Di tengah semakin menguatnya mainstream ”penegakkan syariah dan Khilafah”, muncul ”propaganda-propaganda aneh” yang tidak pernah dikenal oleh kaum Muslim sebelumnya. Propaganda-proganda busuk itu sengaja disebarkan ke tengah-tengah kaum Muslim untuk memalingkan umat Islam dari penerapan syariat Islam yang benar, sekaligus untuk menjustifikasi realitas rusak yang telah menyimpang dari syariat Islam. Salah satu propaganda busuk itu adalah ”di dalam al-Quran dan sunnah, syariat tidak ekplisit dimaknai dengan hukum; syariat itu adalah merealisasikan kemashlahatan, dimana ada mashlahat di situ ada syariat”.
Propaganda ini mengesankan bahwa hukum Islam ditetapkan berdasarkan peraihan mashlahat dan penolakan kerusakan (jalb al-mashaalih wa dar`u al-mafaasid). Dengan kata lain, ada tidaknya hukum Islam (syariat) tergantung pada ada atau tidak adanya mashlahat. Hukum syariat bisa saja dianulir jika tidak bisa mewujudkan kemashlahatan, sebaliknya, perkara-perkara yang jelas-jelas haram menurut hukum syariat, bisa saja dianggap sebagai kewajiban syariat jika bisa merealisasikan kemashlahatan.
Pertanyaan yang perlu diajukan adalah;
Benarkah al-Quran dan sunnah tidak secara eksplisit memaknai syarii’at dalam konteks hukum atau aturan? Benarkah syarii’at bisa diartikan dengan perealisasian mashlahat? Benarkah hukum syariat itu ditetapkan berdasarkan kemashlahatan; atau benarkah kemashlahatan itu adalah ’illat penetapan hukum syariat, sehingga bisa dinyatakan bahwa hukum syariat beredar dengan ada tidaknya mashlahat? Penjelasan yang benar atas pertanyaan di atas adalah sebagai berikut.
DEFINISI SYARI’AH
Pada dasarnya, pemaknaan kata syarii’ah harus dikembalikan kepada waadli’ al-lughah (pembuat bahasa) kata tersebut, yakni orang Arab. Sebab, kata al-syarii’ah adalah lafadz bahasa Arab yang digunakan oleh orang Arab untuk menunjukkan makna tertentu.
Pemaknaan atas lafadz tersebut tidak menerima ijtihad atau istinbath, namun cukup merujuk kepada makna yang disasar oleh orang Arab, sebagaimana kaedah bahasa menyatakan, ”La mahalla li ’aql” (tidak ada tempat bagi akal). Lalu, apa makna kata ”al-syarii’ah?”
Definisi Syarii’ah Menurut Ulama Kamus
Imam Ibnu Mandzur di dalam Kitab Lisaan al-’Arab menyatakan:
والشَّريعةُ والشِّراعُ والمَشْرَعةُ المواضعُ التي يُنْحَدر إِلى الماء منها قال الليث وبها سمي ما شَرَعَ الله للعبادِ شَريعةً من الصوم والصلاةِ والحج والنكاح وغيره والشِّرْعةُ والشَّريعةُ في كلام العرب مَشْرَعةُ الماء وهي مَوْرِدُ الشاربةِ التي يَشْرَعُها الناس فيشربون منها ويَسْتَقُونَ
“Kata al-syarii’ah, al-syarraa’, dan al-masyra’ah bermakna al-mawaadli’ allatiy yunhadaru ila al-maa’ (tempat-tempat yang darinya dikucurkan air). Berkata al-Laits, al-syarii’ah dinamakan juga dengan syariat yang disyariatkan (ditetapkan) Allah swt kepada hamba, mulai dari puasa, sholat, haji, nikah dan sebagainya. Sedangkan kata al-syir’ah dan al-syir’ah, menurut bahasa Arab artinya adalah masyra’at al-maa’ (sumber air), yakni maurid al-syaaribah allatiy yasyra’uhaa al-naas, fa yasyrabuuna minhaa wa yastaquuna (sumber air minum yang dibuka oleh manusia, kemudian mereka minum dari tempat itu, dan menghilangkan dahaga). [Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-‘Arab, juz 8, hal. 175]
Imam Al-Raaziy di dalam Kamus Mukhtaar al-Shihaah menyatakan:
الشَّرِيعة مَشْرَعة الماء وهي مَوْرِد الشَّارِبة. والشَّرِيعة أيضاً ما شَرَع اللهُ لِعِبادِه من الدِّينِ وقد شَرَع لهم أي سَنَّ وبابه قَطَع. ….والشِّرْعة الشَّريعة ومنه قوله تعالى (لِكلٍّ جَعَلْنا مِنْكُمْ شِرْعةً ومِنْهاجاً)
”Lafadz al-Syarii’ah bermakna masyra’at al-maa’ (maurid al-syaaribah : sumber air). Kata al-syarii’ah juga bermakna: agama yang disyariatkan Allah swt kepada hamba-hambaNya. Jika dinyatakan Allah telah mensyariatkan kepada mereka, maksudnya adalah sanna (menetapkan aturan untuk mereka). Lafadz ini termasuk dalam wazan ”qatha’a)”…Kata al-syir’ah bisa bermakna al-syarii’ah, sebagaimana firman Allah swt, ”Likulli ja’alnaa minkum syir’at wa minhaajan”.[Untuk setiap umat di antara kamu, Kami jadikan aturan dan jalan yang terang”.(TQS Al Maidah (5):48)][Imam al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, juz 1, hal. 161]
Pengarang Kitab al-’Ain mengatakan:
الشّريعة والشّرْعة: ما سنّ الله من الدّين وأمر بالتّمسك به كالصلاة والصوم والحج وقد شَرَعَها الله يَشْرَعها شَرْعاً.
”al-Syarii’ah wa al-syir’ah: perkara agama yang Allah swt telah menetapkannya, dan memerintahkan untuk selalu berpegang teguh dengannya, seperti sholat, puasa, haji. Dan Allah swt telah mensyariatkan perkara tersebut, maksudnya adalah Allah swt telah menetapkan perkara tersebut secara syar’iy (menurut hukum)”.[Ibnu Saidah, al-Mukhashshash, juz 3, hal. 163]
Al-Shaahib bin ’Ibad, di dalam Kamus al-Muhiith fi al-Lughah menyatakan;
شَرَعَ الوارِدُ شُرُوْعاً: تَنَاوَلَ الماءَ. والشرِيْعَةُ والشراعُ والمَشْرَعَةُ والمَشْرُعَةُ: مَوْضِعٌ يُهيأُ للشرْب….. والشرِيْعَةُ الشرْعَةُ: ما شَرَعَ اللَهُ لِعبادِه من أمْر الدَين، وهو يَشْتَرِعُ شِرْعَتَه.
“Syara’a al-waarid syuruu’an : tanaawala al-maa’ (memberi air). Kata al-syarii’ah, al-syaraa’, al-masyra’ah, dan al-masyru’ah : adalah tempat yang dipersiapkan untuk minum…al-syarii’ah al-syir’atu : urusan agama yang disyariatkan (ditetapkan) Allah swt kepada hamba-hambaNya. Dan Dialah yang membuat hukum-hukumnya”.[Al-Shaahib bin ‘Ibaad, al-Muhiith fi al-Lughah,juz 1, hal. 44]
Dalam Kamus Bahr al-Muhiith disebutkan;
الشَّريعَةُ ما شَرَعَ اللّهُ تعالى لعبادِهِ، والظاهرُ المُسْتَقيمُ من المَذاهِبِ
“Al-syarii’ah: perkara yang disyariatkan oleh Allah swt kepada hamba-hambaNya. Dan bisa juga berarti madzhab-madzhab (rujukan-rujukan) yang jelas dan lurus”.[Fairuz Abadiy, al-Qaamuus al-Muhiith, juz 2, hal. 290]
Inilah makna kata “al-syarii’ah” menurut ulama-ulama ahli bahasa Arab.
Makna Syarii’at Menurut Ulama Tafsir
Makna syarii’at menurut ulama tafsir, tidak jauh berbeda dengan makna yang dipahami oleh ulama ahli bahasa Arab. Ketika menafsirkan firman Allah swt, surat al-Maidah ayat 48, Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menjelaskan:
والشرعة والشريعة الطريقة الظاهرة التي يتوصل بها إلى النجاة. والشريعة في اللغة: الطريق الذي يتوصل منه إلى الماء. والشريعة ما شرع الله لعباده من الدين; وقد شرع لهم يشرع شرعا أي سن. والشارع الطريق الأعظم…..الآية أنه جعل التوراة لأهلها; والإنجيل لأهله; والقرآن لأهله; وهذا في الشرائع والعبادات; والأصل التوحيد لا اختلاف فيه; روي معنى ذلك عن قتادة. وقال مجاهد: الشرعة والمنهاج دين محمد عليه السلام; وقد نسخ به كل ما سواه.
“Kata al-syir’ah dan al-syarii’ah bermakna jalan terang yang mengantarkan pada keselamatan. Menurut bahasa, kata al-syarii’ah, bermakna al-thariiq alladziy yatawashshalu minhu ila al-maa` (jalan yang mengantarkan kepada air). Lafadz al-syarii’ah juga bermakna agama yang disyariatkan (ditetapkan) Allah kepada hamba-hambaNya; dan Allah telah mensyariatkan (kepada mereka), maksudnya adalah mensyariatkan (menetapkan) syariat atau jalan. Kata al-syaari` bermakna al-thariiq al-a’dzam (jalan besar)….Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt telah menetapkan Taurat kepada pemeluknya, Injil kepada pemeluknya, al-Quran kepada pemeluknya. Ayat ini berbicara pada konteks syariat-syariat (hukum-hukum) dan ibadah-ibadah. Sedangkan pokok ketauhidan tidak ada perbedaan. Makna semacam ini dituturkan dari Qatadah. Mujahid berkata, ”Kata al-syir’ah dan al-minhaaj maknanya adalah agama (diin) Mohammad saw, dan ia telah menasakh (menghapus) seluruh agama lain.”[Imam Qurthubiy,
Imam Ibnu Katsir di dalam Kitab Tafsiir al-Quran al-’Adziim mengungkapkan:
فإن الشرعة وهي الشريعة أيضا، هي ما يبتدأ فيه إلى الشيء ومنه يقال: "شرع في كذا" أي: ابتدأ فيه. وكذا الشريعة وهي ما يشرع منها إلى الماء. أما "المنهاج": فهو الطريق الواضح السهل، والسنن: الطرائق، فتفسير قوله: { شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا } بالسبيل والسنة أظهر في المناسبة من العكس، والله أعلم
“Kata al-syir’ah juga bermakna al-syarii’ah; yakni sesuatu yang membuka ke sesuatu. Dari sini dinyatakan, “syara’a fi kadza” (mensyariatkan yang demikian); sedangkan maknanya adalah ibtada`a fiihi (memulai, atau membuka jalan pertama kali). Demikian juga al-syarii’ah, ia bermakna “ma yasyra’u minhaa ila al-maa`” (jalan yang mengantarkan menuju air)”. Adapun kata “al-minhaaj” adalah al-thariiq al-waadliih al-sahl (jalan yang jelas dan mudah). Kata al-sunan, maknanya adalah al-tharaaiq (jalan-jalan). Oleh karena itu, menafsirkan firman Allah swt “syir’atan wa minhajan” dengan jalan dan sunnah jelas lebih sesuai dari sebaliknya. Wallahu a’lam”.[Imam Ibnu Katsir, Tafsiir Ibnu Katsiir, juz
Imam Syaukani di dalam Kitab Fath al-Qadiir menyatakan;
الشرعة والشريعة في الأصل : الطريقة الظاهرة التي يتوصل بها إلى الماء ، ثم استعملت فيما شرعه الله لعباده من الدين . والمنهاج : الطريقة الواضحة البينة . وقال أبو العباس محمد بن يزيد المبرد الشريعة : ابتداء الطريق ، والمنهاج الطريق المستمر . ومعنى الآية : أنه جعل التوراة لأهلها ، والإنجيل لأهله ، والقرآن لأهله ، وهذا قبل نسخ الشرائع السابقة بالقرآن ، وأما بعده فلا شرعة ولا منهاج إلا ما جاء به محمد صلى الله عليه وسلم.
