Sunday, August 10, 2008

Emansipasi, Untuk Siapa?

April identik dengan bulan emansipasi. Ini karena setiap 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Kartini dianggap sebagai pahlawan emansipasi wanita karena berhasil keluar dari kungkungan tradisi yang tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk maju pada saat itu. Momentum ‘kebebasan’ Kartini ini seolah mendapat angin bersamaan dengan gerakan feminisme yang berkembang di dunia Barat. Terjadilah sebuah simbiosis antara keduanya untuk kemudian mengusung genderisasi di semua bidang kehidupan. Dalam perjuangannya, orang-orang feminis seringkali menuduh Islam sebagai penghambat tercapainya kesetaraan dan kemajuan kaum perempuan. Tanpa malu dan sungkan, tuduhan miring pun dilontarkan. Misalnya, hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan rumah tangga, seperti ketaatan istri terhadap suami, perlakuan terhadap nusyuz (membangkang)-nya istri adalah bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan. Poligami juga dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan menimbulkan potensi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Padahal KDRT juga banyak terjadi pada pernikahan monogami. Sunat bagi bayi perempuan juga dianggap sebagai kekerasan dalam bentuk mutilasi pada anak perempuan. Sementara itu peran domestik perempuan yang menempatkan perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dianggap sebagai peran rendahan. Busana muslim yang menutup aurat dianggap mengungkung kebebasan berekspresi kaum perempuan. Sepintas, memang betul, saat ini terjadi berbagai bentuk kekerasan pada masyarakat Muslim. Hal ini terjadi akibat kelemahan dan kebodohan umat Islam sendiri yang telah meninggalkan hukum-hukum Islam dalam pengaturan kehidupan. Sebagai gantinya kaum Muslim beralih menggunakan aturan kapitalis-sekularis. Hasilnya, kekerasan terjadi dimana-mana, tidak hanya di dalam rumah, bahkan lebih banyak lagi di luar rumah. Padahal kaum muslimah baru merasakan ketertindasan dan diskriminasi setelah mereka mengadopsi sistem kapitalisme yang bertentangan dengan sistem Islam. Ketertindasan dan kekerasan kaum perempuan yang bermula dari negara-negara kapitalis, diputarbalikkan bahwa hal tersebut terjadi pada masyarakat Muslim. Pandangan Islam Sebelum Islam datang, bangsa Arab memperlakukan kaum perempuan sebagai manusia yang bernilai rendah. Jika seorang suami meninggal maka walinya berhak terhadap istrinya. Wali tersebut berhak menikahi si istri tanpa mahar, atau menikahkannya dengan lelaki lain dan maharnya diambil oleh si wali, atau bahkan menghalang-halanginya untuk menikah lagi. Kaum perempuan saat itu dianggap sebagai harta benda yang bisa diwarisi. Kehadiran bayi perempuan juga dianggap sebagai aib, sehingga orang-orang Arab Jahiliyyah mengubur hidup-hidup bayi perempuan yang baru lahir tersebut. Namun Islam datang untuk melenyapkan semua bentuk kezaliman tersebut dan mengembalikan hak-hak kaum perempuan. Tindakan yang memeras dan mengebiri hak-hak mereka, semua dihapus. Hal ini dengan jelas diterangkan dalam QS. an-Nisa’ ayat 19. Hubungan suami-istri dalam Islam dipandang sebagai hubungan persahabatan yang saling mengisi dan mengasihi. Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Islam memerintahkan kepada para suami untuk mempergauli istri-istrinya dengan baik. Suami diperintah untuk menjaga keutuhan keluarganya. Jika ada sesuatu yang tidak disukai pada diri sang istri, kecuali zina dan nusyuz, suami diminta bersabar dan tidak terburu-buru menceraikannya. Adapun perintah kepada suami untuk memukul istri jika melakukan nusyuz (pembangkangan), semata-mata untuk mendidik istri kepada kebaikan. Pukulan yang dilakukan pun tidak boleh pukulan yang menyakitkan dan membekas (lihat QS. an-Nisa’ ayat 34). Bahkan dalam Islam perlakuan suami terhadap istri menjadi indikator kebaikan seseorang. Sementara itu berkaitan dengan hukum poligami, Islam memandangnya sebagai mubah atau boleh, artinya bisa dilakukan bisa tidak. Kebolehan ini bukan berarti Islam tidak berlaku adil kepada kaum perempuan. Sebab ketika seorang suami telah berpoligami, maka dalam hukum syariat wajib baginya untuk berlaku adil terhadap istri-istrinya. Sedangkan jika suami khawatir akan berbuat aniaya jika berpoligami, maka dianjurkan untuk memilih satu orang istri saja. .Ajaran Islam yang luhur ini telah memposisikan perempuan sebagai perhiasan berharga yang harus dipelihara. Islam juga menjadikan perempuan sebagai pencetak generasi manusia dan mitra sejajar laki-laki dalam membangun peradaban.Tipuan BaratGerakan feminisme adalah respon penentangan kaum perempuan di Barat terhadap diskriminasi dan intimidasi yang dialaminya. Sistem kapitalisme dan sosialisme yang mengatur kehidupan mereka telah gagal memberikan keadilan dan perlindungan. Peradaban Yunani kuno, Romawi kuno, India kuno, Yahudi (kitab Taurat yang terselewengkan), Nasrani (kitab Injil yang telah dimodifikasi), masyarakat Eropa baik sebelum maupun sesudah renaissance, serta masyarakat Arab pra Islam telah memandang kaum perempuan sebagai warga negara kelas dua atau sebagai pemuas nafsu yang dapat diperjualbelikan dengan harga murah. Pada saat Islam memuliakan kaum perempuan, masyarakat Eropa justru masih memandang kaum perempuan sebagai makhluk yang terpinggirkan. Dalam buku “Islam The Choice of Thinking Women” dikutip satu peristiwa pengadilan yang terjadi di Inggris tahun 1840 M oleh O’Faolain dan Martines yang kesimpulan kasus tersebut adalah: “ Seorang suami-menurut hukum adat- dalam rangka mencegah istrinya melarikan diri darinya, mempunyai hak untuk menggurung istrinya di rumahnya dan menghalangi kebebasannya, selama kurun waktu yang tidak terbatas…. Hak pilih dalam Pemilu baru mereka dapatkan pada tahun 1928. Sementara itu mereka harus menunggu sampai tahun 1975 untuk mendapatkan upah yang setara dengan laki-laki. Terlihat jelas betapa lambat Eropa barat, khususnya Inggris, merespon hak-hak asasi dan kesetaraan bagi perempuan. Bagaimana dengan saat ini, di mana sistem kapitalis dianggap telah menjamin hak-hak perempuan? Ternyata tak jauh beda, bahkan lebih buruk. Kalau dulu zaman Romawi kuno, bayi perempuan lahir dibunuh, saat ini ribuan janin yang belum jelas jenis kelaminnya sudah diaborsi. Perempuan dihargai hanya karena kecantikannya, bukan prestasinya. Ini diakui sendiri oleh seorang feminis dan penulis barat, Germaine Greer, dalam bukunya”The Whole Woman”, “Setiap perempuan tahu bahwa sekalipun mereka memperoleh berbagai prestasi, tetapi bila tidak cantik berarti mereka telah melakukan suatu kekeliruan.”. Sementara itu pelecehan dan perkosaan hampir setiap menit terjadi lebih dari satu kali di AS. Dalam sebuah survey, The Claremont College Working Papers (2001) menemukan 70 % perempuan yang bertugas di kesatuan angkatan darat Inggris mengaku mengalami sejumlah pelecehan seksual selama 12 bulan pendidikan.Jadi jelaslah, sistem kapitalis hanya memberikan keadilan dan kesetaraan semu pada kaum perempuan. Jauh sebelum para perempuan Barat menuntut haknya, kaum muslimah telah mendapatkannya.

No comments: