Wednesday, August 27, 2008

Perbedaan Penentuan Awal Bulan Ramadhan dalam Tinjauan Fikih Islam

Beberapa hari lagi kita islam akan menghadapi bulan suci Ramadhan bulan yang penuh rahmat dan kasih sayang. Tapi, biasanya selalu dihadapkan dengan perbedaan

Beberapa hari lagi umat islam akan menghadapi Ramadhan, Tamu agung sekaligus bulan suci yang penuh rahmat (kasih sayang), magfirah (pengampunan) dan pembebasan dari api neraka. Momentum yang sangat tepat untuk melakukan perubahan dan perbaikan individu dan sosial. Kesempatan berharga untuk melakukan amal kebajikan, pembinaan jiwa, introspeksi diri dan segala bentuk sarana penunjang untuk meningkatkan kualitas ketakwaan di sisi Allah SWT. Bulan yang lebih baik nilainya dibandingkan seribu bulan, di mana Allah SWT akan melipat gandakan pahala amal kebaikan dan mengampuni noda dan dosa.

Para salafus shalih selalu merindukan datangnya bulan ramadhan. Mereka menantinya dengan penuh harap dan melakukan persiapan sejak dini untuk menyambutnya. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kelancaran pelaksanaannya baik materi maupun ruhi sudah tersedia dan terprogram secara matang.

Mereka memaknai ramadhan secara luas. Tidak hanya sebagai bulan untuk melakukan sholat, berzakat dan ritual ibadah lainnya saja akan tetapi lebih dari itu sejarah mengabadikan bahwa beberapa peristiwa penting terjadi pada bulan Ramadhan. diantaranya; perang Badar, perang Hunain, Fathu Mekah (penaklukan kota Mekah) dan perang Ain Jalut. Hal tersebut bisa terelisasi berkat persatuan dan kesatuan umat islam dalam memahami nilai-nilai yang terkandung dalam bulan ramadhan dan menjadikannya sebagai spirit untuk melakukan perubahan dan perbaikan.

Namun fenomena yang menarik dan terjadi hampir setiap tahunnya adalah sampai saat ini umat islam di Indonesia tidak pernah menemukan kata sepakat untuk penentuan awal ramadhan, atau idhul fithri atau idhul adha. Masing-masing organisasi massa islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis, HT dan DDI kerap mengeluarkan hasil "ijtihadnya" dalam penentuan awal bulan ramadhan lalu memfatwakan kepada massanya untuk mengikutinya.

Hal tersebut berimbas kepada kebingungan dan kegamangan sebagian umat islam dalam memulai puasa, idul fithri dan idul adha. Terkadang di suatu desa atau kampung, karena penduduknya berbeda organisasi menimbulkan perbedaan mereka dalam memulai puasa atau idhul fithri.

Anehnya fenomena yang sama tidak terjadi di belahan dunia islam lainnya seperti Timur Tengah dan Afrika. Kalaupun terdapat perbedaan dalam penentuan awal ramadhan, itu hanya terjadi antar negara bukan di satu negara sebagaimana kejadian di Indonesia.

Dalam beberapa tahun misalnya antar negara Arab Saudi dan Mesir atau Sudan terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan Ramadhan.

Khilafiah (perbedaan) antar negara tersebut dalam tinjauan fikih sah-sah saja, karena mungkin disebabkan perbedaan Mathla' (posisi terbitnya hilal).

Nah tulisan yang sederhana ini akan mencoba membahas faktor penyebab terjadinya khilafiah (perbedaan) para ulama mengenai persoalan tersebut dari tinjauan fiqih islam dan bagaimana pendapat mereka.

Penentuan Awal Bulan dan Fikih Islam

Khilafiah (perbedaan) para ulama islam dalam menentukan awal bulan bersumber dari perbedaan mereka dalam melihat hilal atau lebih dikenal dengan nama ikhtilaful mathali'. maksudnya bukan berarti bahwa matahari berjumlah lebih dari satu dan terbit di beberapa tempat, tetapi perbedaan posisi seseorang dalam melihat hilal. terkadang hilal bisa dilihat oleh mata telanjang atau dengan menggunakan alat teropong pada posisi tertentu, sementara itu ia tidak bisa terlihat pada suatu daerah karena tertutup awan atau jarak pandang yang jauh.

Kalau kita telaah khazanah keilmuan islam kita akan temukan bahwa ada dua sistem yang dipergunakan untuk penentuan awal bulan. dan itu mempunyai dalil kuat berdasarkan ayat Al -Quran dan hadits Rasul.

Pertama, Ru'yah Hilal. Adalah penentuan ramadhan dengan menggunakan penglihatan hilal (awal bulan) baik dengan mata telanjang atau alat teropong.

Kedua, Hisab. Adalah penentuan awal ramadhan dengan menggunakan hitungan hari.

Sudah menjadi kesepakatan para ulama islam bahwa standar untuk menentukan awal bulan adalah ru'yah hilal. Itu terjadi setelah tanggal 29 atau 30 sesuai dengan jumlah bilangan bulan arab. Hisab dalam konteks ini tidak dipergunakan karena tingkat keakuratannya yang lemah. Terkadang terjadi selisih 1 atau 2 hari dengan bulan arab. tetapi kalau hilal tidak bisa terlihat setelah tanggal 30, maka mereka membolehkan untuk menggunakan hisab (hitungan hari).

Allah SWT berfirman: Bulan ramadhan yang diturunkan padanya Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas dari petunjuk dan pembeda. Barangsiapa di antara kalian yang melihatnya (hilal), maka berpuasalah. (QS. Al Baqarah: 185).

Juga berdasarkan hadits Rasululah SAW yang diriwayatkan Abu Hurairah dan Ibnu Umar: hendaklah kalian berpuasa ketika melihat hilal ramadhan, dan berbuka puasa (idul fithri) ketika melihat hilal syawal. apabila hilal tidak kelihatan (karena terhalangi awan atau yang lainnya) maka sempurnakan bulan sya'ban menjadi 30 hari. (ditakhrij Bukari, Muslim, An nasa'i, Ad Darami, Ahmad dan Baihaqi).

Menurut riwayat Ibnu Umar: jika kalian melihat hilal maka berpuasalah, jika kalian melihat hilal (syawal) maka berbukalah puasa. jika hilal tidak kelihatan, maka perkirakan 30 hari. (ditakhrij Bukhari, Muslim, An Nasa'i dan Ibnu Majah).

Para ulama sepakat bahwa jika hilal terlihat di suatu negeri, maka tidak wajib bagi negeri yang letaknya berjauhan untuk berpuasa.

Mereka berbeda pendapat dalam persoalan sebagai berikut: jika penduduk suatu negeri melihat hilal, apakah wajib hukumnya bagi negeri tetangganya mengikutinya untuk berpuasa? atau apakah masing-masing negeri memiliki mathla' (tempat terbit hilal) tersendiri?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini: Pertama: apabila hilal sudah terlihat, maka wajib bagi negeri tetangganya untuk mengikutinya berpuasa. itu pendapat jumhur (mayoritas) ulama, termasuk murid-murid Imam Maliki yang dari Mesir sebagaimana diriwayatkan Ibnul Qasim. (Bidayatul Mujtahid juz 2 hal 45-47).

Dalil yang dipergunakan sebagai sandaran adalah: Keumuman perintah Allah dan Rasulnya yang dalam QS. Al Baqarah: 185 dan hadits riwayat Abu Hurairah dan Ibnu Umar di atas. Teks perintah berpuasa berdasarkan "rukyatul hilal" bersifat umum berlaku untuk semua umat islam di mana saja ia berada, Kedua: jika penduduk suatu negeri melihat hilal, maka tidak wajib bagi negeri tetangganya untuk mengikutinya berpuasa. itu pendapat mazhab Syafi'i. termasuk murid-murid Imam Malik yang dari madinah, juga Ibnu Al Majisyun dan Al Mughirah. (Bidayatul Mujtahid juz 2 hal 45-47).

Dalil mereka adalah Hadits riwayat Muslim dari Kuraib bahwasanya Ummu Al Fadhl Binti Haritsah pernah mengutus Kuraib ke Muawiyah yang waktu itu menjadi gubernur Syam, Kuraib bercerita: saya berangkati ke Syam dan menunaikan keinginan Ummul Fadhl, lalu tiba bulan ramadhan, saya melihat hilal pada hari jum'at dan besoknya berpuasa. Kemudian saya kembali ke Madinah pada akhir bulan ramadhan. Ketika Kuraib sampai di Madinah, Abdullah bin Abbas bertanya: kapan engkau melihat hilal? aku menjawab:hari jum'at. lalu bertanya lagi: engkau sendiri yang melihatnya? aku menjawab: yang lain juga dan mereka semua berpuasa pada pagi harinya termasuk Muawiyah. Ibnu Abbas berkata: kita di Madinah melihat hilal pada hari sabtu, kita masih berpuasa sampai menyempurnakan 30 hari. Kuraib berkata: saya bertanya: tidakkah cukup kita mengikuti Muawiyah? Ibnu Abbas menjawab: tidak, seperti itu kita diperintah oleh Rasulullah SAW. (ditakhrij muslim, Abu Dawud, At Turmuzi, An Nasa'i dan Ahmad Bin Hanbal).

Ibnu Rusyd dalam kitabnya bidayatul mujtahid mengomentari hadits ini: secara jelas/nyata hadits ini menuntut bahwa setiap negara memiliki legalitas hukum tersendiri dalam melakukan ru'yah, tanpa berketergantungan dengan negara lain. (Bidayatul Mujtahid, juz 2 hal 50-51).

Berangkat dari tinjauan fiqih tersebut, sudah menjadi semakin jelas bahwa perbedaan para ulama dalam menentukan awal bulan ramadhan bersumber dari perbedaan mereka dalam Ru' yatul Hilal dan itu terjadi antar negara bukan di suatu negara sebagaimana kasus di Indonesia.

Jadi dalam bingkai persatuan dan kesatuan umat islam yang merupakan maqasidus Syari'ah (tujuan keber-agama-an), sudah seyogyanya umat islam di indonesia menyatukan persepsi dalam penentuan awal ramadhan dan berusaha menghindari dan mengurangi keputusan-keputusan yang kontra produktif yang berpeluang menimbulkan bibit-bibit perpecahan antar umat islam. Semoga dengan niat ikhlas dan keinginan kuat melalui penyatuan persepsi mengenai penentuan awal bulan ramadhan, umat islam di Indonesia mampu bangkit dari krisis-krisis lainnya. Amiin. Wallahu a'lam bis showab.


No comments: