Sunday, August 10, 2008

Metode Distribusi Kekayaan Menurut Islam

Masyarakat tidak perlu panik, persediaan beras kita cukup untuk setahun.” Pernyataan ini atau yang serupa sering diucapkan seorang pejabat ketika menanggapi isu krisis pangan. Sekilas pernyataan itu tampak benar. Namun, benarkah tersedianya beras yang cukup atau berlimpah bisa menjamin setiap orang dapat memperolehnya?

Jumlah persediaan berlimpah ternyata bukan jaminan. Itulah jawabannya. Kasus busung lapar yang mencuat dua tahun silam bisa menjadi salah contohnya. Sebagaimana disitir Menkes Siti Fadilah Supari, ada sekitar 1,67 juta anak balita di Indonesia yang menderita gizi buruk. Banyaknya kasus busung lapar jelas bukan disebabkan oleh minimnya jumlah persediaan pangan. Buktinya, pada saat yang sama banyak orang mengalami obesitas karena kelebihan lemak dan kalori. Bukti lainnya, kasus busung lapar juga terjadi di beberapa daerah yang dikenal sebagai lumbung padi, seperti NTB. Di Provinsi tersebut, ada sekitar 49.000 anak balita yang menderita busung lapar. Realitas itu menjadi bukti nyata bahwa kelaparan bukan disebabkan oleh minimnya jumlah persedian pangan, namun karena buruknya distribusi.

Demikian pula kehidupan mengenaskan yang dialami 39,1 juta jiwa penduduk Indonesia yang tergolong miskin. Penghasilan mereka yang hanya Rp 152 ribu perkapita perbulan atau sekitar Rp 5 ribu perhari (hasil survei Badan Pusat Statistik akhir tahun 2006) membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Tidak sedikit di antara mereka yang harus makan nasi aking, berpakaian lusuh dan kumal, dan tinggal di gubuk reot dan kumuh. Realitas itu terjadi bukan disebabkan karena sedikitnya kekayaan. Namun, karena sebagian besar kekayaan terkosentrasi pada segelintir orang. Sukanto Tanoto (Bos Grup Raja Garuda Mas), orang Indonesia terkaya di Indonesia versi Majalah Forbes Asia, misalnya, kekayaannya mencapai 2,8 US dolar miliar (sekitar Rp 25,2 triliun). Rachman Halim, pemilik Gudang Garam, memiliki kekayaan sebesar 1,90 US dolar miliar (Rp 17,1 triliun) (Tempointeraktif.com, 6/9/06).

Problema Ekonomi dan Solusinya

Beberapa fakta di atas menunjukkan, problem utama dalam ekonomi sesungguhnya adalah masalah distribusi kekayaan. Melimpahnya jumlah alat pemuas kebutuhan dalam sebuah negara tidak serta-merta bisa membuat semua orang tercukupi. Kemiskinan akan tetap terjadi jika sebagian besar kekayaan itu dikuasai segelintir orang. Padahal kebutuhan primer manusia harus dipenuhi tiap-tiap orang. Karena itu, diperlukan sebuah sistem ekonomi yang mengatur distribusi kekayaan hingga kebutuhan tiap-tiap orang-orang dapat terpenuhi.

Sistem ekonomi Kapitalisme jelas tidak bisa diharapkan menjadi solusi. Alih-alih menjadi solusi, buruknya distribusi kekayaan yang selama ini terjadi justru disebabkan oleh Kapitalisme. Sistem Kapitalisme yang hanya mengandalkan mekanisme pasar sebagai satu-satunya mekanisme distribusi kekayaan telah memunculkan sekelompok kecil orang yang menguasai sebagian besar aset ekonomi.

Satu-satunya sistem ekonomi yang bisa diharapkan mengatasi problem ekonomi hanyalah sistem ekonomi Islam. Islam memang tidak mengharuskan persamaan dalam kepemilikan kekayaan, namun Islam juga tidak membiarkan buruknya distribusi kekayaan. Sebab, Islam memandang individu sebagai manusia yang harus dipenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya secara menyeluruh.

Sebagai buktinya, banyak sekali ayat al-Quran dan al-Hadits yang memerintahkan manusia untk menginfakkan harta dan memberi makan orang-orang fakir, miskin, dan kekurangan, seperti dalam QS al-Hajj [22]: 28; al-Baqarah [2]: 177, 184, 215; al-Insan [76): 8, al-Fajr (90):13-14; dan al-Maidah [5]: 89. Al-Quran menyatakan bahwa dalam setiap harta terdapat hak bagi orang miskin. Allah Swt. berfirman:

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

Pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta-minta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (QS adz-Dzariyat [51]: 19).

Islam mencegah berputarnya harta kekayaan hanya di kalangan orang-orang kaya, sementara kelompok lainnya tidak memperoleh bagian. Allah Swt. berfirman:

كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ

Supaya harta itu jangan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kalian. (QS al-Hasyr [59]: 7).

Mekanisme Pasar dan Nonpasar

Secara umum, sistem ekonomi Islam menetapkan dua mekanisme distribusi kekayaan. Pertama: mekanisme pasar, yakni mekanisme yang terjadi akibat tukar-menukar barang dan jasa dari para pemiliknya. Di antara dalil absahnya mekanisme ini adalah firman Allah Swt.:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian (QS al-Nisa’ [4]: 29).

Tidak sekadar diizinkan, Islam juga menggariskan berbagai hukum yang mengatur mekanisme ini. Di antaranya adalah larangan berbagai praktik yang merusak mekanisme pasar. Islam, misalnya, melarang praktik penimbunan barang (al-ihtikâr); sebuah praktik curang yang dapat menggelembungkan harga akibat langkanya barang di pasaran. Kelangkaan bukan karena fakta sesungguhnya, namun karena rekayasa pemilik barang. Demikian pula penimbunan emas dan perak (QS al-Taubah [9]: 34). Dalam mekanisme pasar, kedua logam mulia itu berfungsi sebagai alat tukar (medium of exchange). Sebagai alat tukar, uang memiliki kedudukan amat strategis. Karena itu, jika uang ditarik dari pasar, maka akan berakibat pada seretnya pertukaran barang dan jasa, atau bahkan terhenti.

Pematokan harga (al-tasy’îr) yang biasanya dilakukan pemerintah juga dilarang. Kebijakan itu jelas merusak prinsip ‘an tarâdh[in] (yang dilakukan secara sukarela) antara pelaku transaksi. Padahal merekalah yang paling tahu berapa seharusnya harga barang itu dibeli atau dijual. Karena tidak didasarkan pada kemaslahatan mereka, kebijakan ini sangat berpotensi merugikan salah satu atau kedua belah pihak.

Demikian pula praktik penipuan, baik penipuan pada komoditas dan alat pembayarnya (at-tadlîs) maupun penipuan pada harga (al-ghabn al-fâhisy). Praktik curang itu juga akan menciptakan deviasi harga. Pada umumnya, seseorang bersedia melakukan pertukaran barang dan jasa karena ada unsur kesetaraan. Karena itu, harga barang ditentukan oleh kualitas barang. Namun, akibat praktik at-tadlîs—yakni menutupi keburukan atau cacat pada komoditas serta menampakkannya seolah-olah baik—barang yang seharusnya berharga murah itu melonjak harganya.

Demikian pula al-ghabn al-fâhisy (penipuan harga). Pembeli atau penjual memanfatkan ketidaktahuan lawan transaksinya terhadap harga yang berkembang di pasar. Akibatnya, penjual atau pembeli mau melakukan transaksi dengan harga yang terlalu murah atau terlalu mahal. Semua praktik tersebut jelas dapat mengakibatkan deviasi harga.

Apabila berbagai hukum itu dipraktikkan, akan tercipta pasar yang benar-benar bersih dan fair. Para produsen yang menginginkan barangnya berharga mahal akan kreatif memproduksi barang yang benar-benar berkualitas. bukan dengan jalan menimbun, menipu, atau menutut pemerintah mematok tinggi harga barangnya; yang merugikan pihak lain.

Kendati telah tercipta pasar yang bersih, tetap saja ada orang-orang yang tersingkir dari mekanisme pasar itu dengan berbagai sebab, seperti cacat fisik maupun non-fisik, keterampilan dan keahlian yang kurang, modal yang sedikit, tertimpa musibah, dan sebagainya. Karena mereka tidak bisa ‘menjual’ sesuatu, maka mereka pun tidak bisa memperoleh pendapatan. Padahal kebutuhan primer mereka tetap harus dipenuhi. Lalu dari manakah mereka memperoleh pendapatan?

Karena itulah, di samping mekanisme pasar, Islam menyediakan mekanisme kedua: mekanisme nonpasar, yakni sebuah mekanisme yang tidak dihasilkan dari transaksi pertukaran barang dan jasa. Barang dan jasa mengalir dari satu pihak kepada pihak lain tanpa meminta timbal balik. Mekanisme bisa diterapkan kepada orang-orang lemah, miskin, dan kekurangan. Dengan mekanisme tersebut, mereka diharapkan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan lebih dari itu, mereka dapat bangkit untuk kembali berkompetisi dalam mekanisme pasar dengan modal dari mekanisme nonpasar itu.

Dalam Islam cukup banyak aliran barang dan jasa yang tidak melalui mekanisme pasar. Di antaranya adalah zakat. Islam mewajibkan orang kaya membayar zakat. Harta itu kemudian disalurkan kepada delapan golongan, yang sebagian besarnya adalah orang-orang miskin dan membutuhkan pertolongan. Sebagai sebuah kewajiban, pembayaran zakat tidak harus menanti kesadaran orang-perorang. Negara juga harus proaktif mengambilnya dari kaum Muslim (QS at-Taubah [9]: 103), sebagaimana yang dilakukan Khalifah Abu Bakar. Orang yang menolak untuk membayar zakat beliau perangi hingga menyerahkan zakatnya.

Selain zakat, ada juga infak dan sedekah yang disunnahkan. Semua jenis pemberian itu dilakukan tanpa mengharap pengembalian. Demikian pula hibah, hadiah, dan wasiat; termasuk pula pembagian harta waris. Negara juga bisa memberikan tanah kepada warganya. Dalam fikih, kebijakan itu dikenal dengan iqthâ’.

Dengan adanya dua mekanisme itulah Islam dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap warganya.

Keseluruhan Sistem dan Peran Negara

Penataan distribusi kekayaan dalam sistem ekonomi Islam tidak hanya dilakukan di ujung akibat, namun dalam keseluruhan sistemnya. Islam telah mencegah buruknya distribusi kekayaan mulai dari ketentuan kepemilikan. Islam, misalnya, menetapkan sejumlah sumberdaya alam sebagai milik umum, seperti tambang yang yang depositnya melimpah; sarana-sarana umum yang amat diperlukan dalam kehidupan (air, padang rumput, api, dll); dan harta-harta yang keadaan aslinya terlarang bagi individu tertentu untuk memilikinya (sungai, danau, laut, masjid, lapangan, dll).

Jika dicermati, SDA yang tergolong sebagai milik umum itu amat penting bagi hajat hidup manusia. Nilainya pun amat besar. Apabila SDA itu boleh dikuasai individu tertentu, niscaya harta akan terkosentrasi pada sekelompok orang. Dengan menguasai SDA itu, pemilik modal besar akan dengan mudah pula menggelembungkan kekayaannya. Sebaliknya, kalangan miskin kian kesulitan mengakses SDA itu dan memenuhi kebutuhannya.

Islam juga mewajibkan negara menyediakan pendidikan gratis terhadap warganya. Ketentuan ini dapat memberikan kesempatan luas bagi kalangan miskin untuk mengubah keadaannya. Berbeda halnya jika biaya pendidikan dibebankan kepada rakyatnya sebagaimana saat ini. Mahalnya biaya pendidikan menutup akses kalangan miskin untuk memperolehnya. Ketika mereka tidak bisa mengenyam pendidikan, mereka pun tidak memiliki keahlian dan keterampilan. Akibatnya, mereka kehilangan harapan untuk mengubah keadaannya.

Apabila masyarakat mengalami kesenjangan yang lebar antar individu, negara juga diwajibkan memecahkannya dengan mewujudkan keseimbangan dalam masyarakat. Caranya dengan memberikan harta negara yang menjadi hak miliknya kepada orang-orang yang memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya.

Dari paparan di atas, nyatalah bahwa hanya sistem ekonomi Islam yang bisa menjadi solusi bagi buruknya distribusi kekayaan. Tentu saja, keunggulan sistem Islam hanya akan mewujud secara sempurna jika ada instiusi pemerintahan Islam, yakni Khilafah, yang menerapkannya secara total. [Rokhmat S. Labib, M.E.I.; Ketua Lajnah Tsaqafiyyah-HTI]

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb.

No comments: