MEREKONSTRUKSI KEUANGAN PUBLIK ISLAM
(Telaah Kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah)
Pengantar
Kitab al-Amwal fi Daulah al-Khilafah ini (selanjutnya disingkat al-Amwal) ditulis oleh Amir kedua Hizbut Tahrir, Syaikh Abdul Qadim Zallum (w. 2003). Kitab al-Amwal (1983) dapat dikatakan merupakan syarah (penjelasan) dan perincian dari kitab an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam karya Taqiyuddin an-Nabhani (1990), khususnya yang menyangkut segala kekayaan publik yang dikelola oleh negara Khilafah (Baitul Mal), seperti ghanimah, fai`, khumus, jizyah, dan kharaj.
Karenanya, kitab ini sebenarnya lebih tepat diposisikan sebagai kitab tentang keuangan publik (public finance), bukan sekedar tentang keuangan. Istilah "publik" sangat penting di sini, karena keuangan dan keuangan publik merupakan dua wilayah studi yang sangat berbeda dalam studi ekonomi kontemporer (Suharto, 2004).
Fokus studi keuangan (finance) adalah kekayaan atau kepemilikan dalam arti umum, misalnya harga barang modal (capital assets). Sedang keuangan publik (public finance) fokusnya lebih khusus, yaitu mengenai pendapatan dan belanja pemerintah. Dengan kata lain, fokusnya adalah kekayaan publik, yaitu kekayaan atau hak milik yang dikelola oleh pemerintah untuk kepentingan rakyat. (Suharto, 2004).
Kitab al-Amwal karya Syaikh Zallum ini, dengan demikian, melengkapi karya-karya fuqaha terdahulu tentang keuangan publik Islam dalam negara Khilafah. Di antaranya adalah dua kitab yang sama-sama berjudul al-Kharaj, masing-masing karya Abu Yusuf (w.182 H/789 M) dan Yahya bin Adam (w. 203 H/818 M). Juga empat kitab yang sama-sama berjudul Al-Amwal, masing-masing karya Abu Ubaid (w. 224 H/838 M), Ibnu Zanjawaih (w. 251 H/865 H), Qudamah bin Ja’far (w. 320 H/932 M), dan Abu Ja’far al-Dawudi (402 H/1011 M) (Suharto, 2004).
Isi Kitab
Kitab al-Amwal tersusun dari satu bab Mukadimah dan 4 (empat) bab batang tubuh, yaitu : (1) Baitul Mal dan Diwan-Diwannya, (2) Harta Kekayaan Negara Khilafah, (3) Harta-Harta Zakat, dan (4) Mata Uang. Berikut deskripsi dan analisisnya.
1. Mukadimah
Bab Mukadimah walau singkat (h. 11-12), sangat penting dibaca untuk memahami pokok-pokok pikiran penulisnya dan keterkaitan satu bab dengan bab lainnya. Bab ini menerangkan empat hal. Pertama, keharusan negara Khilafah guna menerapkan Islam sebagai sistem kehidupan. Khilafah itulah yang bertugas mengelola segala pendapatan dan belanja negara, demi melaksanakan ri’ayah al-syu`un (pengaturan kepentingan rakyat) dan dakwah Islam. Kedua, penjelasan substansi kitab, yakni hukum-hukum syariah tentang kekayaan negara baik yang merupakan pendapatan (waridat) maupun belanja (nafaqat). Ketiga, keharusan untuk mengetahui konversi satuan-satuan zaman dulu yang terkait harta – yaitu satuan panjang, jarak, takaran, dan timbangan-- ke dalam satuan modern. Keempat, penjelasan tentang mata uang dinar dan dirham yang mempunyai posisi strategis berkaitan dengan kekayaan negara. Kelima, sumber hukum dan metodologi ijtihad dan tarjih yang digunakan penulisnya untuk menyusun kitab.
2. Baitul Mal dan Diwan-Diwannya
Dari Mukadinah di atas, dapat dipahami mengapa ada bab tentang Baitul Mal. Sebab institusi negara yang bertugas mengelola segala pemasukan dan pengeluaran negara tiada lain adalah Baitul Mal.
Baitul Mal ini dalam kitab-kitab Hizbut Tahrir nampak terlihat semakin strategis. Memang an-Nabhani telah menerangkan hukum-hukum Baitul Mal, baik hukum tentang pendapatan (waridat) maupun belanja (nafaqat). Namun beliau tidak merinci aspek pengorganisasiannya. Zallum-lah yang melakukan pengorganisasiannya lebih jauh. Baitul Mal, setelah dirinci Zallum, terbagi menjadi dua departemen utama, yaitu Departemen Pendapatan (qism al-waridat) dan Departemen Pembelanjaan (qism al-nafaqat). Departemen Pendapatan itu oleh Zallum dirinci lagi menjadi 3 diwan (kantor) sedangkan Departemen Pembelanjaan dirinci menjadi 8 diwan (h. 7).
Namun an-Nabhani dan Zallum sama-sama belum memposisikan Baitul Mal sebagai struktur negara tersendiri. Barulah di masa Amir Hizbut Tahrir sekarang, Syaikh Atha` Abu ar-Rusytah, Baitul Mal dijadikan struktur tersendiri yang langsung berada di bawah Khalifah, sejajar dengan struktur lainnya seperti peradilan (al-Qadha`) dan wali (gubernur).
Pengorganisasian Baitul Mal ini merupakan kontribusi khusus Syaikh Zallum, menyempurnakan kontribusi Syaikh an-Nabhani yang telah menjelaskan hukum-hukum Baitul Mal. Sedang Syaikh ar-Ruystah berjasa memposisikan Baitul Mal sebagai struktur negara tersendiri dalam Khilafah.
3. Harta Kekayaan Negara Khilafah
Bab ini menerangkan pendapatan (waridat) maupun belanja (nafaqat) negara (Baitul Mal). Mengenai pendapatan, sumber-sumbernya ada 12 yaitu : (1) ghanimah/anfal, fai`, khumus; (2) kharaj, (3) jizyah, (4) kepemilikan umum, (5) kepemilikan negara, (6) ‘usyur, (7) harta sitaan dari kekayaan gelap (maal al-ghulul), (8) khumus rikaz dan tambang, (9) harta orang yang tidak punya ahli waris, (10) harta orang murtad, (11) pajak, dan (12) zakat. (h. 35-36).
Sedang aspek pembelanjaannya, tidak dipisahkan menjadi bab tersendiri, tapi langsung dijelaskan pada masing-masing pendapatan tersebut, di bagian akhirnya. Setelah selesai menjelaskan definisi anfal/ghanimah, misalnya, Zallum langsung menjelaskan,"Adapun pengelolaannya, bergantung pada pandangan khalifah terhadap kepentingan kaum muslimin, sesuai keputusan hukum-hukum syara’…" (h. 38).
Sumber-sumber pendapatan Baitul Mal di atas, jika dibandingkan dengan gagasan awal an-Nabhani dalam an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (1990), menunjukkan kontribusi berharga Zallum untuk memperluas gagasan an-Nabhani itu. Bandingkan dengan sumber-sumber pendapatan menurut an-Nabhani, yang hanya 9 yaitu : (1) ghanimah/anfal, fai`, khumus; (2) kharaj, (3) jizyah, (4) kepemilikan umum, (5) kepemilikan negara, (6) ‘usyur, (7) khumus rikaz dan tambang, (8) pajak, dan (9) zakat. (an-Nabhani, 1990:227 & 239).
Kontribusi lain yang berharga dari Syaikh Zallum adalah menjadikan praktik pengelolaan harta negara ini semakin praktis dan mudah. Ini disebabkan beliau telah mengkonversi dengan teliti satuan-satuan zaman dulu yang terkait harta – yaitu satuan panjang, jarak, takaran, dan timbangan-- ke dalam satuan yang digunakan masa kini. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, misalnya, satuan luas tanah dalam pemungutan kharaj (pajak tanah), adalah jarib. Setelah dikonversi, 1 jarib ternyata ekivalen dengan 1366 meter persegi (h. 59). Satuan fidyah, yakni 1 mud, sama dengan 544 gram takaran gandum, sedang satuan zakat fitrah, yakni 1 sha`, sama dengan 2.176 gram takaran gandum (h. 62).
Pada saat menjelaskan kepemilikan umum, Zallum juga memberikan kontribusi yang penting, khususnya mengenai cara pengelolaan hasilnya. Zallum menerangkan bahwa harta yang dihasilkan dari kepemilikan umum, seperti hutan dan berbagai tambang, dapat dikelola dalam 3 cara, yakni digunakan untuk : Pertama, melakukan pembelanjaan (infaq), yakni membiayai segala kegiatan yang terkait kepemilikan umum, seperti membayar gaji pegawai pertambangan. Kedua, melakukan pendistribusian (tauzi’), yakni membagikan hasil kepemilikan umum kepada rakyat, misalnya bensin dan tenaga listrik, secara murah dan gratis jika memungkinkan. Ketiga, melakukan hima, yaitu kebijakan khalifah mengkhususkan pemanfaatan suatu aset milik umum untuk suatu kepentingan tertentu. Misalnya mengkhususkan hasil tambang minyak dan gas untuk membeli persenjataan militer, bukan untuk kepentingan lainnya (h. 81-89).
4. Harta-Harta Zakat
Bab ini sebenarnya masih satu rangkaian dengan bab sebelumnya. Sebab zakat termasuk salah satu sumber pendapatan negara. Namun harta zakat memang harus disendirikan, karena pengelolaannya sudah ditentukan syariah secara khusus, yaitu hanya diberikan kepada 8 golongan (QS 9 : 60). Zakat tidak boleh disalurkan kepada selain mereka, baik untuk kepentingan negara maupun umat. Jadi, harta zakat tidak dicampur jadi satu dengan harta-harta lain semisal ghanimah dan kharaj, tapi ditempatkan dalam kas tersendiri yang terpisah (An-Nabhani, 1990:227-228).
Bab ini isinya menerangkan macam-macam zakat, pembayaran zakat, dan golongan-golongan penerima zakat. Mengenai pembayaran zakat, Zallum menegaskan bahwa zakat wajib dibayarkan oleh rakyat kepada khalifah (h. 147), karena firman Allah SWT :
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka..." (QS At-Taubah [9] : 103)
Namun, Zallum memberi perkecualian, untuk harta yang tergolong al-amwal al-bathinah (harta tak terlihat), yakni maksudnya uang (nuqud), zakatnya boleh dibagikan sendiri oleh individu. Sedang al-amwal al-zhahirah (harta yang terlihat), seperti binatang ternak dan barang dagangan, zakatnya wajib dibayarkan kepada khalifah atau amil zakat yang mewakilinya. (h. 188).
5. Mata Uang
Pembahasan mata uang (al-nuqud), yaitu dinar dan dirham, menjadi bab terakhir kitab al-Amwal ini. Namun ini tidak mengurangi posisi strategisnya, sebab dinar dan dirham terkait dengan banyak hukum dalam pengelolaan kekayaan negara. Misalnya nishab zakat emas adalah 20 dinar (85 gram emas) dan nishab zakat perak adalah 200 dirham (595 gram perak). Diyat dalam kasus pembunuhan, besarnya adalah 1000 dinar (4,25 kilogram emas). (h. 208).
Dalam bab ini Syaikh Zallum menjelaskan : (1) sejarah dinar dan dirham, termasuk satuan-satuannya jika dikonversi menjadi satuan modern, (2) sistem uang logam dan uang kertas, (3) pencetakan mata uang oleh negara, (4) faidah-faidah sistem uang emas dan perak (h. 199-227).
Keistimewaan
Siapa saja yang mencermati kitab al-Amwal ini, akan mendapati banyak keistimewaan. Yang menonjol ada 2 (dua) :
Pertama, kecenderungan kuat penulisnya untuk mengamalkan kandungan kitabnya secara praktis dalam realitas saat ini. Ini terbukti dari usaha keras Syaikh Zallum untuk mengkonversi satuan-satuan zaman dulu ke dalam satuan sekarang. Ini terbukti pula dari usaha beliau menerapkan kategorisasi tanah kharajiyah dan usyriyah pada negeri-negeri Islam saat ini (h. 52), serta dari usaha beliau menerapkan jizyah untuk kaum kafir modern, seperti kaum komunis (h. 66).
Kedua, ketegasan eksplisit Syaikh Zallum yang mengharuskan eksistensi negara Khilafah untuk mengimplementasikan konsep keuangan publik Islam ini. Pada saat Umer Chapra (2000) masih secara samar menggunakan istilah "negara muslim", dan Ugi Suharto (2004) masih malu-malu menggunakan istilah "pemerintahan muslim", Zallum nampak istimewa karena tegas-tegas memakai istilah "negara Khilafah".
Bagi Zallum nampaknya Islam dan Khilafah itu adalah kesatuan alamiah bagaikan kesatuan ikan dengan air. Sebagaimana mustahil ikan itu dapat hidup tanpa air, Islam pun tidak mungkin dijalankan dengan baik tanpa negara Khilafah.
Karena itu, gagasan keuangan publik Islam ala Zallum ini menuntut proyek raksasa untuk mewujudkannya. Proyek itu bukan semata proyek reformasi keuangan publik secara parsial seperti gagasan Chapra (2000), melainkan sebuah upaya membangun kembali sesuatu dari keruntuhannya yang total. Itulah proyek rekonstruksi keuangan publik Islam dalam wadah negara Khilafah. Wallahu a’lam [ ]
DAFTAR BACAAN
Chapra, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi (Islam and The Economic Challenge), Penerjemah Ikhwan Abidin Basri, Jakarta : Gema Insani Press, 2000
Jalaluddin, Abul Khair Mohd, The Role of Government in an Islamic Economy, Kuala Lumpur : A.S. Noordeen, 1991
Al-Khathib, Muhammad bin Ibrahim, Min Mabadi` al-Iqtishadi al-Islami, Riyadh : T.p., 1989
al-Maliki, Abdurrahman, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah al-Mutsla, T.tp. : Hizbut Tahrir, 1963
al-Nabhani, Taqiyuddin, an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, Beirut : Darul Ummah, 1990
Karim, Adiwarman Azwar, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Ekonomi Makro, Jakarta : Karim Business Consulting, 2001
Masyhuri (Ed.), Teori Ekonomi dalam Islam, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2005
Muhammad, Quthb Ibrahim, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab (as-Siyasah al-maliyah li ‘Umar bin Khaththab), Penerjemah Ahamd Syarifuddin Shaleh, Jakarta : Pustaka Azzam, 2002
Suharto, Ugi, Keuangan Publik Islam : Reinterpretasi Zakat dan Pajak (Studi Kitab Al-Amwal Abu Ubayd), Yogyakarta : Pusat Studi Zakat STIS Yogyakarta, 2004
Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, Beirut : Darul ‘Ilmi lil Malayin, 1983.
No comments:
Post a Comment