga kaum Muslim harus melepaskan ketaatan kepada mereka?
Dr. Muhammad Khair Haekal menyatakan; penguasa dianggap telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata, jika ia berada dalam kondisi-kondisi berikut ini;
1. Kekufuran nyata yang terjadi pada diri penguasa itu sendiri. Para ulama berpendapat mengenai wajibnya “munâza’ah” (merebut kekuasaan) dari penguasa yang telah keluar dari Islam[14]. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari ‘Ubadah bin Shaamit ra, bahwasanya ia berkata:
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.” [HR. Bukhari dan Muslim]
2. Kekufuran nyata yang terjadi pada individu-individu kaum Muslim karena kemurtadan mereka dari Islam, namun hal ini tidak diingkari atau dicegah oleh penguasa. Ketentuan ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang bertutur wajibnya merebut kekuasaan ketika telah terjadi kekufuran yang nyata pada individu-individu kaum Muslim, dan penguasa tidak mengingkari kekufuran ini. Menurut Dr. Mohammad Khair Haekal, kekufuran tersebut tidak dibatasi hanya kepada penguasa saja atau selain penguasa. Hadits-hadits itu hanya ditaqyiid (dibatasi) dengan kata “bawahan” (nyata) belaka; yakni kekufuran tersebut terjadi secara terang-terangan, telah tersebar luas, dan sudah tidak bisa diingkari lagi.
3. Kekufuran nyata yang berasal dari sistem pemerintahannya, yakni, ketika penguasa tersebut menegakkan sistem pemerintahan di atas aqidah kufur, walaupun penguasa itu belum dianggap kafir. Ketentuan ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang menuturkan wajibnya merebut kekuasaan dari penguasa jika telah tampak kekufuran yang nyata. Frase “kekufuran nyata” yang terdapat di dalam nash-nash tersebut tidak hanya diterapkan kepada penguasa yang jatuh kepada kekufuran maupun kepada selain penguasa; akan tetapi juga bisa diberlakukan pada sistem pemerintahan yang ditegakkan di atas aqidah kufur, misalnya atheisme maupun sekulerisme; dan selanjutnya, sistem ini dipaksakan dan diberlakukan di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karena itu, jika seorang penguasa memerintahkan rakyatnya melakukan kemaksiyatan, namun selama sistem aturannya menganggap kemaksiyatan itu sebagai tindak penyimpangan terhadap aturan, maka dalam kondisi semacam ini belum terwujud apa yang disebut dengan “kekufuran yang nyata”, baik pada penguasa maupun sistem pemerintahannya. Namun, bila kemaksiyatan yang dilakukannya berpijak kepada sistem aturan yang justru melegalkan dan mensahkan tindak kemaksiyatan tersebut, misalnya, karena sistem aturannya dibangun berdasarkan sekulerisme–, maka kemaksiyatan semacam ini dianggap sebagai “kekufuran yang nyata“[15].
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan Dr. Muhammad Khair Haekal di atas dapatlah disimpulkan bahwa penguasa-penguasa yang menjadikan aqidah kufur sebagai asas negara –semacam demokrasi dan sekulerisme–, serta menerapkan aturan-aturan kufur telah terjatuh kepada tindak ”kekufuran yang nyata” (kufran shurahan), walaupun secara individu mereka masih mengerjakan sholat. Begitu pula jika mereka tidak lagi menyeru rakyat untuk menegakkan sholat dengan cara menegakkan sanksi bagi orang yang tidak mengerjakan sholat; atau jika mereka sudah mengubah salah satu sendi dari Islam; maka dalam kondisi semacam ini mereka tidak boleh ditaati, bahkan kaum Muslim wajib memisahkan diri dari mereka dan memakzulkan mereka jika memungkinkan.
Pendapat ini sejalan dengan penjelasan Imam Syaukaniy ketika menafsirkan firman Allah swt, surat An Nisa’ ayat 59;
“وأولي الأمر هم : الأئمة ، والسلاطين ، والقضاة ، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية”
“Ulil amriy adalah para imam, sultan, qadliy, dan setiap orang yang memiliki kekuasaan syar’iyyah[16] bukan kekuasaan thaghutiyyah[17]”.[18]
Walhasil, penguasa-penguasa di negeri-negeri kaum Muslim saat ini telah terjatuh ke dalam kekufuran yang nyata. Kaum Muslim wajib memisahkan diri dari mereka, tidak memberikan ketaatan kepada mereka, dan dengan sekuat tenaga berjuang untuk mengganti system kufur tersebut menjadi system Islam. Inilah pendapat yang lurus, suci, dan dipegang oleh para ulama-ulama wara’.
Sayangnya, ketentuan semacam ini telah dikaburkan dan diselewengkan oleh ulama-ulama salatin yang rela berkhianat terhadap umat Islam untuk melanggengkan eksistensi penguasa dan pemerintahan kufur melalui fatwa-fatwa culas dan penuh dengan pengkhianatan. Ulama-ulama ini tidak segan-segan dan malu-malu menyerukan kepada umat Islam agar mereka tetap mentaati penguasa-penguasa sekarang, padahal para penguasa itu telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata”. WaLlâhu al-Hâdiy al-Muwaffiq ila Aqwâm al-Thâriq. (Syamsuddin Ramadhan, Lajnah Tsaqafiyyah Hizbut Tahrir Indonesia).
[1] Imam Nasafiy, Madaarik al-Tanziil wa Haqaaiq al-Ta`wiil, surat al-Nisaa’:59
[2] Ibnu al-‘Arabiy, Ahkaam al-Quran, tafsir surat al-Nisaa’:59
[3] Minhaaj al-Sunnah, juz 1/115
[4] Imam al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz VIII, hal. 35.
[5] Yang dimaksud penguasa fasiq dan dzalim yang tetap harus ditaati adalah penguasa-penguasa yang masih menerapkan sistem Islam untuk mengatur urusan negara dan rakyat, namun berbuat dzalim dan fasiq. Dengan kata lain, selama mereka masih menerapkan sistem pemerintahan Islam, menjadikan aqidah Islamiyyah sebagai landasan dasar negara dan masyarakat, serta menerapkan syariat Islam untuk mengatur urusan rakyat; kaum Muslim wajib mentaati mereka, meskipun penguasa tersebut dzalim dan fasiq.
[6] Imam al-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 12/243-244
[7] Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 13/8-9
[8] Ibid, juz 13/8
[9] ‘Abdul Qadim Zallum, Nidzam al-Hukmi fi al-Islaam, hal. 257-258
[10] Ibid, hal. 258-260
[11] Ibid, hal. 259-260
[12] Imam Muslim, Syarah Shahih Muslim, juz 8, hal. 35-36
[13] Imam al-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz VIII, hal. 35-36.
[14] Imam al-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 8, hal. 35-36. Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 13, hal. 8
[15] Dr. Mohammad Khair Haekal, al-Jihaad wa al-Qitaal fi al-Siyaasah al-Syar’iyyah, juz 1, hal. 130-131. Buku ini merupakan desertasinya untuk meraih gelar doctor dari Kuliah al-Imam al-Auza’iy, pada al-Dirasah al-Islaamiyyah di Beirut pada tahun 1412 H. Desertasi ini meraih gelar imtiyaaz ma’ al-tanwiih (summa cum laude); bahkan jika ada gelar yang lebih tinggi daripada summa cum laude tentu beliau akan meraihnya.
[16] Kekuasaan atau pemerintahan yang didasarkan pada aqidah dan syariat Islam.
[17] Kekuasaan atau pemerintahan yang didasarkan pada aqidah dan system kufur.
[18] Imam al-Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2, hal. 166.
No comments:
Post a Comment