Perspektif Islam
Untuk mengetahui sikap Islam terhadap dialog antara umat beragama, terlebih dahulu harus diketahui paradigma Islam terhadap aqidah lain beserta pemeluknya. Terhadap aqidah lain, Islam memiliki sikap yang amat jelas dan tegas, bahawa semua aqidah selainnya adalah sesat. Terdapat banyak ayat mahupun hadith yang menjelaskan prinsip tersebut.
Al-Quran menyatakan bahawa Islam adalah deen yang berasal dari Allah Swt (QS Ali Imran [3] [3]: 19). Kerana kebenaran adalah yang datang dari-Nya (QS Ali Imran [3]: 60), amat logik jika hanya Islam yang diredhai Allah Swt sebagai deen yang dipeluk dan diikuti manusia (QS al-Maidah [5]: 3). Deen inilah yang diperintahkan untuk diikuti seluruh manusia sejak diutusnya Muhammad saw sebagai nabi dan rasul (QS Saba’ [34]: 28). Perintah itu juga mencakup kalangan Ahli Kitab, yakni pemeluk agama Yahudi dan agama Nasrani (QS al-Maidah [5]: 19). Baik ahli Kitab mahupun kaum musyrikin diperintahkan untuk meninggalkan aqidah mereka dan mengimani Islam (QS Ali Imran [3]: 20). Dan setiap orang yang sudah beriman, mereka diperintahkan agar tetap teguh memegang Islam hingga maut menjemput (QS Ali Imran [3]: 102).
Al-Quran juga menegaskan bahwa semua deen –agama mahupun ideologi—selain Islam adalah bathil dan tidak boleh diikuti. Siapa pun yang memeluk dan mengikutinya, tidak akan diterima Allah dan digolongkan sebagai orang yang merugi (QS Ali Imran [3]: 85). Mereka juga dikatagorikan sebagai kafir yang jika tidak mau bertaubat hingga wafatnya diancam dengan neraka jahannam yang kekal siksanya (QS al-Baqarah [2]: 191, Ali Imran [3]: 161). Dari Abu Hurairah Rasulullah saw juga bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi Allah yang jiwa Muhammad yang ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seorang dari umat ini, baik dia Yahudi atau Nasrani, lalu ia mati dan tidak mengimani risalah yang aku bawa (Islam), kecuali termasuk penghuni neraka (HR Muslim).
Secara khusus al-Quran mengecam beberapa aqidah yang dipeluk manusia. Nasrani yang bertumpu pada doktrin triniti yang mengakui ketuhanan Isa as, ditolak tegas oleh Islam. Dalam aqidah Islam, Isa as bukanlah Tuhan, namun dia adalah hamba, nabi, dan utusan Allah Swt. dan siapa pun yang mempercayai doktrin tersebut digolongkan sebagai kafir (QS al-Maidah [5]: 72-73). Penyimpangan Yahudi, baik dari segi aqidah mahupun syariah juga banyak diungkap dalam al-Quran.
Inilah paradigma Islam terhadap aqidah dan pemeluk lainnya. Bahwa Islam adalah agama yang haq, sementara semua aqidah lainnya adalah sesat dan pemeluknya terkategori sebagai kafir. Bertolak dari paradigma inilah setiap muslim akan bersikap. Dengan paradigma ini, maka seorang muslim akan menjadikan setiap pemeluk aqidah selain Islam sebagai sasaran dakwah, berupaya mengajak mereka untuk melepaskan aqidahnya dan menggantinya dengan Islam. Caranya dengan membongkar kesesatan aqidah lawannya, merobohkan semua argumentasinya, dan menyatakan semua kerosakannya. Selanjutnya, ditanamkan keyakinan mereka akan kebenaran Islam dengan memberikan bukti-bukti yang tidak boleh dibantah lagi . Banyak ayat dan hadith yang memerintahkan umat Islam untuk berdakwah kepada non-muslim untuk memeluk Islam dan meninggalkan kekufuran mereka.
Meskipun demikian, bukan bererti kaum muslim diperbolehkan memaksa mereka untuk meninggalkan agamanya. Allah Swt melarang tindakan tersebut (QS al-Baqarah [2]: 256). Jika mereka menolak masuk Islam, mereka diberi kesempatan menjadi kafir dzimmi dalam naungan Daulah Islamiyyah. Harta mereka haram diambil dan darah mereka haram ditumpahkan kecuali dengan cara yang haq. Mereka juga tidak boleh diganggu dan diperlakukan tidak adil lantaran tidak memeluk Islam. Jihad memerangi orang-orang kafir, memang diwajibkan. Namun itu bukan dalam kerangka memaksa mereka masuk Islam. Jihad futuhat itu diperintahkan manakala mereka menolak memilih di antara dua pilihan, iaitu: masuk Islam atau tunduk kepada sistem Islam dengan menjadi kafir dzimmi. Jika mereka tidak memilih di antara keduanya bererti dia telah menjadikan dirinya sebagai penghalang fizik yang harus disingkirkan dengan kekuatan fizik pula alias jihad (QS al-Taubah [9]: 29).
Berdasarkan paparan di atas, dialog dengan pemeluk aqidah lain dengan tujuan untuk berdakwah dan mengajak mereka meninggalkan kekufurannya dan mengimani Islam boleh dilakukan. Rasulullah saw dan para sahabat juga pernah berdialog dengan orang kafir dengan tujuan tersebut.
Tetapi jika dialog lintas agama itu bertujuan untuk menemukan titik-titik persamaan antar berbagai agama; mereduksi dan memangkas sebagian ajaran Islam untuk dikompromikan dengan agama lain; menyamakan dan menyejajarkan Islam dengan agama lain; atau bahkan memberikan pengakuan akan kebenaran agama lain jelas dilarang Islam.
Apabila dicermati, berbagai dialog antara agama yang kini gencar diadakan tidak terkatagori jenis pertama namun terkatagori jenis kedua. Tema-tema yang dibahas dalam dialog tersebut senantiasa berkisar pada upaya-upaya mengembangkan sikap saling toleran, saling mencintai, menciptakan perdamaian, dan melakukan kerjasama antara pemeluk agama. Niat asalnya adalah untuk melakukan dakwah mengajak orang-orang kafir meninggalkan kekufurannya dan mengikuti Islam, namun apa yang terjadi sebaliknya, ‘delegasi dari umat’ Islam justeru terseret dalam arus idea yang mensejajarkan, menyepadankan, dan menyamaratakan agama.
Bahaya Dialog Antara Agama
Di samping bertentangan dengan ketentuan syara’, dialog antara agama itu mengandung sejumlah bahaya. Di antara bahayanya adalah: pertama, mengikis keimanan tentang Islam sebagai satu-satunya kebenaran. Tema yang senantiasa dibahas dalam dialog dan dianggap sebagai masalah bersama adalah munculnya ketegangan dan konflik yang dilatari perbedaan agama. Solusi yang selalu ditawarkan dalam berbagai dialog itu adalah mengikis habis sikap fanatisme agama yang dianggap sebagai tembok perselisihan. Oleh kerananya, pernyataan oleh setiap agama yang mengaku sebagai satu-satunya kebenaran harus disingkirkan jauh-jauh. Sebagai gantinya, dikembangkan sikap saling menghormati, mahu menerima perbedaan, dan tidak saling menyalahkan. Bahkan harus dicari sisi-sisi persamaan antara agama, seperti ajaran cinta kasih, perdamaian, persaudaraan, keadilan, dan sebagainya yang selanjutnya menjadi agenda bersama untuk disebarkan di tengah masyarakat. Solusi ini tentu sekali dapat merosak keimanan seseorang.
Yang perlu digaris bawahi, keimanan seseorang terhadap Islam sebagai satu-satunya kebenaran tidak semestinya harus berhujung pada konflik agama saja. Sebab, keyakinan pasti akan kebenaran Islam tidak berarti membolehkan atau bahkan mengharuskan pemusnahan pemeluk agama lain. Sebagaimana telah dijelaskan di muka, meski umat Islam diperintahkan mengajak mereka kepada Islam, akan tetapi tidak dibenarkan memaksa mereka masuk Islam. Dengan demikian, simpulan bahwa ketegangan antara agama disebabkan kerana fanatisme agama (Islam) merupakan pokok persoalan yang menyesatkan.
Demikian juga upaya mencari titik persamaan agama sebagai tawaran solusi untuk meredakan konflik. Sebab, perkara yang dianggap sebagai titik persamaan agama sesungguhnya semua belaka. Jika ajaran cinta kasih atau keadilan dianggap sebagai titik temu antara agama, samakah ajaran cinta kasih dan keadilan antara Islam, Kristian, Yahudi, Hindu, atau Budha? Jawapannya jelas, wujud secara nyata cinta kasih dan keadilan berbagai agama terdapat perbedaan, bahkan kontradiksi yang saling menafikan. Sebagai contoh, hukuman rejam yang ditimpakan terhadap pelaku perzinaan muhsan adalah adil menurut Islam. Akan tetapi hukuman itu bisa jadi dianggap sadis, barbarian, atau tidak beradab oleh agama lain. Oleh kerananya, seruan menyebarkan cinta kasih, persaudaraan, perdamaian, dan sebagainya, tanpa ada kejelasan wujud nyatanya adalah seruan mengelirukan alias omongan sesat.
Kedua, menjauhkan peranan Islam dan mereduksi ajarannya. Di antara tujuan dialog antara agama yang sering didengungkan adalah menciptakan kehidupan moderat. Sedangkan kehidupan moderat adalah menjauhkan peranan agama dari kehidupan. Sikap itu jelas akan menjauhkan peranan syariat Islam yang mengatur seluruh kehidupan dan mereduksinya hanya menjadi agama yang mengatur urusan ubudiyyah dan individunya sahaja. Ini bererti, dialog antara agama makin menjauhkan umat Islam dari perjuangan menegakkan syariat.
Ketiga, membendung gerakan-gerakan Islam yang bertujuan menegakkan syariat Islam dalam kehidupan bernegara. Dialog antara agama juga mengutuk terorisme. Jika definisi terorisme secara objektif, barangkali tidak terlalu menjadi masalah. Sebab, Amerika sebagai negara samseng teroris termasuk daftar negara yang dikutuk. Demikian juga
Menyelidik Asal Usul Dialog Antara umat Beragama
Berbagai bahaya tersebut amat wajar sekali. Kerana, jika diteliti asal-muasalnya dialog antara agama memang berasal dari Barat. Baratlah yang memunculkan dialog tersebut dan bersemangat untuk mempromosikan ke negara-negara lain. Dialog antara agama mulai muncul secara internasional pada tahun 1932 tatkala perancis mengutus delegasinya untuk berunding dengan tokoh-tokoh ulama al-Azhar (Kairo-Mesir) mengenai idea penyatuan tiga agama; Islam, Kristian dan Yahudi.
Kegiatan ini kemudian ditindak lanjuti dengan Konferens Paris tahun 1933 (dihadiri para orientalis dan misionaris dari berbagai universiti di
Mereka sedar, untuk memenangkan kapitalisme tidak cukup dengan kekerasan seperti yang dipraktikkan secara telanjanag oleh Amerika di
Mereka telah berbuat makar untuk menghancurkan Islam dan umatnya, lalu apa yang Anda lakukan untuk membelanya? Wallah a’lam bi al-shawab.
No comments:
Post a Comment