Friday, October 31, 2008

Khilafah Eksis Hanya 30 Tahun?

Kebutuhan akan tegaknya kembali Negara Khilafah semakin terasa, dan kini banyak umat Islam yang menyerukan hal tersebut. Namun beberapa kalangan menyatakan bahwa Negara Khilafah hanya sempat bertahan selama 30 tahun, dan kemudian lembaga setelahnya tidak pantas disebut Khilafah. Apakah pandangan ini memiliki landasan dalam pandangan Islam? Dan adakah justifikasi yang valid untuk tidak menegakkan Negara Khilafah di masa sekarang ini hanya karena adanya anggapan bahwa Khilafah hanya berlangsung selama 30 tahun?

Tidak diragukan lagi bahwa Negara Islam yang didirikan oleh Rasulullah Muhammad al-Mustafa saw di Madinah terus hidup hingga kehancurannya di tangan Mustafa Kamal Ataturk pada 3 Maret 1924. Kelangsungan sistem pemerintahan Islam, yakni sistem Khilafah, sejak masa Khulafaur Rasyidin dibuktikan oleh kenyataan dan naskah-naskah sejarah. Dalam konteks sejarah, kita harus mengingat struktur dalam sistem pemerintahan agar kita dapat mengkaji dengan baik apakah negara itu memang ada atau tidak. Struktur tersebut didasarkan kepada beberapa pilar, yakni Khalifah –sebagai kepala negara, Para Pembantu Khalifah (Mu’awin Tafwidl), Para Pelaksana Tugas dari Khalifah (Mu’awin Tanfidz), Amir Jihad, Para Gubernur (Wulat), Para Hakim (Qadhi), Departemen-departemen Negara, dan Majelis Negara (Majelis al-Ummah). Bila kita melakukan kajian sejarah, maka dapat kita lihat bahwa seluruh lembaga, kecuali Syura, tetap ada selama berabad-abad hingga kehancurannya di tahun 1924. Ketiadaan atau ketidakberdayaan lembaga Syura pasca masa Khulafaur Rasyidin tidak berarti bahwa sistem pemerintahan berubah, karena pemerintahan tetap dapat terlaksana tanpa adanya lembaga Syura, walau mendirikan lembaga tersebut merupakan hak setiap Muslim. Selama beberapa periode dalam sejarah, dimana tidak ada Khalifah karena terjadinya perang saudara atau pendudukan oleh tentara asing, Negara Khilafah tetap ada, karena struktur lainnya tetap ada.

Mengenai pandangan bahwa telah berlangsung sistem monarki (karajaan), memang benar bahwa bai’at –sebagai proses dalam pengangkatan Khalifah- telah disalahgunakan, namun hal tersebut tidak pernah mempengaruhi kelangsungan Negara Khilafah. Hal ini karena sekalipun seorang Khalifah meminta rakyat untuk membai’at puteranya sebelum ia mangkat, proses bai’at itu sendiri tetap ada dan berlangsung. Bai’at ini biasanya diberikan oleh kalangan berpengaruh atau perwakilan rakyat (Ahlul Halli wal ‘Aqdi), atau sebagaimana kita saksikan pada masa selanjutnya, dilakukan oleh Syaikhul Islam.

Jumhur ulama sepakat bahwa Khilafah tetap berdiri setelah berlalunya era Khulafaur Rasyidin, walau beberapa kalangan dari golongan Salafi tidak mengakui diberikannya gelar Khalifah kepada para penguasa berikutnya, karena hadits berikut yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi yang menerima dari Safinah, bahwa Rasulullah aaw bersabda:

“Khilafah di tengah kaumku setelah aku akan berlangsung selama 30 tahun. Kemudian akan ada Mulkan Aduudan (Penguasa Monarki) setelahnya”.

[Narasi yang sama dapat ditemukan dalam Sunan Abu Dawud (2/264) dan Musnad Ahmad (1/169)]

Menurut tafsiran jumhur ulama, hadits ini tidak berarti bahwa Negara Khilafah langsung lenyap setelah tiga puluh tahun, karena hal itu berarti bertentangan dengan nash lainnya.

Jabir bin Samurah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Islam akan tetap ada hingga Hari Akhir terjadi, atau saat kalian telah diperintah oleh dua belas Khalifah, mereka semua dari golongan Quraisy”. [Shahih Muslim].

Hadits ini mengindikasikan bahwa umat tidak akan hanya memiliki empat atau lima Khalifah, ini berarti Khilafah tidak hanya akan berlangsung selama tiga puluh tahun. Sehubungan dengan hadits ini, Qadhi Iyad berkata:

‘…Dijelaskan dalam hadits lainnya, ‘Khilafah setelahku akan berlangsung selama tiga puluh tahun, kemudian akan ada penguasa monarki’ Hadits ini tentu bertentangan dengan hadits yang menyebut ada dua belas Khalifah, karena dalam masa tiga puluh tahun hanya ada Khulafaur Rasyidin dan beberapa bulan saat bai’at diberikan kepada Hasan bin Ali. Jawabannya ialah: Apa yang dimaksud dengan ‘Khilafah akan berlangsung selama tigapuluh tahun’ adalah Khilafah Nubuwwah (Khilafah yang berlandaskan kenabian…)’ [Sebagaimana dikutip oleh an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, 1821]

Sementara dalam hal rujukan pada dua belas Khalifah yang dimaksud, tidak berarti bahwa Khalifah hanya terbatas pada dua belas orang, sebagaimana dijelaskan oleh Qadhi ‘Iyad:

Mungkin apa yang dimaksud dengan dua belas Khalifah dalam hadits ini dan hadits lain yang sejenis ialah bahwa mereka adalah para Khalifah pada masa terkuat Khilafah, Kekuasaan Islam, saat segala urusan dijalankan dengan benar dan rakyat bersatu di bawah mereka yang menduduki jabatan Khalifah.’ [Tarikh al-Khulafa, karya Imam as-Suyuthi, p.14].

Ibnu Hajar dalam syarah al-Bukhari berkata:

Apa yang dikatakan oleh Qadhi Iyad merupakan pendapat terbaik diantara pendapat lain yang mengomentari hadits yang sama. Saya kira inilah pendapat terkuat karena didukung oleh sabda Nabi saw melalui sanad yang jelas: ‘Dan umat akan bersatu di bawah mereka…’ (Fathul Baari).

Kemudian Ibnu Hajar memberikan sebuah perhitungan historis tentang bagaimana umat berkumpul dan bersatu di bawah para Khalifah setelah berlalunya era Khulafaur Rasyidin. Ia mengemukakan bagaimana kecintaan umat terhadap Khalifah Umar bin Abdul Aziz, dan ia bahkan mengatakan, ‘Khulafa Bani Abbas’, yakni maksudnya para Khalifah dari golongan Abbasiyah.

Saifuddin al-Amidi, salah seorang ulama Syafi’i terkemuka dan pakar ilmu ushul, menuliskan dalam kitab al-Imamah min Abkar al-Afkar fi Ushuluddin (hal.306):

‘Dan beliau saw mengatakan: “Khilafah di tengah kaumku setelah aku akan berlangsung selama 30 tahun. Kemudian akan ada Mulkan Aduudan (Penguasa Monarki) setelahnya.” Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Khilafah hanya terbatas pada Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, ra.) saja karena Khilafah hanya berlangsung tiga puluh tahun seperti dikatakan Nabi saw. Tidak ada pula hadits yang mengatakan bahwa tidak akan ada Khalifah setelah era Khulafaur Rasyidin. Apa yang dimaksud: ‘Khilafah setelahku’ bermakna tanggung jawab Imamah dengan mengikuti Sunnahku, tidak kurang atau lebih, ‘akan berlangsung selama tigapuluh tahun’, bertentangan dengan masa setelah itu, saat pemerintahan umumnya dipegang para raja.

Terlepas dari hal tersebut, kontinuitas Khilafah diindikasikan oleh dua hal berikut ini:

Pertama: Ijma di kalangan umat pada setiap zaman, yang mengakui kewajiban untuk mengikuti seorang Imam pada zamannya, dan bahwa Imam serta Khalifah wajib dipatuhi.

Kedua: Beliau saw bersabda: ‘Kemudian akan ada (tasiru) kerajaan (mulkan)’. Pronomina persona (dlamir) dalam frasa ‘tasiru mulkan’ merujuk pada Khilafah. Ini karena apa yang disebutkan (verba) tidak dapat dirujukkan kepada hal lainnya selain Khilafah, seperti dalam kalimat ‘kemudian Khilafah berubah menjadi kerajaan (Mulk)’. Kalimat ini menunjukkan bahwa Khilafah akan menjadi kerajaan. Hal yang menjadi rujukan dalam kalimat perlu disebut langsung di dalam kalimatnya. Pada poin pertama, Imam Amidi menjelaskan bahwa umat menyepakati, dan ini tentu berdasarkan pada nash, bahwa Imam pada setiap zaman harus ditaati dan karena itu, seseorang tidak dapat begitu saja berpendapat bahwa hadits tersebut hanya terbatas pada Khilafah setelahnya. Dan argumen kedua berlandaskan pada ilmu linguistik, hadits tersebut menyatakan suatu perubahan aspek Khilafah, bukan Khilafah itu sendiri. Bunyinya sama seperti kalimat ‘dan kemudian Tariq menjadi marah’, perubahan sifat Tariq pada keadaan marah tidak lantas mengubah nama Tariq menjadi Ali atau Umar. Tariq tetaplah Tariq, namun sifatnya saat itu berubah menjadi sedang marah. Hal yang sama dapat dilihat pada kalimat hadits: ‘tsumma tasiiru mulkan’ (dan kemudian itu menjadi kerajaan) tidak berarti bahwa hal itu bermakna Khilafah lenyap. Bahkan dalam salah satu narasi, hadits tersebut berbunyi: ‘Khilafah berdasarkan kenabian akan berlangsung selama tiga puluh tahun, kemudian itu menjadi kerajaan.’ Dengan kata lain, apa yang lenyap ialah Khilafah yang berdasarkan kenabian, yakni Khilafah yang sempurna, bukan Khilafah itu sendiri!

Mengomentari pendapat bahwa para penguasa setelah Ali ra adalah para raja, Imam at-Tafthazani berkata, ‘Ini masalah yang pelik, karena dewan perwakilan umat (Ahlul Halli wal ‘Aqdi) yang mewakili umat Islam tetap ada di zaman Khilafah Abbasiyah dan pada masa beberapa Khalifah Bani Marwan, semacam Umar bin Abdul Aziz misalnya. Mungkin maknanya di sini (merujuk pada hadits bahwa Khilafah hanya berlangsung 30 tahun) ialah selain dari Khilafah yang sempurna, dimana tidak ada perbedaan (pendapat) atau penentangan tentangnya (Khalifah yang benar) akan berlangsung selama tiga puluh tahun, dan mungkin setelahnya akan ada atau akan tidak ada Khilafah…Bila perbedaan terjadi setelah masa Khilafah tiga puluh tahun, maka setelah masa urutan dari Khulafaur Rasyidin, umat Islam tidak akan memilih pemimpin dan tidak akan patuh hingga mereka wafat tanpa berbai’at, maka kami kira telah dikemukakan bahwa apa yang dimaksudkannya ialah Khilafah yang sempurna.’

Seperti kita ketahui, seseorang yang mati tanpa berbai’at pada Khalifah maka matinya sama dengan mati jahiliyah, jadi bagaimana nasib umat setelah 30 tahun berlalu? At-Tafthazani menanggapi hal ini dengan mengatakan bahwa umat pada masa itu tidak berdosa, karena hadits hanya merujuk pada Khilafah yang sempurna.

Imam Jalaluddin as-Suyuti (911 H) dalam kitabnya Tarikh al-Khulafa (Sejarah Para Khalifah) menuliskan sejarah para Khalifah hingga wafatnya Khalifah Mutawakkil Abul ‘Izz pada 903 H dan pengangkatan puteranya, al-Mustamsik Billah. Ia menuliskan dalam pengantar kitab tersebut: ‘Inilah sejarah singkat yang berisi biografi para Khalifah, para Amirul Mukminin, yang menjadi pelayan umat sejak masa Abu Bakar as-Siddiq ra hingga saat ini’. Dan saat itu adalah 900 tahun setelah Hijrah!

Para ulama terkemuka sepanjang zaman memiliki hubungan baik dengan para Khalifah, seperti Abu Hanifah dan al-Mansur, atau ada pula yang bekerja untuk para Khalifah, seperti Qadhi Abu Yusuf yang menjadi Qadhi Qudhat (Kepala Hakim) di bawah kepemimpinan Khalifah Harun ar-Rasyid, atau mereka ikut berpartisipasi dalam pembai’atan Khalifah, seperti Imam Izz bin Abdussalam, yang memberikan bai’at kepada Mustansir Billah setelah kekalahan pasukar Tatar.

Saat menjelang akhir Khilafah Utsmaniyah, dimana kekuatan-kekuatan kafir besar berkonspirasi melawannya, Syaikhul Hindi, Maulana Mahmud Hasan (yang kemudian menjabat sebagai Kepala Darul ‘Ulum Deoband serta merupakan murid langsung dari Maulana Qasim Nanautavi, pendiri Darul ‘Ulum) pada tahun 1920, mengeluarkan fatwa tentang wajibnya menyelamatkan Khilafah Utsmaniyah dari serangan musuh-musuh Islam.

Sang Maulana yang terhormat berkata: ‘Musuh-musuh Islam tidak meninggalkan secuil batu pun untuk digunakan menyerang kehormatan dan kejayaan Islam. Irak, Palestina, dan Suriah yang dibebaskan dengan susah payah oleh para sahabat Nabi dan pengikutnya dengan pengorbanan yang begitu besar, telah menjadi target rebutan para musuh Islam. Kehormatan Khilafah sedang terancam. Khalifatul Muslimin, yang biasanya menyatukan seluruh umat di planet ini, yang merupakan wakil Allah di bumi ini; menerapkan hukum-hukum Islam, melindungi hak dan kepentingan umat Islam, menyebarkan dan menjaga kesucian firman Allah di seisi semesta, telah dikepung dan dilemahkan oleh para musuh.’ [dari Fatwa Syaikhul Hindi Maulana Mahmud Hasan, 16 Safar 1339 H, 29 Oktober 1920 M, halaman 78 dalam terjemahan bahasa Inggris 'The Prisoners of Malta' karya Maulana Syed Muhammad Mian, diterbitkan oleh Jamiat Ulama-I-Hind]

Selain itu, Maulana Muhammad Ali Jauhar, pendiri Jami’atul Khilafah berkata tentang Khilafah: ‘Sultan Turki adalah Khalifah pengganti Nabi serta Amirul Mukminin, pemimpin orang-orang beriman, dan Khilafah sendiri merupakan wujud keberagamaan kita sebagaimana digariskan oleh Qur’an dan Sunnah Nabi Saw.’ [Jauhar, Muhammad Ali, My Life a Fragment, hal.41].

Maulana Abul Kalam Azad pun menulis buku pada tahun 1920 yang berjudul ‘The Issue of Khilafat’. Dalam buku itu ia mengatakan: ‘Eksistensi Islam tidak akan berlangsung tanpa adanya Khilafah. Umat Islam India dengan segala upaya dan kekuatan yang dimilikinya harus berjuang demi tegaknya Khilafah.’ Dalam buku tersebut, beliau menuliskan daftar para Khalifah Islam sejak zaman Abu Bakar ra hingga saat ia menuliskan buku tersebut.

Jadi, kita bisa melihat bahwa para ulama sangat memiliki kepedulian pada upaya menjaga kontinuitas Khilafah hingga akhir zaman.

Berlangsungnya kewajiban menjaga Negara Khilafah setelah masa Khulafaur Rasyidin merupakan pilar ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, dan karenanya at-Tafthazani (yang kebetulan adalah ulama Syafi’i) dalam Syarah Aqidah karya Imam an-Nasafi (seorang ulama Hanafi) berkata: ‘Hal yang dapat disepakati adalah kewajiban untuk mengangkat seorang Imam. Perbedaan opini adalah pada masalah apakah pengangkatan harus dilakukan oleh Allah atau makhluk-Nya, dan apakah landasan ini [untuk pengangkatan] berdasarkan nash atau akal. Pendapat yang benar adalah makhluk harus mengangkat seorang Khalifah, karena sabda Nabi saw, ‘Siapapun yang mati tanpa berbai’at pada Khalifah maka matinya sama dengan mati jahiliyah.’

At-Tafthazani juga berkata: ‘Umat Islam harus memiliki seorang Imam, yang akan mengurusi segala urusan mereka, memelihara mereka dari apa yang diharamkan, memimpin mereka dalam peperangan, mempersenjatai mereka, menerima pengaduan mereka, menghukum mereka yang berlaku tidak adil, mencuri, dan merugikan orang lain, memimpin shalat Jum’at dan hari raya, menyelesaikan sengketa di antara makhluk, menerima bukti-bukti berdasarkan hukum, menikahkan para pemuda dan perempuan yang tidak memiliki wali, membagi harta, dan hal-hal lain semacam ini yang tidak dapat diselesaikan oleh orang-orang yang telah dipercaya menyelesaikannya.’ [Syarah ‘Aqidah an-Nasafiyyah, hal.147]

Apa yang dikatakan Imam at-Tafthazani digolongkan sebagai apa yang disepakati golongan Ahlussunnah wal Jamaah, dan nukilan kewajiban mengangkat Khalifah di atas cukup jelas, terlepas dari interpretasi sejarah manapun yang diyakini.

No comments: