Tuesday, August 5, 2008

DUSTA LIBERALISME

DUSTA LIBERALISME

Umaruddin Masdar
(Pemerhati Masalah Geopolitik Internasional)

Perang Irak akibat agresi Amerika Serikat telah tiga tahun berjalan. Ribuan korban jiwa melayang. Seperti dilaporkan dari hasil penelitian Sekolah Kesehatan Masyarakat the John Hopkins Bloomberg di Maryland, AS, tercatat lebih dari 655 ribu warga Irak meninggal. Sementara di pihak AS lebih dari 2.600 tentara tewas. Dan lebih dari 120 wartawan dari berbagai negara meninggal dalam tugas.

Setelah berjalan dan memakan korban cukup banyak, Presiden AS George W akhirnya mengakui bahwa Saddam Hussein sama sekali tak terkait dengan serangan 11 September 2001. Padahal alasan utama AS menginvasi Irak adalah karena pemerintahan Saddam dituding terlibat serangan 11 September di AS. Sebelumnya Bush juga menyatakan bahwa AS menyerang Irak karena negara itu memiliki senjata pemusnah massal. Namun, tuduhan itu juga hanya kedok belaka dan tidak pernah dapat dibuktikan.

Irak telah menjadi korban keangkuhan AS dan ideologi liberalisme. Dalam retorika AS, perang Irak ditempatkan sebagai 'perjuangan ideologi yang menentukan' di masa depan, apakah abad ke-21 akan dikuasai oleh kebebasan atau teror. Padahal itu hanyalah alasan yang dibuat-buat dan dibungkus secara ilmiah-rasional untuk mencegah krisis ekonomi dan politik AS yang terus mengalami tekanan dari para pesaing.

Yang lemah terjerat

Dalam konteks sejarah struktural, ideologi liberalisme dibangun untuk melegitimasi penjajahan dan eksploitasi negara besar atas negara yang lemah. Ada dua hal yang bisa menjelaskan hal ini. Pertama, sistem internasional menuntut partisipasi aktif negara dalam hubungan ekonomi internasional. Negara kapitalis maju tidak bisa secara mandiri atau bersama-sama mengimplementasikan kebijakan-kebijakan neokolonial tanpa ada dukungan kapitalisme negara di pinggiran. Kedua, kebijakan neokolonial didesain untuk mencegah potensi independen negara pinggiran dalam melakukan konsolidasi politik sekaligus untuk mempertahankan ketergantungan negara pinggiran secara penuh dalam sistem kapitalisme dunia.

Dengan demikian, nilai-nilai dan ideologi yang terus direproduksi rezim kapitalisme internasional, seperti kebebasan (liberalisme), demokrasi dan globalisasi, tidak semata-mata merupakan nilai-nilai atau diskursus pengetahuan yang bersifat akademik. Ideologi tersebut juga menjadi strategi negara maju untuk menaklukkan negara lemah agar masuk dalam jebakan hegemoni pengetahuan dan dominasi politiknya.

Karena alasan untuk menegakkan demokrasi misalnya, AS melakukan intervensi politik di berbagai negara Asia, Afrika dan Amerika Latin. Padahal tujuan sesungguhnya bukanlah menegakkan demokrasi, tetapi mengganti penguasa yang tidak pro-AS, atau di negara bersangkutan ada banyak kepentingan AS yang harus dilindungi. Seperti yang terjadi di Irak, demokratisasi hanyalah kedok untuk menguasai sumber-sumber energi, terutama minyak, sekaligus memutus jalur pasokan minyak ke Cina.

Bahwa ideologi liberalisme penuh tipu muslihat dan cenderung menjerumuskan, bisa disimak dalam dua contoh berikut. Pertama, konsep utang yang diperuntukkan bagi negara-negara berkembang sepenuhnya merupakan mekanisme eksploitasi dan alat politik untuk mengintervensi negara berkembang. Konsep utang yang diberikan kepada negara debitor (berkembang) untuk memacu meningkatkan ekspor dan pada akhirnya memacu pertumbuhan ekonomi. Negara debitor melunasi utangnya dengan jalan meningkatkan nilai ekspornya agar melebihi nilai impor, termasuk di dalamnya perebutan dalam kompetisi pasar global.

Menurut Michael Rowbotham, keberatan-keberatan atas konsep utang tersebut bermunculan, baik dipandang dari segi empiris maupun teoritis. Jika dilihat dari segi empiris, negara-negara debitor telah gagal untuk mencapai tahap surplus dalam perdagangan sesuai dengan apa yang diinginkan agar mereka bisa melunasi hutang mereka. Secara teoretis, bentuk ini sebenarnya telah gagal dalam berbagai hal.

Negara sedang berkembang harus bisa mencapai surplus perdagangan agar bisa melunasi utangnya, tapi tidak hanya negara sedang berkembang yang mengejar target surplus, negara-negara makmur pun (negara pusat) berusaha untuk menjaga nilai surplus perdagangannya. Nilai perdagangan mungkin meningkat, volume aliran barang mungkin juga meningkat, tapi surplus perdagangan satu negara merupakan defisit perdagangan bagi negara lain.

Kelemahan dari model perekonomian seperti itu ada pada asumsi bahwa negara debitor dapat memperoleh surplus perdagangan dengan mengekspor barang ke negara kreditor. Tapi dengan begitu negara debitor akan langsung berhadapan dengan negara kapitalis yang kuat dan sudah pasti melakukan hal yang sama.

Konsep ekonomi liberal, termasuk konsep tentang utang, dengan demikian merupakan sesuatu yang sangat menipu. Sayangnya para elite modern sering terkena mental yang meyakini bahwa yang bisa menolong dan menyelamatkan kita hanyalah pihak asing atau negara lain.

Kedua, ketika beberapa negara terkena krisis moneter pada 1997, termasuk Indonesia, rezim kapitalisme internasional melalui IMF yang bermarkas di Washington AS 'membantu' beberapa negara yang terkena krisis. Namun kredibilitas IMF terus disorot karena kegagalan menyelesaikan krisis moneter. Bahkan beberapa negara terjebak dalam krisis ekonomi dan politik yang bertambah parah setelah mengikuti resep IMF.

Terus dianut

Meski liberalisme merupakan nilai dan ideologi nyata-nyata menipu, para ekonom dan penguasa di negeri ini tampaknya tetap setia mengikuti resepnya dan cenderung menjaganya dengan penuh dedikasi dan loyalitas. Dalam pikiran para ekonom kita, hampir tidak ada varian bagi sistem ekonomi kita kecuali kapitalisme pasar. Padahal, seperti ditegaskan ahli ekonomi mazhab regulasi dari Prancis, Robert Boyer, dalam sebuah tulisannya How and Why Capitalism Differ, yang dipresentasikan pada Seminar Internasional Ekonomi Regulasi di Jakarta, 5-6 Juli 2006 yang lalu, ada beberapa varian kapitalisme yang dipraktikkan berbagai negara di dunia. Pertama, kapitalisme berorientasi pasar, seperti telah disebutkan. Kedua, meso-corporatist capitalism yang dipraktikkan negara seperti Jepang dan Korea Selatan. Ketiga, state-driven capitalism, seperti yang menjadi ciri khas negara-negara Uni Eropa. Keempat, social democratic capitalism, seperti dipraktikkan di negara-negara Skandinavia.

Monoloyalitas para ekonom dan penguasa kita terhadap kapitalisme pasar tentu menimbulkan tanda tanya besar, bukan saja karena sikap demikian jelas-jelas mengabaikan varian-varian dan keberhasilan dari bentuk kapitalisme yang lain. Lebih dari itu, kapitalisme yang berorientasi pasar telah nyata-nyata gagal dipraktikkan di negeri ini.

Mungkin benar apa yang dikatakan David Ransom dalam tulisannya Ford Country: Building an Elite for Indonesia, bahwa elite modern Indonesia memang dididik dan dilatih bekerja di bawah kendali dan untuk kepentingan AS. Amerika Latin, Cina, India dan Uni Eropa telah mulai bangkit. Tapi kita cenderung menutup mata dan takut untuk belajar -apalagi meniru- dari keberhasilan mereka.

Ikhtisar
- Amerika Serikat dengan liberalismenya telah mengecoh negara-negara berkemampuan ekonomi lemah.
- Liberalisme dibangun untuk melegalkan penjajahan dan eksploitasi negara besar atas negara yang lemah.
- Meski mengandung banyak muslihat, banyak ekonom dan penguasa di Indonesia tetap menganut liberalisme dengan menjalankan ekonomi beraliran kapitalisme pasar.
- Kapitalisme berorientasi pasar telah nyata-nyata gagal dijalankan di Indonesia.

Sumber : http://republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16 (31 Okt 2006)

Komentar redaksi khilafah1924.org :

Artikel ini cukup baik mengkritik kapitalisme pasar saat ini. Meski demkkian, varian-varian kapitalisme lainnya seharusnya tidak usah ditawarkan oleh penulis (andaikata dia muslim). Sebab walau berhasil, tetaplah semuanya kufur alias tidak berdasarkan Islam. Keberhasilan seperti itu hanya berdimensi dunia, tidak menjamin sama sekali keberhasilan akhirat. Hanya sistem ekonomi Islam yang menjamin keberhasilan dunia-akhirat.

No comments: