Wednesday, July 30, 2008

Pendidikan Sekular

Pendidikan Sekular Telah Gagal!

Ketika Allah Swt. berkenan menurunkan al-Quran pertama kali, ayat yang turun berbunyi, “Iqra’ (Bacalah)!” Allah Swt. bahkan menjanjikan bagi orang yang berilmu ketinggian beberapa derajat dibandingkan dengan orang yang tidak berilmu. Itu menunjukkan betapa Islam menaruh perhatian besar pada pendidikan.

Ketika Daulah Islam masih tegak berdiri, para khalifah pun telah memberikan perhatian yang begitu besar untuk pendidikan. Berbagai fasiliti disediakan bagi pendidikan warga negaranya. Ilmu pengetahuan dan sains teknologi berkembang pesat dan mendapat dukungan penuh dari negara.

Bagaimana dengan kondisi pendidikan saat ini? Jelas, kegelapan sedang menyelimuti wajah pendidikan kita hingga kita sulit memprediksi bagaimana gambaran generasi Islam pada masa depan.

Pangkal dari semuanya adalah ideologi Kapitalisme sekular yang dengan ganas telah merosak seluruh aturan hidup manusia, termasuk pendidikan. Dalam pendidikan sekular, agama dianggap hanya sebagai salah satu mata pelajaran, bukan dasar untuk semua ilmu yang dipelajari. Wajarlah jika generasi yang dihasilkan adalah generasi berkepribadian rosak dan berperilaku buruk. Gaya hidup hedonis dan primitif menjadi gaya hidup sebahagian besar generasi muda kita saat ini.

Di sisi lain, kapitalisasi pendidikan telah menyebabkan pendidikan begitu sulit dijangkau masyarakat miskin. Pendidikan menjadi barang mahal yang hanya mampu dinikmati oleh segelintir orang. Akibatnya, generasi umat Islam terancam kebodohan dan kemiskinan.

Jelaslah kini, pendidikan sekular terbukti telah gagal melahirkan generasi yang berkepribadian unggul. Tiba saatnya kini, kita mulai mengalihkan pandangan pada sistem pendidikan Islam yang sudah terbukti mampu melahirkan sosok-sosok tangguh dan salih. Pendidikan dalam Islam benar-benar diorientasikan untuk melahirkan generasi yang memiliki kepribadian Islam sekaligus menguasai tsaqâfah Islam dan ilmu-ilmu kehidupan. Lebih dari itu, dalam Islam, pendidikan merupakan tanggung jawab negara sehingga seluruh warga negara berhak untuk menikmatinya. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.




Haruskah Pendidikan Sekular Dipertahankan?

Kemunduran umat dalam pendidikan pada saat ini sangat terlihat dengan jelas. Indikasinya adalah out put pendidikan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Keperibadian Islam yang seharusnya menjadi hasil akhir proses pendidikan tidak bisa diwujudkan, bahkan yang tercipta adalah generasi yang semakin kukuh dengan keperibadian sekular.

Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan kegagalan pendidikan sekarang, di antaranya: Pertama, tujuan pendidikan yang tidak jelas. Seharusnya tujuan pendidikan adalah dalam rangka membentuk manusia yang memiliki keperibadian islami, menguasai pemikiran Islam dengan matang, menguasai ilmu-ilmu praktikal (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/IPTEK), dan memiliki keterampilan yang tepat guna dan berdaya guna.

Kedua, kurikulum yang sekular. Kurikulum seharusnya mengacu pada akidah Islam yang memiliki karakteristik dalam pembentukan kepribadian Islam serta penguasaan tsaqâfah Islam dan IPTEK.

Ketiga, pendidik yang kurang profesional dan kurangnya gaji bagi pengajar. Seharusnya ada pemilihan yang ketat dalam memilih guru. Untuk menunjang keprofesionalan, guru seharusnya diberikan pengayaan metodologi sekaligus jaminan kesejahteraan yang layak. Guru juga harus mempunyai keteladanan yang baik dan mempunyai ahklak yang mulia agar menjadi panutan.

Keempat, materi pendidikan yang disajikan hanya sebatas teori yang tidak berpengaruh kepada siswa. Padahal pendidikan seharusnya berpegang pada prinsip bahwa ilmu adalah untuk diamalkan. Materi yang diberikan juga tidak boleh bertentangan dengan akidah Islam.

Kelima, kurangnya dana dan sarana. Biaya yang mahal mengakibatkan sebahagian besar masyarakat tidak bisa menikmati pendidikan dan sarana yang tidak lengkap mengakibatkan pendidikan menjadi terhambat. Kerana itu, masyarakat harus dibebaskan dari biaya pendidikan.

Semua hal di atas tidak mungkin akan terwujud tanpa ada peranan negara sebagai satu-satunya institusi yang bertanggung jawab dalam mencerdaskan umat. Negara sekular telah menunjukkan kegagalannya dalam meraih tujuan pendidikan, sementara Khilafah Islamiyah yang secara historis pernah meraih keberhasilan pun masih belum juga diyakini, apalagi mahu dicuba. Haruskah kita lengah lagi mempertahankan kondisi ini???

Sistem Pergaulan dalam Islam

Dan jika kamu takut tidak

akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim

(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita

(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu

takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja (TQS an-Nisa [4]: 3)

Berikanlah maskawin (mahar)

kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh

kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu

sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah

(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik

Akibatnya (TQS an-Nisa [4]: 4)

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah

menciptakan kamu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan

isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 1)

“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya

Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka

setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang

ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian

tatkala dia merasa berat, keduanya (suami isteri) bermohon kepada

Allah, Tuhannya seraya berkata,”Sesungguhnya jika Engkau

memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orangorang

yang bersyukur.” (TQS al-A‘râf [7]: 189)

“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri

dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak anak dan

cucu-cucu...” (TQS an-Nahl [16]: 72)

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu

rasa kasih dan sayang.” (TQS ar-Rûm [30]: 21)

“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari

jenis kamu sendiri pasangan-pasangan.” (TQS asy-Syûrâ [42]: 11)

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang

laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa

dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.”

(TQS al-Hujurât [49]: 13)

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum

kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan

keturunan.” (TQS ar-Ra’d [13]: 38)

“Janganlah sekali-kali seorang pria berkhalwat dengan seorang

wanita kecuali jika wanita itu disertai seorang mahramnya. Tidak

boleh pula seorang wanita melakukan perjalanan kecuali disertai

mahram-nya. Tiba-tiba salah seorang sahabat berdiri dan berkata,

‘Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya istriku hendak pergi

menunaikan ibadah haji, sedangkan aku sudah ditugaskan ke

peperangan anu dan anu.” Rasulullah SAW menjawab, ‘Pergilah

engkau dan tunaikan ibadah haji bersama istrimu.” (HR Muslim)

Ibn Baththah telah menuturkan sebuah riwayat dalam kitab

Ahkâm an-Nisâ’ yang bersumber dari penuturan Anas RA. Disebutkan

bahwa, ada seorang laki-laki yang bepergian dan melarang istrinya keluar rumah. Kemudian dikabarkan bahwa ayah wanita itu sakit.

Wanita itu lantas meminta izin kepada Rasulullah SAW agar dibolehkan

menjenguk ayahnya. Rasulullah SAW kemudian menjawab:

“Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan janganlah engkau

melanggar pesan suamimu.”

Tidak lama kemudian, ayah wanita itu meninggal. Wanita itu

pun kembali meminta izin kepada Rasulullah SAW agar dibolehkan

melayat jenazah ayahnya. Mendengar permintaan itu, beliau kembali

bersabda:

“Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan janganlah engkau

melanggar pesan suamimu.”

Allah SWT kemudian menurunkan wahyu kepada Nabi SAW:

“Sungguh, Aku telah mengampuni wanita itu karena ketaatan

dirinya kepada suaminya.”

Imam ath-Thabrânî telah meriwayatkan sebuah hadis yang

menyebutkan bahwa Rasulullah SAW. telah bersabda:

“Siapa saja yang memasukkan pandangannya ke dalam rumah

orang lain tanpa seizin penghuninya, berarti ia telah menghancurkan

rumah itu”.

Imam Abû Dâwûd juga menuturkan riwayat sebagai berikut:

Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apakah

aku harus meminta izin kepada ibuku?” Beliau menjawab, “Tentu

saja.” Laki-laki itu kemudian berkata lagi, “Sesungguhnya ibuku

tidak memiliki pembantu selain diriku. Lalu, apakah setiap kali aku

masuk (rumah) harus meminta izin?”Rasulullah SAW balik bertanya,

“Apakah kamu senang melihat ibumu telanjang?” Laki-laki itu pun

berkata, “Tentu tidak.” Selanjutnya, Rasulullah SAW bersabda,

“Karena itu mintalah izin kepadanya.”

“Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka

janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika

dikatakan kepadamu,’Kembali (saja)-lah’, maka hendaklah kamu

kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa

yang kamu kerjakan.” (TQS an-Nûr [24]: 28)

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki

dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig

di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu

hari) yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan

pakaian (luar)-mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya’.

(Itulah) tiga `aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak

(pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani

kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang

lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan

Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan apabila anakanakmu

telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta

izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.

Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha

Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (TQS an-Nûr [24]: 58-59)

“Katakanlah kepada wanita yang beriman,’Hendaklah mereka

menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)

tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain

kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya,

kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami

mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami

mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera

saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan

mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka

miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai

keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti

tentang aurat wanita.” (TQS an-Nûr [24]: 31)

Pada saat keluar dari masjid, Rasulullah SAW memerintahkan

kaum wanita keluar lebih dulu kemudian disusul oleh kaum pria

sehingga kaum wanita terpisah dari kaum pria. Imam Bukhari

meriwayatkan dari Hindun binti Al-Harits dari Ummu Salamah isteri

Nabi SAW:

Bahwa kaum wanita pada masa Rasulullah SAW jika telah

mengucapkan salam dari shalat wajib, mereka berdiri. Rasulullah

SAW dan kaum pria diam di tempat selama waktu yang dikehendaki

Allah. Maka jika Rasulullah SAW berdiri, berdirilah kaum pria.”

“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai pandangan

yang tiba-tiba (tidak disengaja). Maka Beliau menyuruhku untuk

memalingkan pandanganku.” (HR Muslim).

“Janganlah engkau ikuti pandangan pertama dengan pandangan

berikutnya. Karena pandangan pertama adalah untukmu,

sedangkan pandangan berikutnya bukanlah untukmu” (HR

Ahmad, dari jalur Buraidah).

“Siapa saja yang mengulurkan pakaiannya karena sombong, Allah

tidak akan memandangnya pada Hari Kiamat.” Ummu Salamah

bertanya, “lalu, bagaimana wanita memperlakukan ujung pakaian

mereka?” Rasulullah SAW menjawab, “Hendaklah mereka ulurkan

sejengkal.” Ummu Salamah berkata lagi, “Kalau begitu, akan

tampak kedua telapak kakinya.” Rasulullah menjawab lagi,

“Hendaklah mereka ulurkan sehasta dan jangan ditambah lagi.”

(HR Tirmidzî)

hadits

yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhârî dari Abdullâh ibn ’Abbâs RA,

ia berkata:

Suatu ketika, al-Fadhl ibn ‘Abbâs membonceng Nabi SAW, lalu

datang seorang wanita dari Khats‘am. Al-Fadhl lantas memandang

wanita itu dan wanita itu pun memandangnya. Maka Rasulullah

memalingkan wajah Fadhl ke arah yang lain.

Al-‘Abbâs RA kemudian bertanya kepada Rasulullah SAW: “Ya

Rasulullah, mengapa engkau memalingkan leher sepupumu?”

Rasulullah SAW menjawab, “Karena aku melihat seorang pemuda

dan seorang pemudi yang tidak aman dari gangguan setan.”

janganlah kamu

berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang

dahulu.” (TQS al-Ahzâb [33]: 33)

“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui

perhiasan yang mereka sembunyikan.” (TQS an-Nûr [24]: 31)

“Wanita siapa saja yang memakai wewangian kemudian melewati

suatu kaum agar mereka mencium aromanya, maka ia (seperti)

wanita yang berzina (pelacur).” (HR Ibn Hibbân dan al-Hâkim)

Ada dua golongan di antara penghuni neraka yang belum pernah

aku lihat keduanya: suatu kaum yang membawa cambuk seperti

ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul orang-orang; dan

perempuan yang berpakaian tapi telanjang yang cenderung dan

mencenderungkan orang lain, rambut mereka seperti punuk onta

yang miring. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan

mencium aroma surga. Dan sesungguhnya aroma surga itu bisa

tercium sejauh perjalanan demikian dan demikian.” (HR Muslim

dari jalur Abû Hurayrah)

diriwayatkan dari Ummu Salamah, ia

menuturkan:

“Aku pernah duduk di sisi Nabi SAW, Aku dan Maimunah. Lalu

Ibn Ummi Maktum meminta izin. Maka Nabi saw. bersabda,

“berhijablah kalian darinya.” Aku berkata, “Ya Rasulullah,

sesungguhnya dia buta, tidak bisa melihat.” Beliau bersabda,

“Apakah kalian berdua juga buta dan tidak melihatnya?”(HR Abû

Dâwud)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumahrumah

Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak

menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu

diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah

kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang

demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu

(untuk menyuruh kamu ke luar), dan Allah tidak malu

(menerangkan) yang benar. (TQS al-Ahzâb [33]: 53)

“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya,

perkataan “Ah!” (TQS al-Isrâ’ [17]: 23)

Dari Ummu ‘Athiyah RA,

ia berkata:

“Rasulullah SAW memerintahkan agar kami mengeluarkan para

wanita, yakni hamba-hamba sahaya perempuan, wanita-wanita yang

sedang haid, dan para gadis yang sedang dipingit, pada hari Raya

Idul Fitri dan Idul Adha. Wanita-wanita yang sedang haid, mereka

memisahkan diri tidak ikut menunaikan shalat, tetapi tetap

menyaksikan kebaikan dan (mendengarkan) seruan kepada kaum

Muslim. Aku lantas berkata, “Ya Rasulullah, salah seorang di antara

kami tidak memiliki jilbab.” Rasulullah pun menjawab, “Hendaklah saudaranya memakaikan jilbabnya kepada wanita itu.” (HR

Muslim).

“Janganlah seorang wanita yang sedang berihram mengenakan

cadar dan jangan pula menutup kedua tangannya (mengenakan

sarung tangan).”

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan

perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap

dalam keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki

dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`,

laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan

yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut

(nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan

dan pahala yang besar.” (TQS al-Ahzâb [33]: 35)

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun

perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan

Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya

akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih

baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS an-Nahl [16]:

97)

“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki

maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu

masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 124)

“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan

berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan”

(TQS Ali ‘Imrân [3]: 195)

“Bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka

usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang

mereka usahakan.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 32)

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan

kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta

peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak

menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 7)

“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)

anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan

bahagian dua orang anak perempuan” (TQS an-Nisâ [4]: 11)

“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak

meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai

seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara

perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu

lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga

itu” (TQS an-Nisâ’ [4]: 12)

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki

diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang

lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,

supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.”

(TQS al-Baqarah [2]: 282)

Imam al-Bukhârî mengeluarkan

hadits dari jalur ’Uqbah bin al-Hârits, ia berkata: “Aku menikahi seorang

wanita, lalu datang seorang wanita dan berkata: “Sesungguhnya aku telah menyusui kalian berdua”. Maka aku mendatangi Nabi SAW, lalu

Beliau bersabda:

“Bagaimana lagi karena sudah dikatakan? Tinggalkan dia!”, atau

semisalnya.” Di dalam riwayat yang lain “maka Nabi melarangnya”.

“Rasulullah SAW telah melaknat seorang pria yang berpakaian

mengenakan pakaian wanita dan seorang wanita yang berpakaian

mengenakan pakaian pria.” (HR al-Hâkim, dan ia

menshahihkannya)

Diriwayatkan dari Ibn Abî Mulaykah, ia berkata:

“Pernah dikatakan kepada ‘Aisyah RA: “Jika seorang wanita

mengenakan terompah?.” ‘Aisyah berkata: “Rasulullah telah melaknat wanita yang menyerupai pria (rajulah min an-nisâ’).” (HR

adz-Dzahabi, ia berkata: sanadnya hasan)

“Rasulullah SAW telah melaknat pria yang bertingkah laku seperti

wanita dan seorang wanita yang bertingkah laku seperti pria.

Rasulullah SAW bersabda: Keluarkanlah mereka dari rumah-rumah

kalian. Ibn ’Abbâs berkata: “Maka Nabi SAW pernah mengeluarkan

si Fulan dan Umar juga pernah mengeluarkan si Fulan” (HR al-

Bukhârî)

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)

sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka

menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan

senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai

makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (TQS an-Nisâ’ [4]:

4)

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut

kemampuannya.” (TQS ath-Thalâq [65]: 7)

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para

ibu.” (TQS al-Baqarah [2]: 233)

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena

Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas

sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah

menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika

suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah

mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan

pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka

janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.

Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (TQS an-Nisâ’

[4]: 3)

“Ya Rasulullah, sungguh Abû Sufyân seorang pria yang sangat pelit.

Ia tidak memberikan nafkah yang cukup bagi diriku dan anakku”.

Maka Rasulullah SAW bersabda: “Ambil saja olehmu apa yang

mencukupi untuk dirimu dan anakmu secara makruf”. (Muttafaq

‘alayh dari jalur ‘Aisyah)

“Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan

urusan (Kepimpinan) mereka kepada seorang wanita.” (HR al-Bukhârî)

“Nabi SAW telah melarang kami dari pekerjaan seorang pelayan

wanita kecuali yang dikerjakan dengan kedua tangannya. Beliau

bersabda, “begini (dia kerjakan) dengan jari-jemarinya seperti

membuat roti, memintal, atau menenun.” (HR Ahmad)

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik

(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,

maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,

dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.

Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (TQS an-Nûr [24]: 4)

“Jauhilah oleh kalian tujuh dosa besar.” Para sahabat bertanya: “Apa

saja itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah,

sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan

alasan yang dibenarkan, memakan riba, memakan harta anak yatim,

lari dari medan perang, dan menuduh berzina atas wanita yang suci, yang tidak melakukan apa-apa.” (Muttafaq ’alayhi dari jalur

Abû Hurayrah)

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan

(sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu,

dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan

mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara

wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga

kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum

kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan

maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)

menjadikannya gundik-gundik.” (TQS al-Mâ’idah [5]: 5)

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu

perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji

(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benarbenar)

beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada

(suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi

orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi

mereka.” (TQS al-Mumtahanah [60]: 10)

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum

mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih

baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan

janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita

mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak

yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik

hatimu.” (TQS al-Baqarah [2]: 221)

“Rasulullah SAW telah mengirim surat kepada orang-orang Majusi

Hajr. Beliau menyeru mereka untuk memeluk Islam. Siapa saja

yang masuk Islam, keislamannya diterima. Sebaliknya, siapa saja

yang menolak, ia dikenai kewajiban membayar jizyah, sementara

sembelihannya tidak boleh dimakan dan wanitanya tidak boleh

dinikahi.” (HR al-Bayhaqî)

“Seorang Mukmin adalah saudara bagi Mukmin lainnya. Karena

itu, seorang Mukmin tidak boleh membeli (sesuatu) di atas

pembelian saudaranya, dan tidak boleh meminang (seorang wanita)

di atas pinangan saudaranya sampai saudaranya itu menyianyiakannya

(membatalkan atau meninggalkannya, pen).” (HR

Muslim)

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh

ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya

perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan

(yang ditempuh).” (TQS an-Nisâ’ [4]: 22)

“Tidak ada pernikahan, kecuali dengan (adanya) wali.” (HR Ibn

Hibbân dan al-Hâkim)

“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin dari walinya, maka

pernikahannya adalah batil, pernikahannya batil, pernikahannya

batil!” (HR al-Hâkim)

“Janganlah seorang wanita mengawinkan wanita lainnya. Dan

janganlah seorang wanita mengawinkan dirinya sendiri. Sebab,

wanita pezina itu adalah wanita yang mengawinkan dirinya sendiri.”

(HR Ibn Mâjah dan al-Bayhaqî)

“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah

mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan

persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu”

(TQS ath-Thalâq [65]: 2)

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu

yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudarasaudara

bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang

perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang

laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang

perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan

sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang

dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi

jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu

ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan

diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan

menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang

bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;

sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan

(diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali

budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum

itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu

selain yang demikian.” (TQS an-Nisâ [4]: 23-24)

“Aku pernah bertemu dengan pamanku, dan ia membawa sebuah

panji. Aku lalu bertanya: “Hendak pergi kemana engkau paman?”

Ia menjawab: “Rasulullah SAW telah mengutusku kepada seorang

pria yang telah mengawini istri bapaknya (ibu tirinya) sepeninggal

bapaknya agar aku penggal lehernya atau aku bunuh.” (HR an-

Nasâ’i dan al-Hâkim)

maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu

takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja (TQS an-Nisa [4]: 3)

“Siapa saja yang mempunyai dua orang isteri, lalu ia lebih

cenderung kepada salah satu dan mengabaikan yang lain, niscaya

ia akan datang pada hari Kiamat nanti berjalan sementara salah

satu kakinya lumpuh atau pincang.” (HR Ibn Hibbân di dalam

Shahîh-nya)

“Tatkala masa ‘iddah Zaynab berakhir, Rasulullah SAW berkata

kepada Zayd: “ingatkan Zaynab terhadapku.” Zayd berkata: “lalu

aku pergi menjumpai Zaynab dan aku katakan: “wahai Zaynab,

bergembiralah! Aku telah diutus oleh Rasulullah SAW untuk

mengingatkanmu.” Zaynab berkata: “Aku tidak akan berbuat apaapa

sampai aku diperintahkan oleh Tuhanku.” Zaynab kemudian

bangkit dan pergi menuju ke masjid. Lalu turunlah ayat al-Quran.

Dan Rasulullah datang hingga beliau masuk ke ruangannya (Zaynab)

tanpa meminta izin. Ketika itulah Allah menurunkan firman-Nya

(yang artinya):” Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan

terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan

dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk

(mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anakanak

angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada

isterinya.” (TQS al-Ahzâb [33]: 37)

Rasulullah SAW pernah bersabda dalam

khutbah beliau pada saat haji Wada‘:

“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam urusan kaum wanita,

karena sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan

amanat dari Allah, dan kalian pun telah menjadikan kemaluan

mereka halal bagi kalian dengan kalimat Allah. Kalian memiliki hak

atas isteri-isteri kalian agar mereka tidak memasukkan ke tempat

tidur kalian seorang pun yang tidak kalian sukai. Jika mereka

melakukan tindakan itu, pukullah mereka dengan pukulan yang

tidak kuat (tidak menyakitkan/meninggalkan bekas). Sebaliknya,

mereka pun memiliki hak terhadap kalian untuk mendapatkan rezeki

dan pakaian (nafkah) mereka menurut cara yang makruf.”

“Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik

kepada keluarga (isteri)-nya. Dan aku adalah orang yang paling

baik dari kalian terhadap keluarga (isteri)-ku.” (HR al-Hâkim dan

Ibn Hibbân dari jalur ’Aisyah RA)

“Rasulullah SAW pernah mengajakku berlomba lari, maka aku pun

berhasil mendahului beliau. Itu sebelum badanku gemuk. Lalu aku

mengajak beliau berlomba lari setelah aku gemuk, maka beliau

berhasil mendahuluiku. Lalu beliau bersabda: “Ini untuk membalas

kekalahanku waktu itu”. (HR Ibn Hibban di dalam Shahîhnya.)

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (TQS

an-Nisâ’: 34)

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan

kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami

mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.” (TQS al-

Baqarah: 228)

“Jika seorang isteri tidur malam meninggalkan tempat tidur suaminya

niscaya para malaikat akan melaknatnya sampai ia kembali.”

(Muttafaq ’alayh dari jalur Abû Hurayrah)

“Apakah engkau sudah bersuami?” Wanita itu menjawab: “Ya”.

Beliau lantas bersabda: “Sesungguhnya ia (suamimu) adalah surga

atau nerakamu.” (HR al-Hâkim dari jalur bibinya Husayn bin

Mihshin)

Imam al-Bukhârî meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah

bersabda:

“Tidak halal bagi seorang wanita berpuasa sementara suaminya

ada di rumah, kecuali dengan izinnya. Tidak halal pula baginya

memberikan izin masuk (kepada orang lain) di rumah suaminya

kecuali dengan izinnya. Dan harta apa saja yang dibelanjakannya

tanpa seizin suaminya, maka separuh pahalanya dikembalikan

kepada suaminya.”

Janganlah kalian mengetuk pintu wanita (isteri) pada malam hari

hingga wanita itu (bisa) menyisir rambutnya yang kusut dan wanita yang ditinggal suaminya itu (bisa) mempercantik diri.” (Muttafaq

’alayh dari jalur Jâbir RA)

Rasulullah SAW juga telah memerintahkan kepada isteri-isteri

beliau untuk melayani beliau. Beliau, misalnya, berkata:

“Ya ‘Aisyah tolong ambilkan aku minum, ya ‘Aisyah tolong ambilkan

aku makan, ya ‘Aisyah tolong ambilkan aku pisau dan asahlah

dengan batu.”

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung

dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu

rasa kasih dan sayang.” (TQS ar-Rûm [30]: 21)

dari Abû Hurayrah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Ada tiga golongan orang yang wajib bagi Allah untuk menolong

mereka: seorang mujahid (yang sedang berperang) di jalan Allah;

orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan; dan

mukâtab (budak yang mempunyai perjanjian dengan tuannya untuk

menebus dirinya sehingga merdeka) yang ingin membayar tebusan

dirinya.” (HR al-Hâkim dan Ibn Hibbân)

“Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena

keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya.

Utamakanlah karena agamanya, niscaya engkau akan beruntung.”

(Muttafaq ‘alayhi)

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah

ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (TQS al-

Hujurât [49]: 13)

“Kawinilah oleh kalian wanita penyayang lagi subur, karena aku

akan membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan para

nabi yang lain pada hari Kiamat kelak.” (HR Ahmad)

“Seorang gadis pernah datang kepada Rasulullah SAW, lalu ia

menceritakan bahwa ayahnya telah menikahkannya, padahal ia

tidak suka. Maka Nabi SAW memberikan pilihan kepadanya (boleh

meneruskan perkawinannya atau bercerai dari suaminya, pen).”

(HR Abû Dâwud)

“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi

dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara

mereka dengan cara yang makruf.” (TQS al-Baqarah [2]: 232)

“Seorang laki-laki pernah datang menghadap Nabi SAW, lalu ia

berkata: “Aku berniat untuk mengawini seorang wanita

berketurunan baik lagi cantik, tetapi ia mandul. Bolehkah aku

mengawininya?” Nabi SAW menjawab: “Tidak.” Lalu ia datang

untuk kedua kalinya, dan beliau tetap melarangnya. Kemudian ia

datang untuk ketiga kalinya, lantas Nabi SAW bersabda: “Kawinilah

oleh kalian wanita penyayang lagi subur, karena aku akan

membanggakan banyaknya jumlah kalian.” (HR Abû Dâwud)

Diriwayatkan dari Jâbir bahwa Nabi SAW pernah bersabda

kepadanya:

“Wahai Jabir, engkau mengawini seorang gadis atau janda?” Jabir

menjawab, “Janda.” Nabi SAW lantas bersabda: “Mengapa engkau

tidak mengawini wanita yang masih gadis agar engkau bisa bermainmain

dengannya dan ia pun dapat bermain-main denganmu?”

(Muttafaq ‘alayhi)

“Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu

menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab, pernikahan

itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan.

Siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa,

karena puasa adalah perisai baginya.” (Muttafaq ‘alayhi)

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga

kesucian (diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan

karunia-Nya.” (TQS an-Nûr [24]: 33)

“Wanita yang paling besar mendatangkan berkah adalah yang paling

mudah maharnya.” (HR al-Hâkim dari jalur ‘Aisyah)

“Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu

menanggung beban, hendaklah segera menikah.” (Muttafaq

’alayhi dari jalur Abdullâh ibn Mas’ûd)

Rasulullah SAW telah bersabda kepada seorang pria yang hendak

menikahi seorang wanita yang awalnya memasrahkan dirinya kepada

Rasul SAW:

“Apakah engkau memiliki sesuatu yang bisa engkau berikan

kepadanya? Lalu ia mencari dan tidak mendapati sesuatu pun. Rasul

bersabda: “Carilah meski hanya sebuah cincin besi!” Dan ia tidak

mendapati sesuatu pun. Maka Rasul SAW megawinkannya dengan

wanita itu dengan ayat al-Quran yang ia hafal” (HR al-Bukhârî

dari jalur Sahal ibn Sa’d as-Sa’idi)

diriwayatkan dari Qatâdah yang menuturkan riwayat dari

al-Hasan, yang bersumber dari Samurah:

“Bahwa Nabi SAW telah melarang hidup membujang.” (HR

Ahmad)

Dan jika kamu takut tidak

akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim

(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita

(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu

takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja (TQS an-Nisa [4]: 3)

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,’Hendaklah

mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya;

yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya

Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Dan katakanlah

kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan

pandangannya, dan memelihara kemaluannya…” (TQS an-Nûr

[24]: 30-31)

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang

(biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan

kain kerudung ke dadanya...” (TQS an-Nûr [24]: 31)

“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak

perempuanmu, dan isteri-isteri orang Mukmin, hendaklah mereka

mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian

itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak

diganggu.” (TQS al-Ahzâb [33]: 59)

“Tidak halal seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari

Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam, kecuali jika

disertai mahram-nya.” (HR Muslim).

“Janganlah sekali-kali seorang pria dan wanita berkhalwat, kecuali

jika wanita itu disertai mahram-nya.” (HR Bukhari).

“Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita

kecuali dia disertai mahramnya, karena yang ketiga di antara

keduanya adalah setan.” (HR Muslim, dari jalur Ibnu ‘Abbâs).

“Rasulullah SAW bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian

melamar seorang wanita, maka jika ia mampu untuk melihat apa

yang mendorongnya untuk menikahi wanita itu, hendaklah ia

melakukannya.” Jâbir kemudian berkata, “Aku melamar seorang

wanita. Aku pun bersembunyi untuk melihat wanita itu hingga aku

melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya. Lalu

aku pun menikahinya” (HR al-Hâkim dan beliau berkata,”Hadits

ini sahih menurut syarat Imam Muslim).

“Sesungguhnya seorang anak perempuan jika telah haid (baligh),

tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali wajah dan kedua tangannya

hingga pergelangan tangan.” (HR Abû Dâwud).