Hingga saat ini masih sering dijumpai adanya kebingungan di kalangan masyarakat Barat mengenai pembagian peran antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam kehidupan. Pada masa lalu, kaum perempuan mempunyai kedudukan yang lebih rendah dibandingkan kaum laki-laki, dan bahkan pernah disejajarkan dengan hewan atau dipandang sebagai “makhluk yang tidak memiliki ruh”, atau dianggap hanya sebagai hak milik kaum laki-laki. Sementara pada masa sekarang ini, berbagai pergerakan dan organisasi perempuan berjuang melawan status quo untuk mendapatkan status dan hak-hak yang sama sebagaimana kaum laki-laki.
Konflik semacam ini kerap timbul di antara kaum laki-laki dan perempuan, karena karakteristik dan sifat alamiah kaum laki-laki dan perempuan, berikut peran yang mereka mainkan dalam kehidupan ini ditentukan berdasarkan pertimbangan akal manusia. Namun, tentu saja, mustahil bagi manusia –yang pengetahuannya sangat terbatas ini– untuk dapat memahami sepenuhnya sifat laki-laki dan perempuan yang sangat rumit ini, serta perasaan dan karakteristik mereka yang sangat berlainan. Sebagai akibatnya, muncul pemikiran-pemikiran yang keliru mengenai bagaimana seharusnya kaum laki-laki dan perempuan saling berinteraksi satu dengan yang lain. Peran masing-masing pihak belum didefinisikan dengan jelas, dan hasilnya adalah timbulnya kekacauan di tengah-tengah masyarakat.
Banyak masalah yang secara langsung bersumber dari ketidakjelasan ini, baik berkenaan dengan peran kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam keluarga, dalam masyarakat, maupun dalam dunia kerja. Inilah sebabnya mengapa terjadi diskriminasi dan penindasan terhadap kaum perempuan, runtuhnya bangunan keluarga, pelecehan seksual, prostitusi, perilaku tak senonoh terhadap anak-anak, homoseksual, serta berbagai macam penyakit sosial lainnya.
Pandangan Barat terhadap kaum perempuan seperti itulah yang kemudian digunakan untuk meneropong ajaran Islam. Bahwa “Islam menindas kaum perempuan”, sepertinya sudah menjadi opini yang kuat di kalangan pengamat Barat. Hak-hak perempuan dalam Islam, khususnya yang hidup dalam sistem Islam, menjadi topik perdebatan yang hangat sambil melahirkan banyak mispersepsi.
Ada beberapa pernyataan yang menggelikan mengenai perlakuan Islam terhadap perempuan, beberapa lagi cenderung khayalan dan menggelikan.
Ayaan Hirsi Ali, mantan anggota parlemen Belanda, yang berbohong tentang pernikahannya demi memperoleh status kewarganegaraan Belanda, adalah salah seorang yang disebut sebagai pejuang hak-hak perempuan. Namanya mendadak terkenal setelah dia menulis skenario film berjudul Submission yang disutradarai oleh Theo van Gogh, yang kemudian dibunuh gara-gara film tersebut.
Judul film tersebut merupakan terjemahan langsung terhadap kata “Islam” dan menggambarkan empat perempuan muslimah telanjang setelah dipukuli dan diperkosa oleh saudara laki-laki dalam keluarga mereka. Ayat-ayat al-Quran tentang perempuan kemudian diletakkan di tubuh telanjang mereka. Orang yang pengetahuan Islamnya minim pun akan tahu bahwa menuduh al-Quran memerintahkan pemerkosaan, khususnya oleh kerabat, adalah klaim yang menggelikan.
Sayangnya, memang argumentasi seperti itulah yang banyak beredar saat membahas hak-hak perempuan muslimah.
Komentar terkini Bush tentang Khilafah mengutip contoh-contoh dari Taliban untuk menggambarkan Khilafah sebagai “negara dimana perempuan dipenjara di rumah, dan para gadis tak bisa bersekolah, dan perempuan terasing dari publik.”
Terlepas dari perkara benar-salahnya pemerintahan Taliban, bagaimana sebenarnya Negara Khilafah memperlakukan kaum perempuan?
Penting untuk disadari bersama bahwa serangan terhadap cara Islam memperlakukan perempuan bukan berasal dari kalangan perempuan muslimah, melainkan dari kalangan non Muslim yang memandang masalah tersebut sebagai orang luar. Hal itu membuat mereka merasa perlu untuk “membebaskan” perempuan muslimah dari kungkungan penjara di rumah atau dari hijab yang harus mereka kenakan. Tapi pandangan ini sama sekali tidak mencerminkan pandangan mayoritas perempuan muslimah.
Dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh The Gallup Organization, dan dilaporkan dalam artikel di New York Times – Muslim Women Don’t See Themselves as Oppressed, Survey Finds – menunjukkan dengan jelas bagaimana sesungguhnya aspirasi dan perasaan perempuan muslimah. Keprihatinan mereka yang utama adalah kurangnya persatuan kaum Muslim, kekerasan ekstrimisme, dan korupnya sistem politik dan ekonomi. Semua itu adalah masalah-masalah yang akan diatasi oleh Khilafah.
“Hijab, atau kerudung, dan burqa, pakaian yang menutupi tubuh dan wajah, yang dilihat oleh sebagian kalangan Barat sebagai alat penindasan, tidak pernah disebut-sebut dalam jawaban para perempuan itu terhadap pertanyaan terbuka dalam survey tersebut, demikian menurut analis jajak pendapat itu.”
Survey tersebut juga menemukan bahwa “mayoritas perempuan yang menjadi responden di tiap negara menyebutkan ‘keterikatan terhadap nilai-nilai moral dan spiritual’ sebagai aspek terbaik dalam masyarakat mereka.”
Islam memiliki cara yang unik dalam memperlakukan masalah lelaki dan perempuan. Dalam sistem dan agama “buatan manusia”, dimana manusia (kebanyakan lelaki) memutuskan nilai-nilai mereka dan sistem legislasinya, perempuan akan menjadi pihak yang tertindas dan tereksploitasi. Lelaki tidak pernah bisa mengerti bagaimana rasanya menjadi perempuan, lantas bagaimana bisa mereka membuat aturan bagi perempuan?
Laki-laki dan Perempuan dalam Islam
Islam menjelaskan secara gamblang dan akurat tentang peran kaum laki-laki dan perempuan dalam kehidupan ini, serta memberikan pedoman yang rinci tentang bagaimana seharusnya mereka berinteraksi antara satu dengan yang lain dalam setiap aspek kehidupan. Penjelasan dan pembagian peran ini langsung berasal dari Allah Swt, Sang Pencipta manusia. Oleh sebab itulah, maka penjelasan dan pembagian peran tersebut benar-benar sesuai dengan kodrat manusia, dan tidak dikenal adanya penindasan atau diskriminasi yang dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya.
Umat manusia adalah kumpulan dari individu-individu manusia yang memiliki berbagai naluri yang sama, yaitu naluri mempertahankan diri (gharizatu al-baqa’), naluri beragama (gharizatu at-tadayyun), dan naluri untuk mempertahankan keturunan (gharizatu an-nau’). Masing-masing individu juga memiliki kebutuhan pokok yang sama, seperti kebutuhan untuk makan, tidur, bernafas, dan sebagainya. Naluri dan kebutuhan jasmani ini dimiliki oleh setiap individu, apa pun jenis kelaminnya. Kaum laki-laki maupun kaum perempuan adalah makhluk Allah Swt, dan dalam hal ini kedua belah pihak memiliki kedudukan yang sama. Islam menjelaskan tujuan hidup manusia, yakni semata-mata untuk beribadah kepada Allah Swt. Allah Swt berfirman:
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku. (TQS. adz-Dzariyat [51]: 56)
Peribadatan ini dijalankan dengan menaati perintah-perintah Allah Swt dan menjauhi segala larangan-Nya. Atas dasar ukuran ketaatan ini seseorang akan dihisab pada Hari Penghisaban, untuk menentukan apakah ia akan mendapatkan hadiah surga atau siksa di neraka. Hal ini terjadi baik pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan, tanpa ada perbedaan antara satu dengan yang lain. Di mata Allah Swt, kaum laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama. Allah Swt berfirman di dalam al-Qur’an:
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berkata), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah keturunan dari sebagian yang lain.” (TQS. Ali Imran [3]: 195)
Namun harus dipahami bahwa Allah Swt menciptakan laki-laki dan perempuan dengan fitrah yang berbeda, yang menyebabkan mereka mempunyai peran yang berbeda dalam kehidupan ini. Hal ini disebabkan karena ada sejumlah sifat yang hanya dimiliki oleh kaum laki-laki atau kaum perempuan, yang tidak bisa dilakukan oleh lawan jenisnya. Sebagai misal, kaum perempuan mempunyai potensi untuk mengandung dan menyusui anak-anaknya; sementara laki-laki –yang secara fisik lebih kuat– tidak bisa menjalankan fungsi tersebut. Salah satu dari sekian banyak kesalahan yang kita dapati dalam sistem buatan manusia adalah bahwa “kesetaraan” antara kaum laki-laki dan perempuan dimaknai dengan “kesamaan”. Atas dasar konsep tersebut, maka laki-laki dan perempuan didorong untuk saling berkompetisi dalam menjalani peran dan fungsi yang sama.
Syariat Islam mencegah hal ini terjadi. Dalam beberapa aspek, yang tidak dikhususkan bagi jenis kelamin tertentu, kaum laki-laki dan kaum perempuan mengikuti aturan-aturan yang sama, seperti dalam hal shalat, mengucapkan syahadat, atau shaum; kecuali pada saat-saat tertentu dimana terdapat perbedaan akibat adanya sifat-sifat alamiah tertentu. Jadi, pada saat menstruasi, kaum perempuan tidak melaksanakan shalat, dan pada saat hamil mereka mendapatkan rukhshah (keringanan) untuk tidak menjalankan ibadah shaum (meski harus menggantinya pada hari-hari yang lain). Akan tetapi, pada aspek-aspek yang lain, yakni dalam hal-hal yang berkaitan dengan jenis kelamin tertentu, kaum laki-laki dan kaum perempuan mempunyai peran yang berbeda serta mengikuti aturan yang berlainan pula. Misalnya adalah potensi untuk menjalani fungsi-fungsi keibuan dan potensi untuk menjalankan fungsi-fungsi seorang bapak. Jadi, bukannya terjadi kompetisi antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan, tetapi justru tercipta harmoni dan ketenangan.
Tujuan Sistem Pergaulan
Ada tiga tujuan utama sistem pergaulan dalam Islam. Ketiganya adalah:
Untuk menentukan peran kaum laki-laki dan kaum perempuan.
Untuk mengelola hubungan antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan, serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul akibat hubungan ini.
Untuk mengatur struktur keluarga.
Semua hukum dan aturan yang wajib ditaati oleh umat manusia dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan tersebut telah ditetapkan oleh syariat. Ada sejumlah aturan yang bersifat khas bagi kaum laki-laki atau kaum perempuan, tapi ada pula aturan-aturan yang diaplikasikan oleh keduanya.
Islam diturunkan dari Pencipta lelaki dan perempuan – Allah Swt. Lelaki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah Swt. Kalaupun ada perbedaan, maka itu hanya dalam hal ketaatan dan ketundukan mereka terhadap Allah Swt. Ini menjamin bahwa perempuan tidak tunduk terhadap hukum-hukum buatan manusia yang hanya cocok bagi lelaki.
Islam mengakui bahwa lelaki dan perempuan memiliki perbedaan-perbedaan alamiah, dan karena itu memiliki peran yang berbeda dalam kehidupan bermasyarakat.
Berikut ini adalah beberapa poin penting terkait posisi perempuan dalam sistem Khilafah.
Pendidikan
Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap orang, lelaki maupun perempuan. Bahkan sangat penting bagi perempuan muslimah untuk memiliki pendidikan Islami setinggi mungkin, karena merekalah yang nantinya akan menjadi sumber pengetahuan pertama bagi anak-anaknya.
Negara Khilafah berkewajiban menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan terbaik bagi warganegaranya. Dengan begitu, maka diperlukan banyak sekali perempuan yang berprofesi sebagai dokter, perawat, dan guru untuk menjalankan peran dan tugas itu.
Ayat 173 dalam draf rancangan konstitusi Negara Khilafah (yang disusun oleh Hizbut Tahrir) menyatakan:
“Negara berkewajiban mengajarkan hal-hal yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya, baik laki-laki maupun wanita. Program wajib belajar berlaku atas seluruh rakyat pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Negara wajib menjamin pendidikan bagi seluruh warga dengan cuma-cuma, serta mereka diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara cuma-cuma dengan fasilitas sebaik mungkin.”
Pekerjaan
Tugas utama perempuan adalah menjadi istri dan ibu. Dia tidak dibebani tugas untuk bekerja menghidupi dirinya sendiri. Tugas tersebut dibebankan kepada lelaki – baik itu lelaki yang menjadi suaminya ataupun ayahnya, ataupun saudaranya. Jika seorang perempuan tidak memiliki wali, maka dia berhak mendapat status sebagai kalangan yang dilindungi negara, dan tidak wajib bekerja.
Namun demikian, perempuan tetap boleh bekerja dan memainkan peran lain dalam kehidupan bermasyarakat, selain peran mereka dalam keluarga seperti yang telah disebut di atas. Keberadaan dokter, guru, perawat, hakim, polisi perempuan sangatlah penting bagi keberlangsungan masyarakat. Dapat dibayangkan betapa rikuhnya seorang perempuan jika harus membahas masalah-masalah yang khas perempuan dengan seorang hakim lelaki, misalnya. Karena itulah keberadaan hakim perempuan, khususnya dalam pengadilan keluarga, dibutuhkan oleh negara.
Bahkan jika seorang perempuan muslimah bekerja, dia tidak diwajibkan untuk membelanjakan uangnya untuk keluarganya. Dia bisa menjadi orang yang kaya raya, sedangkan kewajiban menafkahi keluarga tetap ada pada lelaki yang menjadi suaminya, bukan pada dirinya. Suami ataupun keluarga, tidak punya hak untuk menyentuh harta yang dikumpulkan oleh perempuan tersebut. Tentu saja perempuan muslimah juga terikat kewajiban ‘untuk membayar’ atas hasil pekerjaan mereka, entah itu yang termasuk kharaj, ‘usyur, atau zakat. Sedangkan perempuan non Muslim tidak dikenakan kewajiban membayar jizyah, bahkan seandainya mereka memiliki pekerjaan.
Pemerintahan
Perempuan wajib menyuarakan opini politik mereka dan mendapat kedudukan dalam pemerintahan Khilafah. Mereka bisa menjadi hakim, kepala departemen pemerintahan, anggota Majelis Umat, dan mereka boleh memberikan suara dalam pemilihan Khalifah. Karena adanya larangan yang datang dari Allah Swt –yang lebih tahu diri mereka dibandingkan mereka sendiri – mereka tidak dapat memegang posisi Khalifah ataupun jabatan-jabatan pemerintahan (seperti Wali, Mu’awin Tafwidl, Amir Jihad). Perempuan muslimah tidak mempermasalahkan hal ini karena mereka punya kewajiban lain, yaitu menaati Allah Swt dan mendapatkan ridha-Nya.
Kehidupan Keluarga
Pelanggaran kehormatan, kekerasan domestik, dan penganiayaan terhadap istri, adalah perkara-perkara yang dilarang oleh Islam. Tujuan pernikahan adalah untuk mencapai kedamaian melalui hubungan kemitraan antara suami dan istri.
Nabi Muhammad saw bersabda:
“Orang yang imannya paling sempurna di antara kalian adalah yang paling berakhlak mulia, dan yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya.” (HR. Tirmidzi)
Hukum
Lelaki dan perempuan berkedudukan setara di hadapan hukum. Perbedaan mereka hanya dalam hal jumlah saksi yang diperlukan ketika akan menghukum seseorang. Secara umum, dua orang saksi perempuan setara dengan seorang saksi lelaki. Ini tidak berarti bahwa perempuan mendapat status setengah lelaki, seperti yang dituduhkan oleh sebagian kalangan. Aturan ini bukan ditetapkan oleh lelaki, tapi oleh Allah Swt yang telah menciptakan perempuan. Dalam hal ini, perempuan menerima posisi ini dalam rangka ketaatannya kepada Allah Swt.
Banyak yang menyebut bahwa hukum perzinaan dalam Islam tidak adil terhadap perempuan. Hal ini dikemukakan dengan mengambil kasus dari Pakistan dan Taliban.
Hukum perzinaan sesungguhnya berlaku sama, bagi lelaki dan perempuan. Untuk membuktikan kasus perzinaan, empat orang saksi terpercaya yang kesaksiannya sedang diperiksa, harus bersaksi bahwa mereka memang melihat langsung terjadinya perzinaan itu. Jika pihak penuduh tidak dapat mengajukan empat saksi itu, maka dia sendirilah yang akan mendapat hukum cambuk. Jika perempuan yang dituduh berzina itu bersaksi di bawah sumpah bahwa dia diperkosa, maka keberadaan empat orang saksi itu tidak akan berarti apa-apa, dan perempuan tersebut tidak akan dikenai hukuman zina.
Perlu diketahui bahwa dalam peradilan biasa, umumnya yang dibutuhkan untuk kasus pencurian dan pembunuhan adalah dua orang saksi. Adapun perzinaan membutuhkan empat orang saksi yang harus melihat terjadinya penetrasi. Pada prakteknya, hampir mustahil mendapatkan empat orang saksi yang sesuai dengan ketentuan itu. Adapun bukti-bukti kasus perzinaan pada masa-masa awal Khilafah adalah dengan jalan pengakuan, bukan persaksian. Hukuman keras bagi pelaku zina (dirajam) adalah hukuman yang menimbulkan efek jera, sekaligus menunjukkan kepada masyarakat tentang mulianya nilai-nilai pernikahan.
Hijab
Dalam sistem Khilafah, perempuan diwajibkan mengenakan penutup kepala (khimar) dan pakaian panjang (jilbab). Mereka tidak diwajibkan menutupi wajah mereka, meskipun jika ingin, mereka boleh mengenakannya sesuai pendapat fukaha yang mereka ikuti, demikian juga mereka diperbolehkan memakai burqa bila memang berkehendak.
Hijab tidak menjadi masalah bagi perempuan muslimah, seperti yang ditunjukkan dengan jelas dalam survey diatas. Barat memiliki obsesi tersendiri dalam hal hijab ini dan pakaian perempuan secara umum. Di Perancis, yang menjadi rumah bagi Chanel dan Yves Saint Laurent, mereka sangat terobsesi melarang hijab. Karena melihat hijab sebagai penindasan terhadap perempuan, mereka kemudian membuka pakaian mereka dan berpakaian dengan cara yang menyenangkan mata para lelaki. Ini sesuatu yang tidak akan ada dalam Negara Khilafah. Fakta bahwa negara harus sampai melarang penggunaan hijab, menunjukkan meningkatnya jumlah perempuan muslimah yang mencintai hijab dan ingin mengenakannya. Hal itu juga menunjukkan kegagalan pandangan Barat terhadap perempuan yang ingin dipaksakan agar menjadi “nilai-nilai universal” untuk kemanusiaan.
Sebelum membuat kesimpulan tentang perempuan muslimah, pihak Barat seharusnya bertanya terlebih dahulu kepada para muslimah itu, apa yang sebenarnya mereka inginkan. Survey dari The Gallup Organization jelas-jelas menyatakan bahwa yang diinginkan perempuan muslimah adalah Islam dan kesatuan Muslim, yaitu tegaknya kembali Negara Khilafah.
No comments:
Post a Comment