Tuesday, August 5, 2008

DEMOKRASI DAN SYARIAH ISLAM

1. Syariah Islam : Definisi dan Urgensinya

Syariah Islam (al-hukm al-syar’iy) adalah segala ketentuan Allah SWT yang berkaitan dengan aktivitas manusia (khithab al-syaari’ al-muta’alliqu bi af-al al-‘ibad). Maka segala aktivitas manusia, apa pun juga, tidak ada yang terlepas dari ketentuan Syariah Islam yang mencakup hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, pakaian, akhlaq, mu’amalat, dan ‘uqubat [sistem pidana] (an-Nabhani, Nizham al-Islam, 2001).

Secara garis besar, menurut al-Mahmud (1995) dalam Al-Da’wah ila al-Islam pelaksanaan Syariah Islam dibebankan kepada 3 (pihak) :

(1) individu, misalnya sholat, puasa, dan haji;

(2) kelompok (jama’ah), misalnya amar ma’ruf nahi mungkar (lihat QS 3 : 104); (3);

(3) negara, misalnya sistem pidana (nizham ‘uqubat), sistem pemerintahan (nizham al-hukm), dan sistem ekonomi (nizham al-iqtishad).

Pelaksanaan Syariah Islam yang mengatur urusan privat dan kelompok tidak mensyaratkan keberadaan negara secara mutlak. Berbeda dengan itu, pelaksanaan Syariah Islam yang mengatur urusan publik, jelas mensyaratkan keberadaan negara, secara mutlak. Tanpa eksistensi negara, tidak mungkin hukum-hukum publik seperti sistem pidana dan pemerintahan Islam akan dapat terlaksana dengan sempurna. Tentu negara ini bukan sembarang negara, melainkan hanya negara yang didirikan di atas asas Aqidah Islamiyah, sehingga siap melaksanakan Syariah Islam. Negara inilah yang disebut dengan Khilafah (Imamah).

Bagi seorang muslim, mengikatkan seluruh aktivitasnya dengan Syariah Islam adalah wajib hukumnya (lihat misalnya QS 4:59). Lebih dari itu, keterikatan muslim dengan Syariah Islam adalah konsekuensi dari keimanannya terhadap islam (QS 4:65). Sebaliknya seorang muslim haram hukumnya melaksanakan hukum selain Syariah Islam (QS 4:45, QS 4:47), dan bahkan jika ia mengingkari Syariah Islam serta menganggap selain Syariah Islam adalah lebih baik, ia menjadi kafir (murtad) (QS 4:44).

Urgensi Syariah Islam adalah untuk memberikan solusi terhadap problem-problem manusia (mu’aalajaat li masyaakil al-insaan). Dalam konteks Indonesia, problem-problem ekonomi (seperti Freeport, Exxon, Newmont) dan problem sosial (seperti pornografi dan pornoaksi), misalnya, akan dapat diselesaikan dengan baik dan benar andaikata saja diselesaikan dengan Syariah Islam.

2. Demokrasi dan Syariah

2.1. Fakta Demokrasi

Demokrasi adalah sebuah tatanan pemerintahan yang bersumber dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demikian slogan yang sangat terkenal dari Benjamin Franklin tentang definisi demokrasi.

Dalam setting sosio-historisnya di Barat, demokrasi lahir sebagai solusi dari dominasi gereja yang otoritarian dan absolut sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M). Di satu sisi ekstrem, dominasi gereja yang merupakan kolaborasi gereja dan para raja Eropa ini menghendaki tunduknya seluruh urusan kehidupan (politik, ekonomi, seni, sosial, dll) kepada aturan-aturan gereja. Di sisi ekstrem lainnya, dominasi gereja ini ditentang oleh para filosof dan pemikir yang menolak secara mutlak peran gereja (Katolik) dalam kehidupan.

Terjadinya Reformasi Gereja, Renaissance, dan Humanisme, menjadi titik tolak awal untuk meruntuhkan dominasi gereja itu. Akhirnya, pasca Revolusi Perancis tahun 1789, terwujudlah jalan tengah dari dua sisi ekstrem itu, yang terumuskan dalam paham sekularisme, yakni paham pemisahan agama dari kehidupan. Agama tidak diingkari secara total, tapi masih diakui walau pun secara terbatas, yaitu hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan.

Lalu hubungan manusia dengan manusia siapakah yang megatur dan membuat hukumnya? Jawabnya, tentu manusia itu sendiri, bukan Tuhan atau agama. Pada titik inilah demokrasi lahir.

Walhasil, demokrasi memberikan kepada manusia dua hal :

(1) hak membuat hukum (legislasi). Inilah prinsip kedaulatan rakyat (as-siyadah li al-sya’b). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya yaitu hukum dibuat oleh para tokoh-tokoh gereja atas nama Tuhan;

(2) hak memilih penguasa. Inilah prinsip kekuasaan rakyat (as-sulthan li al-ummah). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya yaitu penguasa (raja) diangkat oleh Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi dalam sistem monarki absolut.

Jadi, dalam demokrasi, rakyat adalah sumber legislasi dan sumber kekuasaan (source of legislation and authority) (Zallum, al-Dimuqrathiyyah Nizham Kufr, 1990).

Untuk menjamin agar rakyat dapat menjalankan fungsinya dengan leluasa sebagai pembuat hukum dan sumber kekuasaan tersebut, demokrasi memberikan kebebasan (al-hurriyat, freedom) yang mencakup 4 jenis kebebasan : (1) kebebasan beragama (hurriyah al-‘aqidah), (2) kebebasan berpendapat (hurriyah al-ra`yi), (3) kebebasan kepemilikan (hurriyah al-tamalluk), dan (4) kebebasan berperilaku (al-hurriyah al-syakhshiyyah) (Zallum, al-Dimuqrathiyyah Nizham Kufr, 1990).

2.2. Demokrasi Menurut Islam

Hizbut Tahrir menegaskan sikapnya tentang demokrasi dalam sebuah kitab karya Syaikh Abdul Qadim Zallum yang menyerukan, "Demokrasi adalah sistem kufur, haram mengambil, menerapkan, dan mempropagandakannya." (Zallum, 1990).

Mengapa demokrasi kufur? Dalam kitab Mafahim Siyasiyah li Hizb al-Tahrir (2005) dijelaskan, demokrasi itu kufur bukan karena konsepnya bahwa rakyat menjadi sumber kekuasaan, melainkan karena konsepnya bahwa manusia berhak membuat hukum (kedaulatan di tangan rakyat).

Kekufuran demokrasi dari segi konsep kedaulatan tersebut sangat jelas, sebab menurut Aqidah Islam, yang berhak membuat hukum hanya Allah SWT, bukan manusia. Firman Allah SWT (artinya) :

"Menetapkan hukum hanyalah hak Allah." (QS Al-An’aam : 57)

Itulah titik kritis dalam demokrasi yang sungguh bertentangan secara frontal dengan Islam. Pada titik itulah, demokrasi disebut sebagai sistem kufur. Sebab sudah jelas, memberi hak kepada manusia untuk membuat hukum adalah suatu kekufuran. Firman Allah SWT (artinya) :

"Barangsiapa yang tidak menetapkan hukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir." (QS Al-Maa`idah : 44)

Abdul Qadim Zallum (1990) menjelaskan adanya kontradiksi-kontradiksi lain antara demokrasi dan Islam. Antara lain :

a. Dari segi sumber : demokrasi berasal dari manusia dan merupakan produk akal manusia. Sedang Islam, berasal dari Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya Muhammad SAW.

b. Dari segi asas : demokrasi asasnya adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sedang Islam asasnya Aqidah Islamiyah yang mewajibkan menerapkan Syariah Islam dalam segala bidang kehidupan (QS 2:208).

c. Dari segi standar pengambilan pendapat : demokrasi menggunakan standar mayoritas. Sedangkan Islam, standar yang dipakai tergantung materi yang dibahas. Rinciannya : (1) jika materinya menyangkut status hukum syariah, standarnya adalah dalil syariah terkuat, bukan suara mayoritas; (2) jika materinya menyangkut aspek-aspek teknis dari suatu aktivitas, standarnya suara mayoritas; (3) jika materinya menyangkut aspek-aspek yang memerlukan keahlian, standarnya adalah pendapat yang paling tepat, bukan suara mayoritas.

d. Dari segi ide kebebasan : demokrasi menyerukan 4 jenis kebebasan (al-hurriyat), di mana arti kebebasan adalah tidak adanya keterikatan dengan sesuatu apa pun pada saat melakukan aktivitas (‘adam al-taqayyud bi syai`in ‘inda al-qiyaam bi al-‘amal) (Zallum, Kaifa Hudimat al-Khilafah, 1986). Sedang Islam, tidak mengakui kebebasan dalam pengertian Barat. Sebaliknya, Islam mewajibkan keterikatan dengan syariah Islam, sebab pada asalnya, perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum-hukum Syariah Islam (al-ashlu fi al-af’aal al-taqayyud bi al-hukm al-syar’i).

Dengan adanya kontradiksi yang dalam antara demokrasi dan Syariah Islam itulah, Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya al-Dimuqrathiyyah Nizham Kufr (1990) menegaskan tanpa ragu-ragu :

"Demokrasi yang telah dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam, sesungguhnya merupakan sistem kufur, tidak ada hubungannya degan Islam sama sekali, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam, baik secara garis besar maupun secara rinci…Oleh karena itu, kaum muslimin diharamkan secara mutlak untuk mengambil, menerapkan, dan menyebarluaskan demokrasi."

3. Relevansi Khilafah

Syariah dan Khilafah mempunyai hubungan yang sangat erat yang tidak mungkin dipisahkan. Sebab tidak mungkin kita menerapkan Syariah Islam secara sempurna, kecuali dengan Khilafah. Maka dari itu, keberadaan Khilafah adalah wajib secara syar’i demi melaksanakan kewajiban menerapkan Syariah Islam.

Dalam hal ini kaidah fikih menegaskan : Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib (Jika suatu kewajiban tidak dapat terlaksana kecuali dengan adanya sesuatu, maka adanya sesuatu itu wajib pula hukumnya).

Secara empiris, kita dapat pula menyaksikan betapa besarnya kebutuhan umat Islam akan Khilafah saat ini. Sebab dunia saat ini berada dalam hegemoni negara-negara Kapitalis di bawah pimpinan Amerika Serikat. Hegemoni AS di bidang militer, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya itu tentu tidak boleh dibiarkan.

Tapi, tidak mungkin Dunia Islam membebaskan dirinya dari hegemoni kapitalis, kecuali dengan persatuan umat Islam (wihdatul Ummah). Dunia Islam sudah terbukti tidak mampu menghadapai hegemoni AS, karena telah terpecah-belah menjadi 56 negeri Islam. Dan persatuan umat Islam ini jelas tidak akan mungkin terwujud kecuali dengan Khilafah. Sebab Khilafah bukanlah negara untuk satu bangsa atau golongan tertentu, melainkan negara untuk seluruh umat Islam di seluruh dunia. Di seluruh dunia tidak boleh ada, kecuali hanya satu Khilafah saja.

Di sinilah relevansi Khilafah pada era kontemporer saat ini. Secara syar’i Khilafah adalah kewajiban dari Allah SWT. Sedang secara empiris, Khilafah sangat dibutuhkan umat Islam untuk membebaskan dirinya dari hegemoni dan imperialisme negara-negara Kapitalis pimpinan AS.

4. Mungkinkah Khilafah?

Sebagai penutup, perlu dijelaskan juga jawaban untuk umat Islam yang sering bertanya,"Apakah Khilafah suatu utopia? Mungkinkah mendirikan Khilafah di tengah situasi politik saat ini untuk umat Islam yang jumlahnya 1,2 miliar jiwa?"

Jawabnya, Khilafah bukan utopia sebab jika utopia tentu Allah SWT tidak akan mewajibkannya kepada umat Islam. Sama saja dengan shalat. Ketika Allah mewajibkan shalat, berarti menegakkan shalat itu masih berada dalam batas-batas kesanggupan manusia. Demikian juga ketika Allah mewajibkan Khilafah, berarti menegakkan Khilafah itu juga masih berada dalam batas-batas kesanggupan manusia."Laa yukallifullaahu nafsan illa wus’ahaa."

Hanya saja, tentu mewujudkan Khilafah yang dapat memayungi seluruh umat Islam yang jumlahnya 1,2 miliar jiwa tidak mungkin terjadi dalam sekejap. Khilafah untuk pertama kalinya nanti, dapat berdiri di sebuah negeri Islam dahulu. Kemudian secara bertahap, Khilafah melakukan ekspansi dan perluasan ke negeri-negeri lainnya sehingga akhirnya mencakup wilayah yang luas.

Hal itu sebagaimana Rasulullah SAW dahulu, yang mendirikan Daulah Islamiyah untuk pertama kalinya hanya sebatas kota Madinah. Namun tapal batas wilayah ini terus meluas sejalan dengan misi jihad fi sabilillah. Pada saat Rasulullah wafat (11 H/632 M), wilayah Daulah Islamiyah telah mencakup seluruh Jazirah Arab.

Semoga Khilafah segera berdiri sebentar lagi dengan seizin Allah, walaupun orang-orang kafir pasti membencinya. Firman Allah SWT (artinya) :

"Dia-lah (Allah) yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunju dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci." (QS Ash-Shaff : 9).

Wallahu muwaffiq li al-shawaab.

No comments: