SOAL :
Ustadz, apa hukumnya ikut upacara bendera dan menjadi pembina upacara?
JAWAB :
Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada sebuah kaidah fikih yang mesti dipahami. Kaidah itu ialah "al-wasilah ila al-haram haram" (segala perantaraan yang membawa pada yang haram, hukumnya haram juga) (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, III/440).
Kaidah fikih ini berarti, tatkala syariah mengharamkan sesuatu, maka syariah juga mengharamkan segala wasilah (perantaraan/jalan/sarana) yang kemungkinan besar (ghalabathuzh zhann) akan mengakibatkan munculnya sesuatu yang haram itu. Segala perantaraan itu hukumnya jadi haram, baik ia berupa perbuatan (al-af’aal) maupun benda (al-asy-yaa`), meskipun tidak terdapat nash syar’i khusus yang mengharamkannya.
Contohnya, syariah telah mengharamkan zina (QS 17:32). Maka haram pula segala macam perantaraan yang diduga kuat akan menimbulkan zina, seperti menyewakan kamar atau rumah kepada bukan suami-isteri. Contoh lainnya, syariah telah mengharamkan khamr (QS 5:90). Maka haram pula segala macam perantaraan yang kemungkinan besar akan mengakibatkan konsumsi khamr, seperti menjual buah-buahan atau biji-bijian tertentu kepada pihak yang diketahui akan mengolahnya menjadi khamr.
Seperti diketahui, Islam telah mengharamkan perbuatan menyeru kepada ashabiyah. Ashabiyah adalah segala fanatisme golongan/kelompok, seperti fanatisme kesukuan, fanatisme mazhab, fanatisme kebangsaan (nasionalisme), dan sebagainya. Rasulullah SAW bersabda,"Bukan termasuk golongan kami, siapa saja yang menyeru kepada ashabiyah." (HR Abu Dawud, hadits hasan) (Imam Suyuthi, Al-Jami’ush Shaghir, II/138).
Maka dari itu, haram juga hukumnya segala macam jalan atau sarana yang mengantarkan pada perbuatan menyeru kepada ‘ashabiyah, seperti upacara bendera atau menjadi pembina upacara. Sebab upacara bendera yang dilaksanakan di Dunia Islam saat ini, tiada lain adalah sarana atau jalan untuk menyeru dan menanamkan paham nasionalisme. Padahal Islam tidak pernah mengajarkan dan membenarkan paham nasionalisme. Paham nasionalisme sebenarnya berasal dari negara-negara kafir penjajah. Paham ini sengaja dihembuskan kepada Dunia Islam untuk memecah belah kaum muslimin yang sebelumnya bersatu dalam satu kekhilafahan (Taqiyuddin an-Nabhani, Piagam Umat Islam, hal. 20-22).
Akan tetapi jika terdapat paksaan (ikrah), syara’ memberikan rukhshah (keringanan). Tidak apa-apa melaksanakan upacara bendera jika terdapat paksaan selama hati kita tetap tidak setuju.
Rasulullah SAW pada saat masih di Makkah (sebelum hijrah) seringkali terpaksa menerima kondisi yang ada, walau pun kondisi itu bertentangan dengan Islam. Saat itu, di sekitar Ka’bah terdapat banyak sekali berhala-berhala sesembahan kafir Quraisy. Rasulullah SAW tidak melakukan tindakan apa-apa, lantaran beliau dalam kondisi tertindas dan dipaksa oleh sistem jahiliyah.
Rasulullah SAW bersabda,"Sesungguhnya Allah telah memaafkan dari umatku tindakan yang tersalah (tidak sengaja), lupa, dan yang mereka dipaksa melakukannya." (HR Ibnu Majah & al-Baihaqi). Wallahu a'lam [ ]
No comments:
Post a Comment