Thursday, August 7, 2008

Benarkah Khilafah Tak Ada Dalam Nash Syariah?

Soal:

Benarkah sistem Khilafah hanyalah hasil ijtihad para Sahabat? Benarkah Khilafah tidak pernah dinyatakan dalam nash syariah? Benarkah sistem Khilafah akan menyebabkan disintegrasi dalam keragaman agama?

Jawab:

Harus dibedakan antara ijtihad Sahabat dan Ijmak Sahabat. Ijmak Sahabat adalah kesepakatan para Sahabat terhadap hukum perbuatan tertentu, baik dalam bentuk tindakan maupun ucapan, bahwa hukum tersebut merupakan hukum syariah. Hukum tersebut mereka sepakati karena mereka sama-sama melihat atau mendengarnya dari Nabi saw., baik melalui ucapan, tindakan maupun sukut Beliau; tetapi mereka tidak meriwayatkan dalilnya. Hanya saja, dengan diriwayatkannya hukum tersebut, berarti ada dalil yang menyatakannya meski tidak mereka kemukakan.

Karena itu, Ijmak Sahabat jelas berbeda dengan ijtihad Sahabat. Pasalnya, ijtihad Sahabat adalah ijtihad salah seorang Sahabat, yang bisa jadi diingkari oleh Sahabat lain. Pada titik ini, ijtihad yang dijadikan keputusan oleh seorang Sahabat yang menjadi Khalifah, yang diamini oleh para Sahabat dan rakyatnya, juga tetap tidak bisa dianggap sebagai ijmak; meski dua kriteria yang lainnya terpenuhi, yaitu kejadiannya: (1) masyhur di kalangan Sahabat; (2) seharusnya diingkari oleh pihak yang seharusnya mengingkari, tetapi tidak.1 Sebab, para Sahabat sepakat, bahwa perintah dan larangan Khalifah itu wajib dilaksanakan, lahir dan batin.

Sebagai contoh, ketika menjadi khalifah, Abu Bakar ra. menetapkan tiga kali talak dengan sekali ucapan, “Aku mentalak kamu dengan talak tiga,” sebagai talak sekali. Pada waktu itu, Umar dan para Sahabat yang lain mengikutinya. Namun, ketika Umar menjadi khalifah, tiga kali talak dengan sekali ucapan tersebut ditetapkan sebagai talak tiga. Para Sahabat yang lain mengikutinya. Apa yang ditetapkan baik oleh Abu Bakar maupun Umar ini adalah contoh ijtihad Sahabat. Ijtihad ini diikuti oleh para Sahabat bukan karena mereka semuanya sepakat pada hukumnya, melainkan karena mereka sepakat, bahwa keputusan Khalifah itu wajib dilaksanakan, lahir dan batin. Ini berbeda dengan Ijmak Sahabat. Dalam hal ini, mereka semua sepakat, dan tak seorang pun di antara mereka—sebagai orang yang layak mengingkarinya—yang menolaknya.2

Karena itu, hukum tentang wajibnya mengangkat seorang imam atau khalifah untuk menggantikan Rasul dalam mengurus urusan agama dan dunia yang disepakati oleh para Sahabat di Saqifah Bani Sa’idah adalah Ijmak Sahabat.3 Ini jelas berbeda dengan ijtihad Sahabat. Dalam hal ini, tidak ada seorang pun Sahabat yang mengingkari kewajiban tersebut. Jika dalam satu atau dua riwayat dinyatakan ada yang mengingkarinya, pengingkaran tersebut bukan mengingkari hukumnya, melainkan mengingkari orang yang menjadi khalifah.

Dengan demikian, jelas bahwa sistem Khilafah bukan merupakan hasil ijtihad para Sahabat. Belum lagi, nash-nash al-Quran dan hadis juga telah banyak menyatakannya, baik secara sharîh maupun ghayr sharîh.

Pertama: istilah khilafah dan khalifah itu sendiri bukan buatan Sahabat, apalagi fuqaha’, melainkan istilah yang telah diadopsi oleh Rasulullah, sebagaimana dalam hadis-hadis:

وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءَ فَتَكْثُرُ

Bahwa tidak ada nabi setelahku dan akan ada para khalifah, jumlah mereka pun banyak.4

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ….ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ

“Akan ada di tengah-tengah kalian era Kenabian, dengan kehendak Allah ia akan tetap ada, kemudian Dia pun mencabutnya, jika Dia berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti tuntunan Kenabian….Selanjutnya akan ada Khilafah yang mengikuti tuntunan Kenabian.” Lalu Beliau pun diam.5

Masih banyak hadis lain yang menggunakan kedua istilah tersebut secara sharîh (jelas), yaitu khulafa’ (jamak dari khalîfah) dan khilâfah.

Kedua: Nabi saw. bukan saja menyebut kedua istilah tersebut, tetapi juga menyebutkan kewajiban yang menyertainya, yaitu berbaiat kepada khalifah jika ia ada, dan tentu saja juga termasuk kewajiban untuk mengangkatnya jika ia tidak ada:

قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ

Mereka bertanya, “Apa yang Anda perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Tunaikanlah baiat kepada khalifah yang pertama, seterusnya yang pertama.6

Hadis ini merupakan kelanjutan dari hadis tentang akan datangnya para khalifah yang akan menggantikan Nabi Muhammad saw. untuk mengurus urusan agama dan dunia, sepeninggal Beliau, setelah Beliau menyatakan tidak akan ada lagi nabi setelah Beliau.

Ketiga: Nabi saw. bahkan mengancam siapa saja yang di atas pundaknya tidak ada baiat, jika dia mati, matinya dinyatakan sebagai mati Jahiliah; baik dia tidak berbaiat kepada khalifah, atau melepaskan baiat dari khalifah ketika khalifah tersebut ada, maupun tidak adanya baiat di atas pundaknya akibat tiadanya khalifah. Beliau bersabda:

وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Siapa saja yang mati, sementara di atas pundaknya tidak ada baiat (kepada seorang khalifah), maka dia mati dalam keadaan mati Jahiliah.7

Keempat: selain nash-nash hadis yang secara sharîh menyatakan Khilafah dan khalifah, berikut kewajiban untuk membaiatnya jika ada dan mengangkatnya jika tidak ada, berikut ancaman bagi siapa saja yang tidak melakukannya, nash-nash syariah juga menyatakan secara ghayr sharîh, yaitu melalui dalâlah iltizâm atau mafhûm muwâfaqah, yang kedudukannya sama dengan nash yang sharîh. Dalam firman-Nya, Allah menyatakan:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, Rasul-Nya dan pemimpin di antara kalian. (QS an-Nisa’ [4]: 59).

Perintah untuk menaati uli al-amr dalam ayat ini adalah menaati seorang pemimpin Muslim yang menaati seluruh perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya, yakni pemimpin yang menerapkan seluruh hukum syariah dalam pemerintahannya. Itu tak lain adalah khalifah, dengan sistem Khilafahnya. Jika khalifah dengan sistem Khilafahnya itu tidak ada, maka wajib diadakan. Pasalya, tidak mungkin perintah untuk menaatinya itu bisa dilakukan jika orang yang seharusnya ditaati itu tidak ada. Dengan kata lain, perintah untuk menaati uli al-amri (khalifah dengan sistem Khilafahnya) itu sekaligus meniscayakan adanya orang dan sistemnya. Jika tidak ada maka wajib diadakan sehingga ketaatan kepadanya bisa dilaksanakan. Inilah dalâlah iltizâm atau mafhûm muwâfaqah dari nash di atas.8

Ini saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa pendapat orang, kelompok atau organisasi yang menyatakan status khalifah dan Khilafah hanyalah ijtihad para Sahabat dan tidak pernah dinyatakan oleh nash adalah pendapat yang batil dan menyesatkan. Sebab, para Sahabat paham betul, apa yang dinyatakan oleh nash tidak mungkin mereka ijtihadi sehingga mereka berselisih. Sebagai contoh, para Sahabat tidak pernah berijtihad, dengan menentukan hukum yang berbeda, ketika Nabi saw. sudah menyatakan:

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

Siapa saja yang telah mengubah agamanya (murtad), bunuhlah.9

Mereka sepakat, bahwa sanksi hukum bagi orang murtad adalah hukuman mati. Karena itu, jumhur ulama sepakat, jika nash telah menyatakan hukum suatu perkara, maka tidak boleh lagi ada ijtihad.

لاَ اِجْتِهَادَ مَعَ وُرُوْدِ النَّصِّ

Tidak boleh ada ijtihad (terhadap hukum tertentu) ketika hukum tersebut telah dinyatakan di dalam nas.

Karena itu, pendapat orang, kelompok atau organisasi tersebut bukan saja batil dan menyesatkan, tetapi juga tidak ada nilainya di dalam syariah. Bukan saja karena bertentangan dengan nash syariah dan konsensus seluruh ulama kaum Muslim, kecuali kelompok sempalan (seperti Hisyam al-Fuwathi dan an-Nadzam dari sekte Muktazilah serta an-Najadat dari sekte Khawarij), yang notabene akidahnya mereka tolak, tetapi juga bertentangan dengan fakta dan realitas sejarah Islam.

Pendapat orang, kelompok atau organisasi tersebut, diakui atau tidak, merupakan bentuk penolakan terhadap hukum Allah yang ma‘lûm min ad-dîn bi ad-dharûrah (sudah diyakini sebagai ajaran agama yang urgen), ketika sistem Khilafah tersebut disebut-sebut mengancam disintegrasi dalam keragaman agama. Artinya, sistem pemerintahan Islam (Khilafah), yang notabene merupakan hukum Allah yang ma’lûm min ad-dîn bi ad-dharûrah itu, dianggap tidak cocok dan tidak layak diterapkan karena akan menyebabkan konflik horisontal, yaitu perang agama. Padahal kenyataannya tidak demikian. Umat Islam, Kristen dan Yahudi terbukti lebih dari 500 tahun hidup aman, damai dan tenteram di bawah naungan Khilafah.

Pada akhirnya, kita berdoa semoga Allah menyelamatkan Islam, kita dan seluruh umat Muhammad dari semua bentuk konspirasi untuk menyesatkan dan menghancurkan mereka, dan dari fitnah orang atau kelompok yang menjual agamanya demi mendapatkan sedikit kenikmatan dunia, baik harta, tahta maupun wanita, yang belum tentu didapatkannya.

Wallâhu Rabb al-Musta‘ân, wa ilayhi at-tâkilan. [Ust. Hafidz Abdurrahman]

Catatan kaki:

1 Ibn Hazm, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Dar al-Hadits, Kaero, cet. I, 1404 H, IV/539; as-Sarakhsi, Al-Mabsûth, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1406 H, XXVII/126;

2 Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubrâ, VII/334; Rawwas Qal’ah Jie, Mawsû‘ah Fiqh Umar bin al-Khaththab, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet. V, hlm. 1997, hlm. 628.

3 Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Lebanon, cet. I, 2004, I/807-815.

4 Muslim, Shahîh Muslim, Dar Ihya’ at-Turats al-’Arabi, Beirut, tt., III/1471; al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubrâ, Maktabah Dar al-Baz, Makkah, 1994, VIII/144.

5 Ahmad, Musnad Ahmad, hadis no. 17680.

6 Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâri, no. 3196; Muslim, Shahîh Muslim, no. 3429; Ahmad, Musnad Ahmad, no. 7619.

7 Muslim, Shahîh Muslim, no. 3441.

8 Mahmud al-Khalidi, Ma‘âlim al-Khilâfah fî al-Fikr as-Siyâsi al-Islâmi, Dar al-Jil, Beirut, cet. I, 1984, hlm. 48-49.

9 Al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, dll.

No comments: