Ketika kaum Muslim tengah mempersiapkan diri untuk memasuki bulan suci Ramadhan 1429 H, tiba-tiba ketenangan mereka harus terusik kembali dengan pernyataan Menteri Agama, Maftuh Basyuni (24/08/2008) tentang kelanjutan penyelesaian kasus Ahmadiyah. Dengan tegas, Menag menyatakan, bahwa pemerintah tidak akan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) untuk membubarkan Ahmadiyah. Tentu pernyataan ini sangat mengejutkan, apalagi disampaikan di depan para ulama’ dan tokoh Islam, yang disaksikan oleh ribuan kaum Muslim pada acara Tasyakuran Pesantren al-Quran dan Haul KH Abdullah Syafiie ke-13 di Sukabumi, Minggu (24/08/2008).
Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah logika yang digunakan oleh Menag. Pertama, pasca keluarnya SKB (09/06/2008), muncul dua kubu di tengah masyarakat yang saling berlawanan. Di satu pihak, ada kubu yang menuntut agar Ahmadiyah dibubarkan, namun di pihak lain, ada kubu yang menuntut kebebasan, dan membiarkan paham Ahmadiyah ini dibiarkan. Menurut Menag, kubu pertama tidak memiliki kekuatan hukum di bumi Indonesia. Dari sisi perundang-undangan, tidak ada satu pasal pun yang bisa digunakan untuk membubarkan Ahmadiyah. Bahkan, dia tambahkan, di dalam al-Quran dan Hadits sendiri tidak ada ajaran yang memaksa orang lain untuk ikut dan menjadi Muslim. Sementara terhadap kubu kedua harus diluruskan, sebab jelas-jelas Ahmadiyah tidak bisa diterima oleh umat Islam di Indonesia, karena Islam meyakini Nabi terakhir, yaitu Muhammad saw. bukan Mirza Ghulam Ahmad yang selama ini diyakini sebagai Nabi oleh warga Ahmadiyah.
Kedua, Menag membuat analogi tentang tidak perlunya Keppres. Ibarat orang Muslim yang hendak shalat yang harus mengambil wudhu’, ternyata wudhunya belum sempurna. Membasuh muka muka, tangan, kepala namun kakinya tak dibasuh, maka harus disempurnakan.
Ketiga, Sebagai intropeksi, ternyata ada beberapa poin pada diktum keenam SKB tersebut tidak dilaksanakan oleh umat Islam, yang berkaitan dengan pembinaan terhadap warga Ahmadiyah.
Maka, dengan logika di atas, menurutnya, sangat berlebihan jika karena tekanan ormas-ormas Islam, pemerintah melanjutkan SKB tersebut dengan Keppres. Karena itu, pemerintah bersikeras Keppres tentang pelarangan Ahmadiyah tidak perlu dikeluarkan. Bahkan, dia menegasikan kemungkinan pemerintah menerbitkan Keppres.
Pertanyaannya, apakah Menag tidak mengerti perbedaan orang murtad dan bukan? Apakah dia juga tidak tahu perbedaan tidak ada paksaan dalam Islam terhadap orang non-Muslim untuk memeluk Islam, sementara terhadap orang murtad, justru sebaliknya? Terlebih menganalogkan orang murtad dengan orang yang tidak memenuhi salah satu rukun ibadah, padahal yang satu batal dari segi akidahnya, sementara yang satu lagi tidak, atau hanya kurang salah satu rukunnya? Yang lebih mengejutkan lagi, dia berani menyatakan pernyataan seperti itu di depan para kiyai, ulama’, tokoh Islam dan santri pesantren, apakah dia mengira bahwa para kiyai, ulama’, tokoh Islam dan para santri itu tidak paham tentang perkara-perkara ini? Ataukah dia sengaja ingin menyesatkan pemahaman para para kiyai, ulama’ dan tokoh Islam tersebut agar mendukung logika pemerintah?
Wahai kaum Muslim:
Sesungguhnya upaya penyelesaian masalah Ahmadiyah yang sebenarnya sederhana ini, telah begitu berlarut-larut dan tidak berkesudahan. Karena tidak ada ketegasan, kemauan, dan keberanian politik dari pemerintah. Bagaimana tidak, sejak tahun 1980, MUI telah mengeluarkan fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah. Pada tahun 1985, OKI dalam Majma’ al-fiqh al-Islami di Jeddah juga telah mengeluarkan keputusan yang sama. Tidak hanya itu, pada tahun 2005, MUI pun mengeluarkan kembali fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah, termasuk Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme. Ditindaklanjuti dengan rekomendasi Bakorpakem tahun 2005, agar pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Pada tanggal 16 April 2008, setelah melalui pemantauan selama 3 bulan terhadap Ahmadiyah, khususnya berkenaan dengan 12 poin yang dikeluarkan oleh PB JAI, maka Bakorpakem pun menyatakan, bahwa Ahmadiyah telah menyimpang dari ajaran Islam, dan karenanya harus dibubarkan. Dasar hukumnya jelas yaitu UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, yang memberikan hak kepada pemerintah untuk melarang ajarannya dan membubarkan organisasinya.
Namun, sayangnya sikap pemerintah tetap bergeming. Umat pun bereaksi, sehingga terjadilah aksi di mana-mana. Mulai dari aksi damai hingga aksi-aksi fisik. Semuanya ini sebenarnya dipicu oleh sikap pemerintah sendiri yang tidak segera mengambil tindakan hukum yang tegas dan jelas. Puncaknya adalah aksi tanggal 9/06/2008, yang diikuti oleh hampir seluruh elemen umat Islam, sehingga pemerintah terpaksa mengeluarkan SKB. Setelah keluarnya SKB, masalah Ahmadiyah memang belum selesai, dan umat pun masih menuntut penyelesaian final dari pemerintah, dengan dikeluarkannya Keppres tentang Pembubaran Ahmadiyah. Namun itulah sikap pemerintah dan negara yang memang tidak melaksanakan syariah.
Wahai kaum Muslim:
Apa yang telah kita lakukan selama ini tentu tidak sia-sia, namun kami ingin menyampaikan bukti, bahwa inilah sesungguhnya fakta pemerintahan dan negara yang tidak diatur dengan syariah. Untuk menjaga akidah Islam yang sudah jelas-jelas dinodai dan dinistakan sedemikian rupa, yang tidak bisa lagi dibantah oleh siapapun, itupun tidak bisa. Sudah terbukti, bahwa Ahmadiyah sesat dan keluar dari Islam, karena jelas mengimani bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi, setelah Nabi Muhammad. Sudah terbukti mereka mengimani, bahwa Tadzkirah adalah wahyyu muqaddas (wahyu suci), yang jelas-jelas bertentangan dengan akidah Islam. Mau bukti apa lagi?
Namun sayang, karena umat Islam ini tidak mempunyai pemerintahan dan negara yang menerapkan syariah Islam, maka beginilah kenyataannya. Setelah kasus Lia Eden yang mengaku sebagai Jibril hanya dihukum beberapa tahun, muncul kasus al-Qiyadah al-Islamiyyah, dengan Mushaddeq-nya yang menyatakan diri sebagai Nabi, kemudian muncul nabi-nabi palsu yang lainnya. Padahal, seandainya mereka hidup dalam pemerintahan dan negara yang menerapkan syariah, maka penyimpangan-penyimpangan seperti ini tidak akan terjadi dan terus-menerus terjadi tanpa penyelesaian. Karena tidak ada hukuman bagi mereka kecuali hukuman mati atau diperangi oleh negara.
Karena itu, wahai kaum Muslim, bukti apa lagi yang meyakinkan saudara, bahwa kita memang membutuhkan pemerintah dan negara yang menerapkan syariah. Negara yang bukan hanya untuk orang Islam, tetapi juga seluruh umat manusia. Negara yang bukan hanya akan melindungi akidah dan ajaran Islam dari penistaan, tetapi juga melindungi akidah dan ajaran non-Islam untuk bebas dilaksanakan oleh para pemeluknya. Itulah Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Karena Khilafah akan menjadi perisai, yang akan membentengi dan melindungi seluruh rakyat yang hidup di dalamnya dengan keadilannya, sebagaimana sabda Nabi:
«إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»
“Imam (khalifah) tak lain adalah perisai, dimana dia akan melindungi orang-orang yang berperang di belakangnya, dan menjadi benteng bagi mereka.” (HR Muslim)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya, jika keduanya menyerukan kepada kalian kepada apa yang akan bisa menghidupkan kalian. (Q.s. al-Anfal [08]: 24)
No comments:
Post a Comment