”Tidak ada lagi pertentangan antara Islam dan nasionalis,” kata Wapres Jusuf Kalla yang juga ketua umum DPP Partai Golkar dalam acara buka puasa bersama dan bincang santai “Bicara Politik dan Islam” yang digelar Republika di Jakarta, Selasa (23/9).
Selain Jusuf Kalla, hadir dalam diskusi ini, antara lain, Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP, Taufik Kiemas; mantan presiden PKS, Hidayat Nur Wahid; Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar; Ketua Umum DPP Partai Hanura, Jenderal TNI (Purn) Wiranto; capres PBB, Yusril Ihza Mahendra; Ketua DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum; mantan ketua MK, Jimly Asshiddiqie; Irman Gusman, dan Adi Sasono.
Nuansa pragmatis, kata Kalla, justru terasa lebih kental. Dia mencontohkan koalisi yang dibangun PKS di sejumlah pilkada. Sebagai partai berasas Islam, PKS dapat berkoalisi dengan PDIP di Pilkada Sumsel. Di Sulsel, PKS berkoalisi dengan Partai Golkar.
Bahkan, partai yang sama-sama religius, tapi dengan latar belakang agama berbeda, bisa bersatu di pilkada. ”Contohnya di Papua, PKS berkoalisi dengan PDS,” sebut Kalla.
Karenanya, kata Kalla, tidak ada rumusan baku menjalin koalisi. Sebab, tujuan koalisi antarpartai tak hanya sekadar kesamaan program, visi, dan misi, tapi juga untuk mengisi kekurangan kemampuan maupun perolehan suara, sehingga peluang mencapai kemenangan semakin besar.
Sementara, bila ditilik dari sejarah, jelas Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP, Taufik Kiemas, partai-partai nasionalis pun tak bisa dipisahkan dari umat Islam. Kalau sekarang PDIP punya Baitul Muslimin, Taufik menyatakan dahulu PNI juga memiliki Jamiatul Muslimin.
”Seorang Pancasilais dijamin tidak akan menjadi sekuler,” katanya. Partainya, lanjut Taufik, sejak awal selalu menawarkan koalisi. Sekalipun PDIP mampu mengusung capres atau cawapres tanpa koalisi, PDIP tidak akan bisa membangun bangsa sendirian.
Berhubung tak ada lagi sekat-sekat pemisah antarparpol, yang diperlukan saat ini hanyalah keberanian untuk memutuskan siapa teman koalisinya. ”Tinggal kita bicaranya (koalisi) sekarang atau setelah pemilu legislatif.”
Tokoh PKS yang juga Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, menambahkan, sesuai UU, semua parpol memperoleh perlakuan sama. Tak ada pembedaan berdasarkan ideologi partai, baik untuk parpol Islam maupun nasionalis. ”Sekarang bukan waktunya lagi mempertentangkan partai berdasarkan asas Pancasila atau Islam,” katanya.
Platform parpol, sebenarnya banyak yang bersinggungan. Hanya ada penekanan tertentu, misalnya, di bidang ekonomi, umat, dan lainnya. ”Tidak lagi dikotomi antara yang membahayakan dan tidak membahayakan NKRI,” kata Hidayat.
Semakin cairnya hubungan antara Islam dan nasionalis ini, dinilai Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar, merupakan bentuk kedewasaan berpolitik. Setelah melalui perjalanan sejarah yang sangat panjang sejak zaman para Wali, ajaran Islam kini telah beradaptasi dengan kekayaan budaya lokal.
”Sekaranglah masa pematangan hubungan Islam dan nasionalis,” kata Muhaimin yang juga wakil ketua DPR. Perubahan konstelasi kehidupan berpolitik ini menciptakan koalisi parpol yang jauh lebih mudah antara nasionalis dan Islam.
Untuk itu, dia mengakui koalisi saat ini lebih pada kepentingan pragmatis. ”Koalisi hendaknya dibangun dengan mempertimbangkan agenda politik yang berbasis ideologi.”
Pendiri Partai Hanura, Wiranto, mengingatkan, koalisi lebih tepat bicara tentang kesamaan program, bukan bagi-bagi kekuasaan. ”Bagaimana program, visi, misi dalam membangun pemerintahan yang sama.”
Seperti halnya Muhaimin dan Wiranto, capres yang dijagokan PBB, Yusril Ihza Mahendra, mengingatkan supaya konsep berkoalisi diperjelas sedari awal. Jangan sampai terulang, katanya, koalisi yang terbentuk lebih dulu, justru ditinggal presiden atau wapres yang diusungnya.***
No comments:
Post a Comment