“Pada asalnya, kata al-syir’ah dan al-syarii’ah bermakna jalan terang yang bisa mencapai air. Selanjutnya kata ini digunakan dengan makna, agama (diin) yang disyariatkan Allah swt kepada hambaNya. Sedangkan kata al-minhaaj: jalan terang dan jelas. Abu al-’Abbas Mohammad bin Yazid al-Mubarrad,”Kata al-syarii’ah bermakna ibtidaa’ al-thariiq (permulaan jalan), sedangkan al-minhaaj bermakna jalan yang berulang-ulang (al-thariiq al-mustamirah). Makna ayat ini [srat al-Maidah :48] adalah; sesungguhnya Allah swt menjadikan Taurat untuk pemeluknya, Injil untuk pemiliknya, dan al-Quran untuk pemeluknya. Ini terjadi sebelum penghapusan syariat-syariat terdahulu oleh al-Quran. Adapun setelah turunnya al-Quran, maka tidak ada syir’ah dan minhaaj, kecuali yang dibawa oleh Nabi Mohammad saw”.[Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2, hal. 319]
Kata Syarii’ah Menurut ’Urf Para Ulama
Pada konteks awalnya (hakekat lughawiyyah) kata ”syarii’ah bermakna ”al-thariiqah al-dzaahirah allatiy yatawashshalu bihaa ila al-maa” (jalan terang yang bisa mencapai air). Selanjutnya kata ”al-syarii’ah” digunakan oleh para pengguna bahasa Arab dengan makna ”urusan agama yang ditetapkan Allah swt kepada hambaNya”. Mereka juga memaknai kata syarii’ah sebatas pada aturan-aturan agama yang bersifat ’amaliyyah (praktis), bukan i’tiqaadiyyah (keyakinan). Imam Thabariy telah menuturkan pemahaman semacam ini di dalam riwayat-riwayat shahih.
حدثنا بشر بن معاذ قال، حدثنا يزيد قال، حدثنا سعيد، عن قتادة قوله:”لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجًا” يقول: سبيلا وسُنّة. والسنن مختلفة: للتوراة شريعة، وللإنجيل شريعة، وللقرآن شريعة، يحلُّ الله فيها ما يشاء، ويحرِّم ما يشاء بلاءً، ليعلم من يطيعه ممن يعصيه. ولكن الدين الواحد الذي لا يقبل غيره: التوحيدُ والإخلاصُ لله، الذي جاءت به الرسل.
“Telah meriwayatkan kepada kami, Basyar bin Mu’adz, bahwasanya ia berkata, “Telah meriwayatkan kepada kami Yazid, ia berkata, “Telah meriwayatkan kepada kami Sa’iid, dari Qatadah mengenai firman Allah swt “Likulli ja’alnaa minkum syir’ah wa minhajan”, ia berkata, “Maksudnya adalah jalan dan sunnah. Sedangkan jalan-jalan itu sangat beragam. Taurat memiliki syariat tersendiri, Injil memiliki syariat tersendiri, dan al-Quran juga memiliki syariat sendiri. Di dalamnya, Allah menghalalkan apa yang Dia kehendaki dan mengharamkan apa yang Dia kehendaki, untuk mengetahui siapa yang mentaatiNya dan siapa yang membangkang kepadaNya. Hanya saja diin (pokok keyakinan) tetaplah satu dan tidak menerima keyakinan yang lain; yakni al-tauhid (pengesaan Allah) dan ikhlash beramal semata-mata untuk Allah swt, yang mana prinsip tauhid dan ikhlash ini diturunkan kepada para Rasul.”
حدثنا الحسن بن يحيى قال، أخبرنا عبد الرزاق قال، أخبرنا معمر، عن قتادة قوله:”لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجًا”، قال: الدينُ واحد، والشريعةُ مختلفة.
”Telah meriwayatkan kepada kami al-Hasan bin Yahya, bahwasanya ia berkata, ”Telah mengabarkan kepada kami ’Abd al-Razaq, bahwasanya ia berkata, ”Telah meriwayatkan kepada kami Ma’mar , dari Qatadah mengenai firman Allah swt ”likulli ja’alnaa minkum syir’atan wa minhaajan”, ia berkata, ”Diin itu satu sedangkan syariat (hukum) itu beragam”.[Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 10, hal. 385]
Imam Ibnu Katsir menyatakan;
ثم هذا إخبار عن الأمم المختلفة الأديان، باعتبار ما بعث الله به رسله الكرام من الشرائع المختلفة في الأحكام، المتفقة في التوحيد، كما ثبت في صحيح البخاري، عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “نحن معاشر الأنبياء إخوة لعلات، ديننا واحد” يعني بذلك التوحيد، الذي بعث الله به كل رسول أرسله، وضمنه كل كتاب أنزله، كما قال تعالى: { وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ } [الأنبياء: 25] وقال تعالى: { وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ } الآية [النحل: 36]، وأما الشرائع فمختلفة في الأوامر والنواهي، فقد يكون الشيء في هذه الشريعة حراما ثم يحل في الشريعة الأخرى، وبالعكس، وخفيفًا فيزاد في الشدة في هذه دون هذه.
”Ayat ini merupakan ikhbar (berita) mengenai umat-umat yang memiliki agama beragam, yakni syariat yang sangat beragam dalam masalah hukum-hukum yang diturunkan kepada Rasul-rasulNya yang mulia, namun berkesesuaian dalam masalah tauhid. Sebagaimana ditetapkan di dalam Shahih Bukhari dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw bersabda, ”Kami para Nabi adalah bersaudara, diin (keyakinan) kami satu”.[HR. Imam Bukhari] Maksudnya adalah tauhid yang disampaikan Allah kepada semua Rasul yang diutusNya, dan dicantumkan di semua Kitab yang diturunkanNya. Sebagaimana disebut di dalam firman Allah swt, ” Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.[Al-Anbiyaa’:25], dan juga firman Allah swt, ” Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”.[An Nahl: 36]. Adapun dalam masalah syariat, maka perintah dan larangannya berbeda-beda. Kadang-kadang, ada sesuatu yang di dalam syariat ini haram, kemudian Allah menghalalkannya di syariat yang lain, dan begitu pula sebaliknya. Kadang-kadang, ada sesuatu yang di dalam syariat ini, ringan, kemudian diperberat pada syariat yang lain.”[Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsiir, juz 3, hal. 129]
Kesimpulan
Keterangan di atas menunjukkan bahwa, kata ”syarii’ah” pada konteks awalnya (literal) digunakan dengan makna al-thariiqah al-dzaahirah allatiy yatawashshalu bihaa ila al-maa” (jalan terang yang bisa mencapai air). Selanjutnya kata ”al-syarii’ah” digunakan oleh para pengguna bahasa Arab dengan makna ”diin (agama) yang disyari’atkan Allah swt kepada hambaNya” dan dipersempit pada aturan-aturan agama yang mengatur amal perbuatan manusia, bukan keyakinan. Oleh karena itu, para ulama membedakan keyakinan dengan perbuatan. Masalah keyakinan diinsersikan dalam ’aqidah, sedangkan perbuatan dimasukkan dalam syariat.
Dari sinilah, kaum Muslim mengenal istilah ”aqiidah” (keyakinan) dan ”syarii’ah”(ketentuan yang mengatur perbuatan manusia). Prof. Mahmud Syaltut, di dalam Kitab al-Islaam; ’Aqiidah wa Syarii’ah menyatakan:
الشريعة هى النظم التى شرعها الله أو شرع أصولها ليأخذ الإنسان بها نفسه فى علاقته بربه, و علاقته بأخيه المسلم , و علاقته بأخيه الإنسان, و علاقته بالكون , و علاقته بالحياة
“Syarii’ah adalah aturan-aturan (system) yang Allah telah mensyariatkannya, atau mensyariatkan pokok dari aturan-aturan tersebut, agar manusia mengadopsi aturan-aturan tersebut untuk mengatur hubungan dirinya dengan Tuhannya, dan hubungan dirinya dengan saudaranya yang Muslim dan saudara kemanusiaannya (non Muslim), dan hubungan dirinya dengan alam semesta dan kehidupan” .[Syaikh Mahmud Syaltut, al-Islaam, ’Aqiidah wa Syarii’ah, hal. 12]
Dengan demikian, kata syari’ah selalu berkonotasi hukum, atau aturan yang mengatur interaksi manusia dengan Tuhannya, manusia lain, dan dirinya sendiri. Kumpulan dari aturan-aturan tersebut melahirkan sebuah sistem hidup yang unik dan khas. Jika seluruh interaksi tersebut diatur dengan aturan Islam (hukum Islam), niscaya akan terwujud sistem Islam. Sebaliknya, jika seluruh interaksi tersebut diatur dengan aturan kufur, tentunya akan terbentuk sistem kufur.
Kata syarii’ah tidak memiliki makna selain dari makna yang digunakan oleh ’urf pengguna bahasa Arab, yakni hukum Allah yang mengatur interaksi manusia dengan Tuhannya, dirinya sendiri, dan orang lain. Dengan kata lain, kata ”syarii’ah” selalu berkonotasi hukum Allah yang ditetapkan untuk mengatur seluruh interaksi manusia di kehidupan dunia. Makna semacam ini secara eksplisit disebutkan di dalam al-Quran. Allah swt berfirman;
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ
”Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu..”[TQS Al Maidah (5): 48]
Di dalam hadits shahih juga dituturkan bahwasanya Rasullah saw menggunakan kata syarii’ah dengan makna hukum. Rasulullah saw bersabda;
لَا تَزَالُ الْأُمَّةُ عَلَى الشَّرِيعَةِ مَا لَمْ يَظْهَرْ فِيهَا ثَلَاثٌ مَا لَمْ يُقْبَضْ الْعِلْمُ مِنْهُمْ وَيَكْثُرْ فِيهِمْ وَلَدُ الْحِنْثِ وَيَظْهَرْ فِيهِمْ الصَّقَّارُونَ قَالَ وَمَا الصَّقَّارُونَ أَوْ الصَّقْلَاوُونَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بَشَرٌ يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ تَحِيَّتُهُمْ بَيْنَهُمْ التَّلَاعُنُ
”Umat akan selalu berada di atas syarii’ah, selama di tengah-tengah mereka belum tampak tiga perkara. Selama ilmu belum dicabut dari mereka, dan selama di tengah-tengah mereka belum banyak anak banci, serta belum tampak di tengah-tengah mereka al-shaqqaaruun”. Para shahabat bertanya, ”Ya Rasulullah, apa al-shaqqaaruun atau al-shaqqlaawuun itu?” Rasulullah saw menjawab, “Manusia yang ada di akhir zaman, yang mana, ucapan selamat diantara mereka adalah saling melaknat”.[HR. Imam Ahmad]
Atas dasar itu, statement yang menyatakan bahwa kata syariat di dalam al-Quran dan Sunnah tidak ekplisit bermakna “hukum atau aturan”, jelas-jelas statement yang tidak didukung oleh hujjah yang lurus dan selamat. Pasalnya, seluruh ahli bahasa Arab serta ulama-ulama tafsir menggunakan kata syarii’ah dengan makna hukum atau aturan yang mengatur perbuatan manusia, tidak dengan makna lain.
Kata syariiat sama sekali tidak bermakna “perealisasian mashlahat”. Makna semacam ini tidak pernah digunakan oleh para pengguna bahasa Arab dan tidak pernah dikemukakan oleh ulama-ulama yang memiliki kredibilitas ilmu dan ketaqwaan. Pendefinisian syarii’art dengan makna semacam ini jelas-jelas keliru dan menyesatkan.
Maqaashid al-Syar’iyyah Bukanlah Sumber Hukum Syariat
Pada dasarnya, syariat Islam diturunkan di muka bumi untuk menciptakan rahmat dan kemashlahatan di tengah-tengah mereka. Allah swt berfirman;
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Mohammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh penjuru alam”.[TQS Al Anbiyaa’ (21):107]
Frase “wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil ‘alaamin” menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa rahmat bagi penjuru alam itu dinisbahkan kepada syari’at yang dibawa oleh Mohammad saw. Namun, rahmat pada ayat itu hanyalah hasil (natijah) dari penerapan syari’at Islam, bukan sebagai “sebab” (‘illat) pensyari’atan hukum Islam. Oleh karena itu, tidak boleh dipahami bahwa hukum syariat itu ditetapkan berdasarkan mashlahat. Pasalnya mashlahat bukanlah dalil hukum maupun ‘illat pensyari’atan sebuah hukum.
Selain itu, ayat di atas tidak mengandung ‘illat sama sekali. Rahmat pada ayat ini bukanlah ‘illat disyari’atkannya hukum Islam, sehingga dinyatakan bahwa hukum syariat itu beredar mengikuti ’illatnya (kemashlahatan)[1]. Jika suatu hukum syariat dianggap tidak mashlahat, maka hukum itu bisa dianulir. Sebaliknya, sesuatu yang diharamkan oleh syariat, bisa saja dianggap sebagai sesuatu yang masyr’u jika di dalamnya ada kemashlahatan. Kesimpulan semacam ini jelas-jelas menyimpang dari membuka ruang yang sangat lebar munculnya aktivitas ”mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah swt” dengan alasan mashlahat. Padahal Allah swt mencela perbuatan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah swt, dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah swt.
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”[TQS At Taubah (9):31]
Orang Yahudi dan Nashrani dikatakan menyembah kepada pendeta dan rahib mereka, dikarenakan pendeta dan rahib mereka telah menghalalkan apa yang diharamkan Allah, dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, dan mereka tetap mengikutipara pendeta dan rahib tersebut.
Selain itu, misi dan visi Nabi Mohammad saw di muka bumi ini, selain menyebarkan kalimat Tauhid, juga mengatur manusia dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Allah swt berfirman;
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
”dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”.[TQS Al Maidah (5):49], dan ayat-ayat lain yang memiliki pengertian senada.
Ayat ini dengan sharih menyatakan agar Nabi Mohammad saw mengatur seluruh urusan manusia dengan aturan Allah, bukan dengan hawa nafsu (keinginan) manusia. Bahkan, Allah swt telah memperingatkan beliau untuk tidak berpaling dari hukum-hukum Allah swt karena mengikuti keinginan-keinginan manusia. Pasalnya, hukum Allah swt adalah hukum yang paling sempurna dan baik.
Oleh karena itu, syariat Islam (hukum Allah) tidak ditetapkan berdasarkan mashlahat. Sesungguhnya, hukum syariat itu ditetapkan berdasarkan nash-nash syariah, bukan berdasarkan kemashlahatan menurut manusia.
Seandainya hukum syariat ditetapkan berdasarkan mashlahat, niscaya akan lahir dua hukum kontradiktif dalam satu kasus. Bisa saja menurut sekelompok orang hukum ini membawa mashlahat, sedangkan yang lain justru menganggap sebaliknya –menimbulkan mafsadat (kerusakan). Suatu perbuatan bisa saja diharamkan oleh sekelompok orang karena dianggap mafsadat, namun oleh kelompok yang lain justru dihalalkan karena adanya mashlahat. Oleh karena itu, hukum syariat tidak boleh ditetapkan berdasarkan mashlahat. Penetapan hukum hanyalah hak prerogatif dari Allah swt, bukan menjadi hak manusia. Allah swt berfirman;
قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ مَا عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
”Katakanlah: “Sesungguhnya aku (berada) di atas hujjah yang nyata (Al Qur’an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik”.[TQS Al An’aam (6):57]
Allahlah Dzat yang menciptakan manusia, paling mengetahui kecenderungan, dan memahami apa yang paling baik dan adil bagi manusia. Hukum yang telah ditetapkan Allah swt tidak boleh diubah alasan mashlahat. Sesuatu yang diharamkan Allah tidak boleh dihalalkan karena dipandang ada kemashlahatan di sana. Sebaliknya, perkara yang telah dihalalkan Allah, tidak boleh diharamkan karena dianggap membawa mafsadat.
Selain itu, apa yang dianggap mashlahat oleh manusia belum tentu mashlahat oleh Allah. Allah swt berfirman;
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
”Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.[TQS Al Baqarah (2):216]
فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
”Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.[TQS An Nisaa’ (4):19]
Kemashlahatan Bukanlah ’Illat Pensyariatan Hukum Islam
’Illat adalah maqshud al-syaari’ min syar’i al-hukm (maksud dari Pembuat syariat ketika mensyariatkan sebuah hukum).[Taqiyyuddin al-Nabhaniy, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 3, hal. 337]
Pada dasarnya, jalb al-mashaalih wa dar` al-mafsadaat (mengambil mashlahat dan meninggalkan mafsadat) bukanlah ‘illat bagi hukum-hukum syara’, dan juga bukan dalil bagi hukum syara’. Jalb al-mashaalih wa dar` al-mafsadaat juga bukan ‘illat bagi syari’at Islam secara menyeluruh.
Adapun nash yang dijadikan dalil bahwa ‘illat untuk seluruh syari’at Islam adalah jalb al-mashaalih wa dar` al-mafsadaat, sesungguhnya sama sekali tidak menunjukkan bahwa jalb al-mashaalih wa dar` al-mafsadaat merupakan ‘illat hukum, akan tetapi hanya menunjukkan hikmah diturunkan dan diterapkannya syari’at Islam. Firman Allah swt “Wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil ‘alaamin”, sangat jelas ditunjukkan di sini, bahwa rahmat bagi penjuru alam tersebut dinisbahkan kepada syari’at yang dibawa oleh Mohammad saw, bukan dinisbahkan kepada penetapan hukum-hukum yang bersifat rinci. Dengan kata lain, rahmat pada ayat itu hanyalah hasil (natijah) dari penerapan syari’at, bukan sebagai “sebab” (‘illat) bagi pensyari’atan hukum Islam. Sebab, ayat ini tidak mengandung ‘illat sama sekali. Karena tidak mengandung ‘illat, maka ayat ini tidak boleh dita’lilkan.
Oleh karena itu, statement yang menyatakan bahwa ”ada tidak adanya hukum syariat tergantung pada ada tidaknya mashlahat”, jelas-jelas salah dan keliru. Pasalnya, mashlahat bukanlah ’illat pensyariatan hukum Islam, akan tetapi ia hanyalah natijah (hasil) yang akan didapat manusia tatkala menerapkan syariat Islam. Contohnya, Allah swt dan RasulNya telah menetapkan larangan bagi wanita memegang tampuk kekuasaan negara, hukuman mati bagi orang murtad, larangan mengkonsumsi riba, kewajiban sholat, puasa, haji, jihad, dan lain sebagainya. Hukum-hukum semacam ini tidak akan berubah, dan tidak boleh diubah dengan alasan tidak lagi mashlahat. Sungguh tercelalah orang yang membolehkan riba dengan alasan mashlahat, menghapus kewajiban sholat, jihad, puasa, zakat, dan lain sebagainya karena sudah tidak dianggap membawa mashlahat.
KESIMPULAN
Kata ”syarii’ah Islam” selalu mengandung konotasi hukum atau aturan Islam. Pasalnya kata ini memiliki hakekat ’urfiyyah, sehingga pemaknaannya harus sejalan dengan ’urf (kebiasaan) pengguna bahasa Arab, yakni, aturan yang ditetapkan Allah swt kepada hambaNya untuk mengatur amal perbuatannya.
Pada dasarnya, syariat Islam bila diterapkan secara kamil, syamil, dan mutakamil akan membawa mashlahat bagi umat manusia. Kemashlahatan datang ketika hukum Islam diterapkan, bukan sebaliknya, penetapan dan penerapan huum Islam tergantung ada tidaknya kemashahatan.
Kemashlahatan bukanlah ’illat pensyariatan hukum Islam, baik secara parsial maupun menyeluruh. Pasalnya, tidak ada satupun dalil yang mendasari perkara ini. Jika ada sebagian pihak berusaha menyodorkan dalil, sesungguhnya dalil-dalil tersebut tidak mengandung ’illat, namun hanyalah natijah atau hikmah hukum. Sholat misalnya, jika dilaksanakan dengan benar bisa mencegah seseorang dari kekejian dan kemungkaran. Namun mencegah kekejian dan kemungkaran bukanlah ’illat pensyariatan sholat. Seandainya ’illah pensyariatan sholat adalah ”mencegah kekejian dan kemungkaran”, tentunya jika seseorang telah mampu mencegah dirinya dari tindak keji dan mungkar, niscaya ia tidak perlu lagi sholat. Sebab, al-’illatu taduuru ma’a ma’luul wujuudan wa ’adaman (’illat itu beredar dengan ada atau tidak adanya yang di’illati).
No comments:
Post a Comment