Wednesday, August 6, 2008

PANDANGAN ISLAM TENTANG SUBSIDI

Pengantar

Istilah "subsidi" akrab di telinga kita. Tapi meski "akrab", kata ini kurang bersahabat. Yang sering kita dengar justru pemerintah akan mencabut subsidi suatu barang atau jasa dengan macam-macam dalih sehingga harganya naik. Walhasil rakyat tidak makin sejahtera, tapi malah makin sengsara.

Contohnya subsidi BBM. Dengan alasan naiknya harga minyak mentah dunia hingga rata-rata 95 dolar AS/barel, subsidi BBM 2008 naik 113,2 %. Semula Rp 45,8 triliun menjadi Rp 106,2 triliun. Pemerintah mengklaim tidak mencabut subsidi BBM seperti tahun 2005 lalu, tapi hanya "menekan" subsidi BBM, misalnya dengan program konversi minyak tanah ke LPG. Tapi ini tetap menyengsarakan rakyat. Karena harga LPG lebih mahal daripada minyak tanah. Rakyat pun terpaksa antri, karena minyak tanah langka lantaran dikurangi pasokannya oleh pemerintah.

Mengapa pencabutan subsidi menjadi kebijakan favorit pemerintah untuk mengurangi beban anggarannya? Bagaimana pandangan Islam seputar subsidi? Tulisan ini mencoba menjawabnya.

Pengertian dan Fakta Subsidi

Subsidi adalah suatu bentuk bantuan keuangan (financial assistance; Arab : i'aanah maaliyah), yang biasanya dibayar oleh pemerintah, dengan tujuan untuk menjaga stabilitas harga-harga, atau untuk mempertahankan eksistensi kegiatan bisnis, atau untuk mendorong berbagai kegiatan ekonomi pada umumnya. Istilah subsidi dapat juga digunakan untuk bantuan yang dibayar oleh non-pemerintah, seperti individu atau institusi non-pemerintah. Namun ini lebih sering disebut derma atau sumbangan (charity). (http://en.wikipedia.org).

Subsidi dapat juga berbentuk kebijakan proteksionisme atau hambatan perdagangan (trade barrier) dengan cara menjadikan barang dan jasa domestik bersifat kompetitif terhadap barang dan jasa impor (ibid.)

Dalam sistem kapitalisme, subsidi merupakan salah satu instrumen pengendalian tidak langsung. Grossman dalam Sistem-Sistem Ekonomi (1995) menerangkan bahwa dalam sistem kapitalisme terdapat dua macam pengendalian ekonomi oleh pemerintah, yaitu pengendalian langsung dan tidak langsung. Pengendalian langsung adalah kebijakan yang bekerja dengan mengabaikan mekanisme pasar, contohnya embargo perdagangan dan penetapan harga tertinggi suatu barang. Sedang pengendalian tidak langsung adalah kebijakan yang bekerja melalui mekanisme pasar, misalnya penetapan tarif serta segala macam pajak dan subsidi. (Grossman, 1995).

Subsidi dapat dikategorikan dengan berbagai macam cara, tergantung alasan di balik subsidi, pihak penerima, dan sumber pembiayaan subsidi (bisa dari pemerintah, konsumen, penerimaan pajak, dll). (http://en.wikipedia.org).

Dalam RAPBN-P 2008, secara garis besar ada dua subsidi, yaitu subsidi energi dan subsidi non-energi. Subsidi energi meliputi subsidi BBM dan listrik. Sedang subsidi non-energi meliputi delapan jenis subsidi; yaitu subsidi pangan (beras untuk orang miskin), subsidi pupuk, subsidi benih, subsidi public service obligation (untuk PT. Kereta Api Indonesia, PT. Pelni, dan PT. Pos Indonesia), subsidi bunga kredit program (bunga dibayar pemerintah), subsidi bahan baku kedelai, subsidi minyak goreng (operasi pasar), dan subsidi pajak (pajak ditanggung pemerintah). (Nota Keuangan & RAPBN-P 2008, III-4)

Subsidi Dalam Kapitalisme

Subsidi terkait dengan persoalan peran negara dalam ekonomi, terutama dalam pelayanan publik (public service). Karenanya, sikap kapitalisme terhadap subsidi berbeda-beda, bergantung pada konsep peran negara menurut aliran kapitalisme yang dianut. Secara sederhana dapat dikatakan pandangan kapitalisme Keynesian yang pro-subsidi berbeda dengan pandangan kapitalisme aliran neo-liberal yang anti-subsidi.

Sejak pertengahan hingga akhir abad ke-19, di Barat diterapkan kapitalisme klasik/liberal (Ebenstein & Fogelman, 1994). Slogannya adalah laissez faire, yang didukung Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (1776). Slogan berbahasa Prancis itu Inggrinya adalah leave us alone. Artinya, biarkan kami (pengusaha) sendiri, tanpa intervensi pemerintah. Walhasil, peran negara sangat terbatas, karena semuanya diserahkan pada mekanisme pasar. Kapitalisme liberal ini terbukti gagal, ketika tahun 1929-1939 terjadi Depresi Besar (Great Depression) di Amerika Serikat akibat keruntuhan pasar modal di Wall Street tahun 1929. (Adams, 2004).

Sejak 1930-an, kapitalisme berganti aliran. Kapitalisme liberal yang anti intervensi pemerintah kemudian berganti menjadi kapitalisme Keynesian, dengan momentun program The New Deal oleh Presiden Franklin D. Roosevelt tahun 1933. Disebut kapitalisme Keynesian, karena mengikuti ide John Maynard Keynes (1883-1946) yang mendorong intervensi pemerintah. Keynes dalam bukunya The General Theory of Employment (1936) menentang paham ekonomi klasik yang menyatakan bahwa pasar bebas akan selalu dapat memecahkan persoalannya sendiri selama tidak diintervensi pemerintah (Adams, 2004).

Antara 1930-an hingga 1970-an, kapitalisme Keynesian ini menjadi basis dari welfare state (negara kesejahteraan) yang memberi porsi besar pada intervensi pemerintah dalam kegiatan ekonomi (termasuk subsidi dari pemerintah). Karena itu, kapitalisme Keynesian dapat dikatakan bersikap pro-subsidi.

Namun tahun 1973 ketika harga minyak dunia naik, timbul persoalan ekonomi di Barat yang tidak dapat diatasi oleh kapitalisme Keynesian, yaitu stagflasi. Ini kombinasi antara pengangguran (stagnasi) dengan kenaikan harga (inflasi). Menurut doktrin Keynesian, kedua problem ini tidak mungkin terjadi bersamaan. Masyarakat dapat mengalami salah satunya, tapi tidak kedua-duanya. Kekecawaan terhadap Keynesian inilah yang mendorong upaya pencarian solusi baru.

Lahirlah kapitalisme aliran neo-liberal (neoliberalisme/neokonservatisme), dengan penggagas utamanya Friedrich Hayek dan Milton Friedman. Naiknya Margaret Thatcher sebagai PM Inggris tahun 1979 dan Ronald Reagan sebagai presiden AS tahun 1981 dianggap momentum lahirnya neoliberalisme yang ternyata terus berlanjut hingga hari ini.

Neoliberalisme adalah versi liberalisme klasik yang dimodernisasikan, dengan tema-tema utamanya adalah pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan individualisme. Karena peran negara terbatas, maka neoliberalisme memandang intervensi pemerintah sebagai "ancaman yang paling serius" bagi mekanisme pasar. (Adams, 2004).

Dari sinilah kita dapat memahami, mengapa pencabutan subsidi sangat dianjurkan dalam neoliberalisme, sebab subsidi dianggap sebagai bentuk intervensi pemerintah. Ringkasnya, sikap neoliberalisme pada dasarnya-- adalah anti-subsidi. Ini karena menurut neoliberalisme, pelayanan publik harus mengikuti mekanisme pasar, yaitu negara harus menggunakan prinsip untung-rugi dalam penyelenggaraan bisnis publik. Pelayanan publik murni seperti dalam bentuk subsidi, dianggap pemborosan dan inefisiensi. (http://id.wikipedia.org).

Dalam skala internasional, neoliberalisme ini kemudian menjadi hegemoni global melalui tiga aktor utamanya; WTO, IMF, dan Bank Dunia. Bank Dunia dan MF terkenal dengan program SAP (Structural Adjustment Program) yang berbahaya, yang salah satunya adalah penghapusan subsidi. (Wibowo & Wahono, 2003; The International Forum on Globalization, 2004).

Hegemoni neoliberalisme inilah alasan prinsipil yang dapat menjelaskan mengapa pemerintah sering kali mencabut subsidi berbagai barang kebutuhan masyarakat, seperti subsidi BBM dan listrik. Alasan ideologis inilah yang akhirnya melahirkan alasan-alasan lainnya yang bersifat teknis ekonomis, misalnya alasan bahwa subsisi membebani negara, subsidi membuat rakyat tidak mandiri, subsidi mematikan persaingan ekonomi, dan sebagainya. Ini semua bukan alasan prinsipil. Alasan prinsipilnya adalah karena pemerintah tunduk pada hegemoni neoliberalisme, atau telah mengadopsi neoliberalisme, yang berpandangan bahwa subsidi adalah bentuk intervensi pemerintah yang hanya akan mendistorsi mekanisme pasar.

Subsidi Dalam Islam

Islam berbeda dengan kapitalisme. Jika kapitalisme memandang subsidi dari perspekstif intervensi pemerintah atau mekanisme pasar, Islam memandang subsidi dari perspektif syariah, yaitu kapan subsidi boleh dan kapan subsidi wajib dilakukan oleh negara.

Jika subsidi diartikan sebagai bantuan keuangan yang dibayar oleh negara, maka Islam mengakui adanya subsidi dalam pengertian ini. Subsidi dapat dianggap salah satu cara (uslub) yang boleh dilakukan negara (Khilafah), karena termasuk pemberian harta milik negara kepada individu rakyat (i'tha'u ad-daulah min amwaalihaa li ar-ra'iyah) yang menjadi hak khalifah. Khalifah Umar bin Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Mal (Kas Negara) kepada para petani di Irak agar mereka dapat mengolah lahan petanian mereka. (An-Nabhani, 2004:119).

Atas dasar itu, boleh negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai produsen, seperti subsidi pupuk dan benih bagi petani, atau subsidi bahan baku kedelai bagi perajin tahu dan tempe, dan sebagainya. Boleh juga negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai konsumen, seperti subsidi pangan (sembako murah), atau subsidi minyak goreng, dan sebagainya.

Subsidi boleh juga diberikan negara untuk sektor pelayanan publik (al-marafiq al-'ammah) yang dilaksanakan oleh negara, misalnya : (1) jasa telekomunikasi (al-khidmat al-baridiyah) seperti telepon, pos, fax, internet; (2) jasa perbankan syariah (al-khidmat al-mashrifiyah) seperti transfer, simpanan, dan penukaran valuta asing; dan (3) jasa transportasi umum (al-muwashalat al-'ammah), seperti kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang. (Zallum, 2004:104)

Subsidi untuk sektor energi (seperti BBM dan listrik) dapat juga diberikan negara kepada rakyat. Namun perlu dicatat, bahwa BBM dan listrik dalam Islam termasuk barang milik umum (milkiyah 'ammah). Dalam distribusinya kepada rakyat, khalifah tidak terikat dengan satu cara tertentu. Khalifah dapat memberikannya secara gratis, atau menjual kepada rakyat dengan harga sesuai ongkos produksi, atau sesuai harga pasar, atau memberikan kepada rakyat dalam bentuk uang tunai sebagai keuntungan penjualannya, dan sebagainya. Di sinilah subsidi dapat juga diberikan agar BBM dan lisrik yang didistribusikan itu harganya semakin murah dan bahkan gratis jika memungkinkan. (Zallum, 2004:83).

Semua subsidi yang dicontohkan di atas hukum asalnya boleh, karena hukum asal negara memberikan hartanya kepada individu rakyat adalah boleh. Pemberian ini merupakan hak Khalifah dalam mengelola harta milik negara (milkiyah al-daulah). Khalifah boleh memberikan harta kepada satu golongan dan tidak kepada yang lain, boleh pula khalifah mengkhususkan pemberian untuk satu sektor (misal pertanian), dan tidak untuk sektor lainnya. Semua ini adalah hak khalifah berdasarkan pertimbangan syariah sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya demi kemaslahatan rakyat. (An-Nabhani, 2004:224).

Namun dalam kondisi terjadinya ketimpangan ekonomi, pemberian subsidi yang asalnya boleh ini menjadi wajib hukumnya, karena mengikuti kewajiban syariah untuk mewujudkan keseimbangan ekonomi (at-tawazun al-iqtishadi) (Thabib, 2004:318; Syauman, t.t.:73). Hal ini dikarenakan Islam telah mewajibkan beredarnya harta di antara seluruh individu dan mencegah beredarnya harta hanya pada golongan tertentu. Firman Allah SWT :

كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ

"supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (QS Al-Hasyr [59] : 7).

Nabi SAW telah membagikan fai` Bani Nadhir (harta milik negara) hanya kepada kaum Muhajirin, tidak kepada kaum Anshar, karena Nabi SAW melihat ketimpangan ekonomi antara Muhajirin dan Anshar. (An-Nabhani, 2004:249). Karenanya, di tengah naiknya harga minyak mentah dunia sekarang, subsidi BBM tidak sekedar boleh, tapi sudah wajib hukumnya, agar ketimpangan di masyarakat antara kaya dan miskin tidak semakin lebar.

Khusus untuk sektor pendidikan, keamanan, dan kesehatan, Islam telah mewajibkan negara menyelenggarakan pelayanan ketiga sektor tersebut secara cuma-cuma bagi rakyat (Abdul Ghani, 2004). Karena itu, jika pembiayaan negara untuk ketiga sektor tersebut dapat disebut subsidi, maka subsidi menyeluruh untuk ketiga sektor itu adalah wajib hukumnya secara syar'i. Wallahu a'lam [ ]

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghani, Muhammad Ahmad, Al-'Adalah Al-Ijtima'iyah fi Dhau` Al-Fikr Al-Islami Al-Mu'ashir, www.saaid.net, 2004

Adams, Ian, Ideologi Politik Mutakhir (Political Ideology Today), Penerjemah Ali Noerzaman, (Yogyakarta : Penerbit Qalam), 2004

An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, Cetakan VI, (Beirut : Darul Ummah), 2004

Ebenstein, William & Fogelman, Edwin, Isme-Isme Dewasa Ini (Today's Isms), Penerjemah Alex Jemadu, (Jakarta : Penerbit Erlangga), 1994

Grossman, Gregory, Sistem-Sistem Ekonomi (Economics Systems), Penerjemah Anas Sidik, (Jakarta : Bumi Aksara), 1995

Neoliberalisme, http://id.wikipedia.org/wiki/Neoliberalisme

Nota Keuangan dan RAPBN-P 2008

Subsidy, http://en.wikipedia.org/wiki/Subsidy

Syauman, Naimah, Al-Islam Bayna Kaynaz wa Marks wa Huquq Al-Insan fi Al-Islam, (t.tp : t.p), t.t.

Thabib, Hamad Fahmiy, Hatmiyah Inhidam Ar-Ra`sumaliyah Al-Gharbiyah, (t.tp : t.p), 2004

The International Forum on Globalization, Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan (Does Globalization Help the Poor?), Penerjemah A. Widyamartaya & AB Widyanta, (Yogyakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas), 2004

Wibowo, I. & Wahono, Francis (Ed.), Neoliberalisme, (Yogyakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas), 2003

Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, Cetakan III, (Beirut : Darul Ummah), 2004

No comments: