Tuesday, August 5, 2008

"MENERJEMAHKAN ITU BAGIAN DARI DAKWAH, BUKAN SEKEDAR MENCARI NAFKAH."

Pengantar Redaksi :

Berikut ini wawancara Dien Nur Chotimah, mahasiswi UIN Malang Jurusan Bahasa Arab, dengan ustadz M. Shiddiq al-Jawi seputar penerjemahan, pada pertengahan Nopember 2006. Wawancara tertulis via e-mail ini bermula dari tugas mata kuliah Tathbiq Tarjamah (Praktik Penerjemahan) yang diambil oleh mahasiswi tersebut. Tugas ini mengharuskannya untuk mewawancarai seorang penerjemah yang karya terjemahannya pernah dipublikasikan atau diterbitkan.

Sebagaimana diketahui, M. Shiddiq al-Jawi sejak tahun 1996 sampai 2006 telah menghasilkan 10 karya terjemahan dan 6 karya suntingan dari kitab-kitab berbahasa Arab (lihat daftar karyanya pada appendix di bawah). Hampir semua karya tersebut (kecuali satu karya) telah diterbitkan dan dinikmati masyarakat, khususnya aktivis Hizbut Tahrir Indonesia.

Namun, ada hal-hal seputar proses kreatif yang tidak terekspos di balik karya-karya terjemahan tersebut. Perihal motivasi menerjemahkan, bekal-bekal teknis yang diperlukan, kesulitan-kesulitan yang dihadapi, hubungan dengan penerbit, umpamanya, merupakan sebagian aspek yang tidak banyak diketahui publik.

Maka dari itu, walaupun wawancara ini awalnya hanya untuk kepentingan kuliah dari mahasiswi yang bersangkutan, bukan untuk konsumsi publik, namun kiranya layak pula isinya diketahui publik. Redaksi www.khilafah1924.org telah mengedit hasil wawancara ini dan menayangkannya untuk publik. Semoga bermanfaat (Redaksi).

Ustadz, bisa diceritakan bagaimana awalnya ustadz tertarik menjadi penerjemah?

Saya sebetulnya tidak pernah bercita-cita menjadi penerjemah. Tapi keterlibatan saya dalam dakwah Islam bersama Hizbut Tahrir (HT) sejak 1989, membuat saya tertarik bahkan terpanggil untuk menjalankan tugas terjemahan. Jadi, awalnya, sekitar tahun 1993 atau 1994, saya mulai menerjemahkan nasyrah-nasyrah (selebaran) yang dikeluarkan HT. Itu awalnya. Saya menerjemahkan, lalu hasilnya diteliti dan dikoreksi oleh Ustadz Abdurrahman al-Baghdadi, perintis HT di Indonesia. Setelah dikoreksi, naskahnya lalu diperbanyak untuk para aktivis HTI. Kurang lebih ada 20 sampai 30 nasyrah HT yang sudah saya terjemahkan untuk kurun 1994-1998. Penerjemahan satu nasyrah yang hanya 3-4 lembar ini secara tidak saya sadari merupakan latihan untuk menerjemahkan kitab yang lebih banyak halamannya, di kelak kemudian hari.

Maka sekitar tahun 1996, saya mulai menerjemahkan kitab-kitab yang dikeluarkan HT. Terjemahan saya yang pertama kalau tidak salah adalah kitab Demokrasi Sistem Kufur (Al-Dimuqrathiyah Nizham Kufr) karya Abdul Qadim Zallum (pemimpin HT saat itu). Disusul karya-karya lain. Namun seingat saya, tahun 1992, saya sudah menerjemahkan kitab Garis-Garis Besar Politik Internasional (Al-Khuthuth Al-‘Aridhah fi Al-Siyasah Al-Dauliyah), tapi terjemahannya tidak diterbitkan, hanya untuk keperluan terbatas saja. Kitab ini ditulis juga oleh Abdul Qadim Zallum. Saya memang banyak menerjemahkan kitab-kitab Syaikh Abdul Qadim Zallum, sekitar 6 atau 7 kitab, sehingga sampai hafal gaya bahasa dan retorikanya.

Apa motivasi Ustadz menjadi penerjemah?

Motivasi awalnya jelas adalah motivasi dakwah, bukan motivasi lainnya. Kalau pun kemudian penerjemahan ternyata bisa menjadi sumber pendapatan, saya tetap menomor satukan misi dakwah. Jadi, bagi saya, menerjemahkan itu bagian dari dakwah, bukan sekedar mencari nafkah. Saya hanya mau menerjemahkan kitab yang sejalan dengan misi dakwah Islam yang sudah mendarah daging dalam jiwa saya. Tapi tidak selalu kitab dari HT. Saya pernah menerjemahkan kitab karya Syaikh Ali Belhaj, pemuka FIS (Front Islamic du Salut) Aljazair. Kitabnya tipis, tapi sangat penting dan sejalan dengan misi dakwah HT, berjudul Mengembalikan Khilafah Kewajiban Terbesar dalam Islam. Ini sudah diterbitkan tahun 2001.

Jadi sekali lagi, motivasi utama saya menjadi penerjemah, adalah motivasi dakwah. Kalau itu ternyata bisa menghasilkan rizki, ya alhamdulillah, tapi ini hanya sekunder saja. Dalam hal ini saya berprinsip seperti ungkapan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya at-Takattul al-Hizby, bahwa dakwah haruslah menjadi poros utama dari segala kegiatan kita. Artinya segala aktivitas dan kepentingan kita, seperti bekerja mencari nafkah, haruslah tetap meletakkan dakwah sebagai pertimbangan utamanya.

Modal atau bekal apa saja yang dibutuhkan dalam penerjemahan?

Dari pengalaman saya, ada dua bekal utama dan satu bekal tambahan. Modal utamanya ada dua : pertama, modal bahasa, baik bahasa Arab (bahasa asal) maupun bahasa Indonesia (bahasa sasaran). Kedua, modal berupa pengetahuan atau informasi terdahulu mengenai topik yang sedang diterjemahkan. Mengenai bahasa Arab, minimal ada dua bekal, satu, bekal berupa kaidah-kaidah ilmu nahwu dan shorof. Lebih sempurna lagi kalau kita membekali diri dengan ilmu balaghah yang mencakup ilmu bayan, badi’ dan maa’ni. Modal bahasa Indonesia, juga mutlak. Kita harus tahu gramatika bahasa Indonesia, gaya bahasa dalam sastera bahasa Indonesia, termasuk EYD. Saya juga membaca sastera Indonesia, seperti cerpen di koran, untuk melatih cita rasa (dzauq) saya dalam bahasa Indonesia. Dua, bekal berupa kosakata atau mufradaat. Berarti di sini kita harus punya kitab kamus yang bagus dan memadai. Baik kamus bahasa Arab maupun kamus bahasa Indonesia. Tentu bagi seorang penerjemah tidak cukup dengan Kamus Bahasa Arab karya Mahmud Yunus yang tipis itu. Minimal ya kamus Al-Munawwir karya Ahmad Warson al-Munawwir atau kitab Kamus Kontemporer (Qamush Al-‘Ahry) karya Attabik Ali. Lebih baik lagi kalau menggunakan kamus eka-bahasa (Arab-Arab) misalnya kamus al-Mu’jamul Wasith karya Ibrahim Anis dkk. Yang sering saya gunakan adalah kamus Al-Munawwir dan al-Mu’jamul Wasith. Untuk kamus bahasa Indonesia, saya sering pakai Kamus Umum Bahasa Indonesia karya Poerwadarminta.

Sedang modal informasi terdahulu, juga mutlak adanya dalam penerjemahan. Sebagai contoh, saya pernah menerjemahkan kitab tentang pasar modal dan kloning. Ternyata proses penerjemahannya tidak mudah, bahkan sulit, karena saya tidak punya wawasan cukup tentang pasar modal. Setelah saya membaca buku khusus tentang pasar modal, barulah saya agak lancar menerjemahkan kitab karya Abdul Qadim Zallum Hazzat Al-Aswaq Al-Maliyah Asbabuha wa Hukm Al-Syar’i li Hadzihi Al-Asbab, tahun 1998. Tentang kloning, saya telah menerjemahkan kitab Hukm Al-Syar’i fi Al-Istinsakh, juga karya Abdul Qadim Zallum. Untuk kitab tentang kloning ini, alhamdulillah, saya tidak perlu persiapan khusus. Karena informasi terdahulunya secara umum sudah saya pelajari di kuliah. Saya dulu kan kuliahnya di Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, IPB. Jadi masalah reproduksi manusia, termasuk rekayasa genetika, sudah pernah saya dapatkan di bangku kuliah. Tapi intinya tetap sama, untuk menerjemahkan tidak cukup hanya bekal bahasa saja, tapi juga harus punya pengetahuan tentang topik yang sedang diterjemahkan.

Itulah dua bekal utama yang harus ada dalam penerjemahan. Ada satu bekal lagi, yang sifatnya tambahan. Yaitu bimbingan dari pakar. Alhamdulillah, dalam proses penerjemahan yang saya lakukan, ada pakar bahasa Arab dan penerjemahan yang membimbing saya di awal-awal karir saya sebagai penerjemah. Mereka-lah yang memperbaiki kesalah-kesalahan saya atau menyempurnakan hasil terjemahan saya yang kurang tepat. Selain ustadz Abdurrahman al-Baghdadi, saya juga dibimbing dan dimotivasi oleh penerjemah senior saya dari HTI, yaitu Ustadz Nurkhalish ar-Rasyid. Dengan adanya bimbingan para pakar ini, bekal bahasa dan informasi terdahulu tadi akan semakin dapat berfungsi dengan optimal.

Darimana Ustadz mendapat bahan/nash berbahasa Arab untuk diterjemahkan?

Kebanyakan dari senior saya di HTI, khususnya yang menangani masalah penerjemahan, seperti Ustadz Nurkhalish ar-Rasyid. Kadang juga dari teman yang mendapatkan kiriman kitab-kitab dakwah dari Timur Tengah. Kini HTI telah mempunyai divisi khusus yang menangani penerjemahan dan penerjemahan kitab-kitab resmi HT, yaitu HTI Press, perkembangan dari Pustaka Thariqul Izzah. Penerbit Pustaka Thariqul Izzah ini, dulunya juga bagian HTI tapi sifatnya lebih umum, menerbitkan dan penerjemahan kitab-kitab resmi HT dan juga kitab-kitab lainnya. Kalau HTI Press, khusus kitab-kitab HTI saja. Belakangan ini saya mendapat naskah untuk diterjemahkan atau diedit dari direktur HTI Press, yaitu Ustadz Anwar Iman.

Apakah ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam proses penerjemahan?

Kesulitan pasti ada. Umumnya ada dua kesulitan yang saya hadapi, pertama, kesulitan menyangkut kosakata tertentu yang langka atau jarang dipakai. Kedua, kesulitan dalam memahami topik tertentu yang kurang akrab dengan wawasan kita.

Ketika saya menerjemahkan kitab Mafahim Siyasiyah li Hizb Al-Tahrir (2006), umpamanya, saya mendapatkan satu kata sulit yang merupakan nama perjanjian di Eropa pada Abad Pertengahan. Saya sampai setengah mati mencari nama aslinya dalam ejaan latinnya. Dalam ejaan Arab, kata itu tertulis dan terbaca : ikslaasyabil. Bingung juga saya menghadapi kata itu. Apa ejaan latinnya? Tak hanya berjam-jam, tapi berhari-hari saya gagal memecahkan teka-teki itu. Alhamdulillah, dari penelusuran cukup lama dari internet, akhirnya ketemu juga ejaan latinnya, yaitu: Aix-la-chapelle.

Untungnya, komputer yang saya pakai menerjemahkan di kantor HTI Press Bogor, ternyata tersambung on-line dengan internet selama 24 jam. Ini sangat membantu saya. Jadi, sambil saya melanjutkan terjemahan, saya masukkan berbagai-bagai kata kunci pada search engine (biasanya www.google.com) untuk mencari ejaan latin dari ikslaasyabil tadi. Walhasil, adanya komputer yang on-line untuk internet sudah saatnya menjadi tambahan modal teknis yang handal untuk proses penerjemahan, selain modal-modal yang saya sebutkan tadi.

Kesulitan kedua adalah sulitnya memahami topik yang tidak akrab dengan wawasan kita. Saya pernah mengalaminya ketika saya menerjemahkan kitab tentang pasar modal tahun 1998. Alhamdulillah ini teratasi dengan membaca literatur khusus tentang pasar modal. Tahun 2006, saya juga banyak menjumpai kesulitan menerjemahkan kitab Mafahim Siyasiyah li Hizb Al-Tahrir tadi. Khususnya, yang menyangkut peristiwa-peristiwa politik yang telah menjadi sejarah lama. Peristiwa-peristiwa politik di Timur Tengah tahun 50-an dan 60-an misalnya, banyak yang tidak saya ketahui. Dalam hal ini saya banyak dibantu oleh internet yang on-line 24 jam tadi, selain buku-buku politik lama, seperti karya M. Nur El-Ibrahimy, yang berjudul Catur Politik Imperialis di Negara-Negara Islam Timur Tengah, (Bandung : NV Almaarif, 1955).

Di luar kesulitan-kesulitan tadi, ada kesulitan lain. Tapi saya kira sifatnya teknis. Kelemahan saya, saya kurang bisa konsentrasi kalau suasana sekitar saya ramai atau hingar bingar. Kalau suara TV atau musik yang sayup-sayup, masih bisalah ditolerir. Tapi kalau ada bayi nangis misalnya, waaah... bisa buyar konsentrasi saya. Kerja jadi nggak fokus lagi. Saya juga kurang bisa konsentrasi kalau saat menerjemahkan, ada tugas-tugas lainnya. Jadi, saya perlu waktu khusus yang memang tidak ada tugas yang harus saya kerjakan, kecuali menerjemahkan.

Bisa diceritakan bagaimana hasil terjemahan Ustadz mulai diterbitkan?

Seperti saya katakan tadi, tugas terjemahan yang saya kerjakan erat kaitannya dengan aktivitas dakwah saya di HTI. Jadi, awalnya ya saya diberi tugas oleh Ustadz Abu Fuad, senior saya di HTI yang mengurus penerjemahan dan penerbitan kitab-kitab HTI. "Nih, kitab ini kamu terjemahkan," kata beliau. Lalu jadilah karya-karya awal saya yang diterbitkan oleh Pustaka Thariqul Izzah, seperti kitab Serangan Amerika Untuk Menghancurkan Islam (1996) dan kitab Demokrasi Sistem Kufur (1997). Keduanya karya Abdul Qadim Zallum. Itulah awal mulanya penerbitan karya-karya terjemahan saya.

Lalu bagaimana awalnya Ustadz mengenal dunia penerbitan? Apakah Ustadz menawarkan ke penerbit atau ada yang menghubungkan ke penerbit? Atau penerbit yang meminta kepada Ustadz?

Sebagian besar karya saya adalah penugasan dakwah dari HTI. Artinya, bagian penerbitan kitab-kitab HTI memberi tugas kepada saya untuk menerjemahkan suatu kitab tertentu.

Ada memang kitab yang saya terjemahkan atas inisiatif sendiri, lalu saya tawarkan kepada penerbit umum, bukan penerbit HTI. Tapi ini hanya beberapa kitab saja. Misalnya kitab Hukm Al-Syar’i fi Al-Istinsakh karya Abdul Qadim Zallum tentang hukum kloning. Buku ini telah diterbitkan oleh penerbit Al-Izzah, Bangil, tahun 1997.

Untuk model yang kedua ini, memang ada kebanggaan tersendiri. Artinya, karya kita adalah hasil inisiatif kita, bukan dari penugasan. Tapi ada risikonya juga. Saya dan seorang teman dari IAIN Yogya pernah menerjemahkan kitab Naqdh al-Isytirakiyah al-Marksiyah karya Syaikh Ghanim Abduh. Ini buku HT yang mengkritik Marxisme. Kami sudah rampung menerjemahkannya. Benar-benar rampung 100 %. Tapi saat mau ditawarkan ke penerbit, ternyata kami keduluan oleh penerjemah lain. Ternyata pada saat itu, penerbit Al-Izzah Bangil sudah menerbitkan hasil terjemahan kitab itu. Kitab itu telah lebih dulu diterjemahkan oleh Ustadz Hafizh Abdurrahman, seorang penerjemah yang juga banyak menerjemahkan kitab-kitab HT. Yah, apa boleh buat. Namun kami tidak menyesal. Tidak kapok. Kami anggap itu latihan menerjemahkan yang suatu saat tetap berguna bagi kami.

Berapa lama waktu rata-rata yang Ustadz butuhkan untuk menyelesaikan terjemahan satu kitab?

Tidak ada patokan yang pasti. Tergantung tebal tipisnya kitab dan juga waktu yang saya miliki. Jadi, masalah waktu ini dapat dinegosiasikan dengan pihak penerbit. Kitab Demokrasi Sistem Kufur (1997) dulu saya selesaikan dalam waktu 1 (satu) bulan. Full time, artinya memang satu bulan itu saya tidak mengerjakan apa pun, kecuali menerjemahkan. Karya terjemahan saya terakhir tahun 2006 ini, yakni Konsep-Konsep Politik Hizbut Tahrir (Mafahim Siyasiyah li Hizb Al-Tahrir), jika dihitung waktu efektifnya yang full time saja, sekitar dua bulan. Meski faktanya saya menyelesaikannya dalam jangka waktu satu tahun, karena masih harus mengerjakan tugas yang lain-lain. Tapi waktu efektifnya, dua bulan.

Setiap harinya berapa jam Ustadz sisihkan untuk menerjemah?

Tidak ada waktu khusus. Jika saya kerjakan di sela-sela tugas mengajar sebagai dosen di STEI Hamfara Yogyakarta, bisanya saya memilih mengerjakan pada waktu malam. Selepas Isya` sampai tengah malam. Biasanya saya minum kopi yang kental dulu biar nggak ngantuk. Kalau dikerjakan pagi atau siang, saya nggak bisa fokus. Karena harus mengajar. Sedangkan malam hari, bisa lebih jenak dan fokus, meski tidak bisa setiap malam. Sebab ada tugas-tugas dakwah lainnya dari HTI yang juga harus saya kerjakan pada malam hari, seperti mengisi kajian intensif (halaqah).

Saya biasanya lebih senang mengerjakan tugas terjemahan secara full time, pada saat saya tidak sedang tugas mengajar. Misalnya pada saat mahasiswa sedang ujian semesteran, atau pas libur panjang, sehingga saya bebas dari tugas mengajar walau untuk sementara waktu. Dengan cara kerja full time seperti ini, saya bisa lebih fokus dan pekerjaan bisa lebih cepat selesai.

Bagaimana Ustadz membagi waktu antara keluarga, jam terbang dakwah yang tinggi, dan tugas menerjemahkan?

Saya tidak punya kiat khusus dalam membagi waktu. Alamiah saja. Yang penting, ada pengertian dan komunikasi. Harus juga ada saat-saat tertentu bagi saya bersama isteri dan kedua anak-anak saya berekreasi. Tidak harus ke tempat rekreasi semisal kebun binatang. Tapi cukup makan bersama di warung lesehan tempe penyet pinggir jalan, misalnya. Ini pun kadang sulit. Karena hari Ahad meskipun hari libur dinas, tapi biasanya bukan hari libur dakwah. Justru saya sering keluar kota untuk kepentingan dakwah pada hari Sabtu atau Ahad.

Yang penting adalah pengertian keluarga terhadap aktivitas saya. Alhamdulillah, isteri saya juga aktivis HTI. Jadi, dia bisa memahami kalau saya pulang larut malam jam 2 pagi misalnya. Atau kalau saya tidak pulang berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Dia sudah biasa dicuekin...ha...ha...Eh, maksud saya, sudah biasa ditinggal berdakwah ke luar kota. Isteri saya penuh pengertian, dan sabar. Saya cinta padanya. Alhamdulillah. Anak-anak saya juga turut terbiasa dengan pola kegiatan saya yang cukup padat ini. Mereka tidak banyak rewel. Meski saya pikir, kasihan juga mereka, karena sering kali waktu yang seharusnya menjadi hak mereka, saya gunakan untuk melayani umat.

Tapi bagaimana pun, saya tidak boleh berbuat zalim. Sebagaimana HTI punya hak terhadap saya, isteri dan kedua anak saya juga punya hak terhadap saya. Yah, kita berusahalah semaksimal mungkin memberikan semua hak-hak itu, walaupun mungkin belum bisa adil secara ideal. Dalam hadits, Nabi SAW mengatakan,"A’thi kulla dzii haqqin haqqahu." (Berikanlah hak, kepada setiap-tiap pihak yang berhak atas hak itu, Red).

Bagaimana prospek penerjemahan bila dijadikan profesi?

Saya kira cukup bagus prospeknya. Apalagi kalau kita mau terjun secara full time. Kalau saya ini kan tidak full time. Tapi ada tugas utama mengajar sebagai dosen. Saya ini part time kalau pas sibuk mengajar, dan menjadi full time pas sedang bebas mengajar. Sebenarnya ini nanggung. Tapi tidak mengapa, bukankah kaidah fikih mengatakan : maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu…(Apa yang tidak dapat dijangkau seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya, Red).

Jadi, saya kira prospeknya lumayan-lah. Tapi dengan satu syarat, kualitas terjemahan kita memang bagus, sehingga bukan kita yang menawarkan ke penerbit, tapi justru penerbitlah yang mencari kita. Karena penerbit sudah tahu reputasi dan kualitas terjemahan kita.

Bagi saya, terjemahan yang bagus itu gampang saja ngukurnya. Baca saja karya itu. Kalau masih terasa kaku atau masih terkesan sebagai karya terjemahan, berarti itu belum bagus. Tapi kalau sudah tidak terkesan sebagai karya terjemahan, yaitu sudah seperti membaca karya asli yang ditulis dalam bahasa Indonesia, berarti itu karya terjemahan yang berhasil. Mengapa demikian? Sebab, terjemahan, bagi saya, hakikatnya adalah naqlul afkar (mentransfer ide) atau naqlul ma’ani (mentransfer makna), bukannya naqlul alfazh (memindahkan lafazh/kata). Itulah filsafat dasar dalam penerjemahan yang saya pahami. Wallahu a’lam. [ ]

APPENDIX : KARYA-KARYA TERJEMAHAN & SUNTINGAN MUHAMMAD SHIDDIQ AL-JAWI 1996-2006

Karya Terjemahan :

1. Abdul Qadim Zallum, Garis-Garis Besar Politik Internasional (Al-Khuthuth Al-‘Aridhah fi Al-Siyasah Al-Dauliyah), 1992, (tidak dipublikasikan).

2. Abdul Qadim Zallum, Serangan Amerika Untuk Menghancurkan Islam (Al-Hamlah Al-Amirikiyah li Al-Qadha` ‘ Ala Al-Islam), Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 1996.

3. Abdul Qadim Zallum, Demokrasi Sistem Kufur (Al-Dimuqrathiyah Nizham Kufr), Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 1997

4. Abdul Qadim Zallum, Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Hukum Islam : Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati (Hukm Al-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naqlul A'dlaa', Al-Ijhadl, Athfaalul Anabib, Ajhizatul In'asy Ath-Thibbiyah, Al-Hayah wal Maut), Bangil : Al Izzah, 1997.

5. Abdul Qadim Zallum, Sebab-Sebab Kegoncangan Pasar Modal dalam Pandangan Hukum Islam (Hazzat Al-Aswaq Al-Maliyah Asbabuha wa Hukm Al-Syar’i li Hadzihi Al-Asbab), Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 1998.

6. Abdul Qadim Zallum, Persepsi-Persepsi Berbahaya untuk Menghancurkan Islam dan Mengokohkan Peradaban Barat (Mafahim Khatirah li Al-Qadha` ‘Ala Al-Islam wa Tarkiz Al-Hadharah Al-Gharbiyah), Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 1999.

7. Syaikh Ali Belhaj, Mengembalikan Khilafah Kewajiban Terbesar dalam Islam (Tanbih Al-Ghafilin wa I’lam Al-Ha`irin bi Anna I’adah Al-Khilafah Min A’zham Wajibat Hadza Al-Din), Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2001.

8. Syaikh Ali Belhaj, Menghancurkan Demokrasi (Al-Damghah Al-Qawiyah li Nasf Aqidah Al-Dimuqrathiyah), Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2002.

9. Ihsan Samarah, Biografi Singkat Syaikh Taqiyuddin An Nabhani (Al-Ta’rif bi Al-Syaikh Taqiyuddin Al-Nabhani), Bogor : Al Azhar Press, 2002.

10. Taqiyuddin an-Nabhani, Konsep-Konsep Politik Hizbut Tahrir (Mafahim Siyasiyah li Hizb Al-Tahrir), Bogor : HTI Press, 2006

Karya Suntingan :

1. Taqiyuddin An-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam (Al-Takattul Al-Hizbi), Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2000.

2. Taqiyuddin An-Nabhani, Titik Tolak Perjalanan Dakwah Hizbut Tahrir (Nuqthah Al-Intilaq li Hizb Al-Tahrir), Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2000.

3. Sami Shalih Al-Wakil & Muhammad Ahmad Mufti, Formalisasi Syariah dalam Kehidupan Bernegara (At-Tasyri’ wa Sannul Qawanin fi Ad-Daulah Al-Islamiyyah), Yogyakarta : Media Pustaka Ilmu, 2002.

4. Taqiyuddin An-Nabhani, Hakikat Berpikir (At-Tafkir), Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2003.

5. Abdul Qadim Zallum, Benturan Peradaban Sebuah Keniscayaan (Hatmiyyah Shira’ Al-Hadharat), Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2003.

6. Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pergaulan dalam Islam (an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam), Bogor : HTI Press, 2006 (dalam proses).

No comments: