Hiruk pikuk olimpiade Beijing di Bejing dapat dijadikan untuk mengajak umat melakkan introspeksi untuk melihat berbagai kegagalan-kegagalan kita
Oleh M. Syamsi Ali*
Dua minggu terakhir China sedang menjadi pusat perhatian mata. Bermilyar manusia dari seluruh penjuru dunia menonton perhelatan dahsyat 4 tahunan, Olympic games, yang tidak saja dituan-rumahi oleh negara berpenduduk terbesar dunia itu, tapi juga didominasi dalam peraihan medali.
China memang fenomenal. Mungkin kata yang paling pantas adalah bahwa China memang dahsyat dan fantastik. China sejak dulu, tidak saja dikenal sebagai sebuah negara, tapi sebuah peradaban yang yang sejak kala dulu banyak mendominasi dunia kita. Siapa yang tidak kenal sejarah nusantara yang juga tidak terlepas dari sejarah peradaban China?
Di saat-saat hampir semua negara di Asia digoncang oleh krisis ekonomi dan finansial di tahun penghujung 1997, China dengan tegar dan kokoh solid melalui krisis itu tanpa pengaruh yang bermakna. Jika saja kita melihat negara-negara ASEAN saat ini, termasuk dua negara Muslim mayoritas, Indonesia dan Malaysia, nampak Chinalah yang mendominasi.
Dalam dunia internasional, China dengan kalem tapi mulus dalam menjual dominasinya hampir dalam seluruh linea kehidupan global. Di PBB sendiri China memiliki posisi yang sangat diperhitungkan, bahkan terkadang lebih dperhitungkan ketimbang Rusia atau Prancis misalnya. Pasalnya, China ternyata menancapkan kuku pengaruhnya di berbagai belahan dunia, khususnya di Asia dan Afrika. Bahkan di beberapa negara Amerika Tengah dan Latin, China memiliki pengaruh ekonomi yang berat.
Mungkin bagi kita yang tinggal di negara yang terkadang dijuluki 'the only super power' ini, ternyata China pun bisa dikategorikan sudah menembus dengan goncangan yang menakutkan. Berbagai produksi kecil, dari mainan anak-anak (toys), makanan-makanan hewan piaraan, dll., telah merajai pasar negara ini. Cukup mengkhawatirkan, sampai-sampai ada upaya untuk menjatuhkan citra produksi China dengan kasus-kasus keracunan anjing, dan juga tuduhan mainan anak-anak yang membahayakan. Tuduhan demi tuduhan itu begitu keras, sampai-sampai semua siaran TV hanya menyiarkan hal tersebut berhari-hari.
Dunia Islam?
Mungkin perlu dibedakan secara jelas antara cita dan realita. Islam adalah cita semua Muslim. Tapi Muslimlah yang kemudian harus membawa cita itu ke sebuah realita. Kegagalan demi kegagalan yang dialami oleh dunai Islam saat ini tidak ada hubungannya dengan Islam. Islam dalam kenyataannya adalah kejayaan. Mungkin akan lebih tegas jika dikatakan: 'tiada kejayaan tanpa Islam dan tiada Islam tanpa kejayaan'.
Bagi beberapa kalangan, pernyataan di atas tidak diterima. Potongan pertama akan mentah-mentah ditolak oleh kalangan 'liberal-secular group', yang selalu melihat sebuah kejayaan dengan keterlepasan dari nilai-nilai agama (baca Islam). Sebaliknya, kalangan 'exclusive-minded group' sudah psti menolak yang kedua karena bagi mereka Islam itu identik dengan keterlepasan dari hiruk pikuk kemajuan dan kejayaan dunia. Bagi mereka, semua yang mirip dengan apa yang mungkin dilihat sebagai kejayaan 'ala barat' adalah tidak Islami dan bahkan antitesis dengan Islam.
Padahal, pernyataan di atas adalah ekspresi sederhana dari doa sapu jagad umat: 'Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirah hasanah'. Bahwa umat yang mengimani Islam memiliki cita hidup yang jelas, yaitu 'kejayaan dunia dan kejayaan akhirat'.
Namun realitanya, dunia Islam sangat jauh dari cita yang agung itu. Umat saat ini sedang merana di hampir seluruh linea kehidupannya. Bahkan hingga di titik kehidupan yang paling esensial sekalipun, akidah, umat sedang menghadapi krisis yang luar biasa. Saya katakana demikian, karena akidah bertujuan membangun muru'ah (dalam bahasa lain, izzah) atau mungkin dalam bahasa populernya 'self confidence'. Kenyataannya, umat kehilangan kepercayaan diri, dan itu merupakan identifikasi krisis iman yang paling nyata.
Secara ekonomi, dunia Islam dikaruniai nikmat kekayaan yang luar biasa. Ada yang memperkirakan, lebih 65% kekayaan alam, dari minyak, pertambangan, lautan, hutan, dll., di berbagai negara di Asia dan Afrika, ada di negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Tapi menyakitkan, mereka yang dikategorikan manusia-manusia yang hidup di bawah garis kemiskinan juga mayoritasnya ada di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Secara politik, hanya bilangan jari saja dari sekian negara-negara Muslim yang mempraktekkan hukum 'syura'. Mayoritasnya, jika tidak dictatorship, ya dipaksa untuk nmenerapkan sistim orang lain. Mungkin kelompok kedua ini boleh jadi memakai sistim dengan istilah cantik, demokrasi misalnya. Tapi kenyataannya, semua hanya simbolisme dominasi sistim yang orang lain paksakan. Buktinya, sistim itu dianggap sukses jika 'delivering interests of certain power'. Jika tidak, walau kenyataannya melakukan hal yang sama, justeru dianggap tidak demokrasi.
Secara kultur dan sosial, dunia Islam masih sangat morat-marit. Kedisiplinan dan etos kerja sangat jauh di atas rata-rata kedisiplinan dan etos kerja orang-orang yang kita sebut 'kafir'. Betapa seharusnya kita kagum dengan etos kerja orang-orang China di kota dunia, New York. Terbukti dengan menjamurnya restoran-restoran China hampir di mana-mana. Demikian pula dengan komunitas Korea, dll.
Dalam arena kehidupan global, umat Islam nyata termarjinalkan dalam segala hal. Produk-produk untuk kebutuhan asasi umat, hatta dalam hal-hal yang sifatnya ritual sekalipun, justeru diproduksi oleh orang lain. Lihatnya pasar di mekah, dari tasbih, sajadah, baju jubah, dll., banyak justeru 'made in China'.
Mungkin yang paling nyata adalah kenyataan bahwa di pusat diplomasi dunia, PBB, dunia Islam sama sekali tidak terwakilkan secara baik. Suara negara-negara Muslim hampir tidak terdengarkan di saat seharusnya didengar karena membela hak-hak sesama yang terinjak-injak di berbagai belahan dunia. Bandingkan antara jumlah negara Uni Eropa dengan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Namun signifikasi suara kedua organisasi (OKI dan EU) sangat berbeda, bagaikan langit dan bumi.
Alkhulasoh, umat Islam kini berada di sebuah jurang kegagalan. Dan sangat menyedihkan, terkadang kegagalan-kegagalan itu justeru dirasakan oleh sebagian sebagai 'Islamically justified'.
Apa Gerangan?
Kenyataan ini menjadikan banyak kalangan yang tidak habis pikir. Apa gerangan? Apa yang sedang terjadi? Apa penyebab sehingga terjadi seperti itu? Bukankah umat Islam pernah jaya lebih 7 abad? Sebuah kejayaan terpanjang dalam sejarah hidup manusia?
Pada akhirnya, banyak kalangan pengamat hanya bisa menempatkan pengamatan mereka di satu sisi. Terkadang Islamnya yang disesali. Atau sebaliknya, terkadang apa yang dipersepsikan sebagai lawan Islam yang disesali. Terkadang pula para pengamat itu hanya mengantar umat kepada sikap 'menuduh' dan atau 'menyesali'. Menuduh orang lain atas kegagalan-kegagalan umat. Atau sebaliknya juga menyesali diri sendiri atas kegagalan-kegagalan itu.
Yang disayangkan, bahwa ada kecenderungan sebagian untuk saling melemparkan kesalahan. Dan tentunya yang paling tidak membahayakan, ketika pihak-pihak tertentu merasa 'dirinyalah atau metode pendekatannyalah' yang absolute benar. Semua yang tidak sejalan salah dan bahkan dianggap menjadi penyebab atau kontributor kegagalan-kegagalan itu.
Dalam hal ini, ada dua pandangan ekstrim yang sedang berlaga. Pandangan yang mengatakan bahwa dunia Islam saat ini terbelakang karena masih terkungkung oleh konsepsi syariah Islam, yang menurutnya, hanya menjadi aral dalam upaya mencapai kejayaan itu. Sebaliknya, ada pula yang sangat simplistik dalam melihat bahwa berbagai kegagalan disebabkan oleh tidak ditegakkannya syariah Islam. Yang runyam, ketika syari'ah Islam ditafsirkan secara sempit dengan berbagai simbolisme agama yang sama sekali tidak menyentuh substansi kehidupan manusia.
Dalam sebuah dialog antar agama (Islam dan Yahudi) di New York University (NYU) beberapa waktu lalu, saya ditanya oleh seorang peserta: 'Bagaimana sikap anda jika ada Muslim yang ingin mempraktekkan syariah di Amerika?'
Sebagian peserta Muslim tentu bingung untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ada pula yang cenderung mengatakan bahwa syari'ah itu adalah isu lama, yang tidak ada lagi dalam agama ini. Sebagian yang lain, menginginkan jika saya menegaskan bahwa tujuan mulia Islam memang adalah menegakkan syari'ah dalam sebuah tatanan pemerintahan Islam yang disebut khilafah.
Dengan tenang dan senyum, saya jawab bahwa sesungguhnya dari pertanyaan anda saya memahami jika anda sedang phobic (ketakutan) dengan konsep syari'ah. Itu menandakan bahwa yang perlu saya lakukan bukan menjelaskan sikap saya, tapi menjelaskan konsepsi syari'ah untuk membenarkan persepsi anda tentang syari'ah itu sendiri.
'Syari'ah adalah jalan hidup. Syari'ah adalah aturan yang mengatur kehidupan seorang Muslim secara menyeluruh, yang dirincikan kemudian dalam sistim hukum mufasshol (detail) yang disebut fiqh. Intinya, tiada Islam tanpa Syari'ah, dan bagi seorang Muslim tiada kehidupan bermakna tanpa Syari'ah'.
Jawaban saya di atas tentunya mengejutkan bagi sang penanya. Penjelasan-penjelas an saya tentang Islam yang terbuka, bersahabat, maju, berbudaya, dll., seolah sirna dengan penjelasan saya tentang Syari'ah tersebut. Bagi dia, seharusnya saya mengatakan bahwa Syari'ah itu adalah hukum kuno yang hanya berlaku 25 abad silam. Kini, dengan kehidupan modern di abad 21, umat tidak perlu lagi syari'ah.
Tapi kemudian saya susuli: 'Amerika Serikat, sebagai sebuah negara dan bangsa, telah mempraktekkan banyak hal yang sifatnya syari'ah. Bahkan tidak berlebihan jika saya katakan, dalam beberapa hal, Amerika lebih mempraktekkan syari'ah dari negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. 'Keadilan, kesetaraan, kemerdekaan, dan pertanggung jawaban publik' adalah bagian tak terpisahkan dan bahkan menjadi asas dari seluruh sendi-sendi kehidupan syari'ah kemudian'.
Penjelasan saya tersebut ternyata tercerna secara baik oleh sebagian besar peserta. Sehingga pada akhirnya saya bisa mengatakan, apa yang anda saksikan saat ini di berbagai belahan dunia Islam, dari kediktatoran, kemiskinan, keterbelakangan di dunia sains dan teknologi, hilangnya kedisiplinan sosial dan rendahnya etos kerja, semua itu menunjukkan kegagalan umat Islam dalam menerapkan syari'ah yang sejati.
Pada akhirnya, dengan hiruk pikuk olimpiade Beijing saat ini, umat diajak untuk melakukan introspeksi. Apakah kegagalan-kegagalan itu karena konsepsi Islam? Atau sebaliknya, berbagai kegagalan yang terjadi justeru disebabkan oleh kegagalan umat dalam menerapkan syari'ah yang sejati. Kalaulah Syari'ah itu menjadi 'penghalang' kebangkitan, seharusnya Turki saat ini lebih hebat dari Jerman. Sebaliknya, seandainya 'pengakuan Syari'ah' itu menjadi fondasi kejayaan, tentu Saudi Arabia telah jauh lebih maju ketimbang Singapura.
Saya hanya kembali diingatkan oleh pernyataan Prof. Dr. Habibie, untuk bangkit diperlukan manusia-manusia yang berotak Jerman, tapi berhati Mekah. Mungkinkah? Pasti bisa karena itulah makna 'ulil al baab' yang memiliki dua sayap yang mampu menghantarkannya kepada kehidupan yang lebih tinggi, yaitu 'sayap dzikir dan sayap fikir'.
"alladzina yadzkuruna Allaha qiyaaman wa Qu'uudan wa 'aala junuubihm, wa yatafakkaruna fi khalqis samawati wal al ardh."
No comments:
Post a Comment