Sunday, August 10, 2008

Islam Menghapus Perbudakan

Pengantar:

Telaah kitab kali ini akan mengupas pandangan Islam terhadap budak dan sistem perbudakan yang terdapat dalam Kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz 2, karya ‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.

Pada dasarnya, syariah Islam yang mengatur mengenai budak dan sistem perbudakan diturunkan ketika budak memang ada dan setiap bangsa memiliki sistem perbudakan masing-masing. Di antara sistem perbudakan yang ada pada saat itu adalah budak boleh diperjualbelikan bahkan dibunuh oleh tuannya sendiri. Ada pula sistem perbudakan yang membolehkan tuan memperistri budak-budaknya dan memperlakukannya seperti binatang. Ada pula aturan yang menyatakan; jika seseorang tidak mampu membayar utang kepada seseorang maka ia boleh dijadikan budak. Ada pula ketetapan, jika suatu negeri dikalahkan maka penduduknya absah diperbudak seluruhnya. Berdasarkan fakta inilah, Islam datang dengan seperangkat hukum yang ditujukan untuk memecahkan persoalan perbudakan, serta menggariskan aturan-aturan tertentu (sistem) yang berhubungan dengan budak.

Jika kita mengkaji secara jernih dalam mendalam, kita pasti akan berkesimpulan bahwa syariah Islam datang untuk “membebaskan budak dan melenyapkan sistem perbudakan” yang ada di seluruh dunia.

Dalam hal ini, ada dua hal penting yang perlu dimengerti. Pertama: sikap dan perlakuan Islam terhadap budak faktual (seseorang yang telah dijadikan budak), orang yang derajatnya turun atau tidak sebanding dengan orang-orang merdeka sehingga berhak untuk diperjualbelikan layaknya barang dagangan. Untuk sisi pertama ini, Islam telah menggariskan sejumlah aturan yang ditujukan untuk membebaskan para budak dan orang-orang yang diperlakukan seperti budak, serta menjadikan mereka sebagai orang yang merdeka. Kedua: pandangan Islam mengenai sistem perbudakan. Dalam hal ini, Islam telah memecahkan persoalan ini dengan cara menetapkan aturan-aturan tertentu yang pada intinya ditujukan untuk menghapuskan sistem perbudakan yang ada di seluruh dunia.


Sikap dan Perlakuan Islam Terhadap Budak

Para fukaha telah merinci sejumlah hukum yang berhubungan dengan budak, di antaranya: Pertama, Islam telah menetapkan sejumlah aturan bagi orang Islam yang memiliki budak sehingga budak memiliki hak sebagaimana tuannya. Selain itu, Islam juga menetapkan sejumlah aturan sehingga fitrah dan sifatnya sebagai manusia (manusia bebas) bisa dijaga dan setara dengan manusia yang bebas. Misalnya, Islam memerintahkan kaum Muslim untuk berbuat baik kepada budaknya (QS an-Nisa’ [4]: 36). Dalam hadis riwayat Muslim dituturkan bahwa Nabi saw. juga pernah bersabda, “Bertaqwalah kalian kepada Allah, dan berhati-hatilah kalian terhadap budak-budak yang kalian miliki. Sesungguhnya, mereka adalah saudaramu yang dijadikan Allah Swt. berada di bawah kekuasaanmu. Karena itu, berilah mereka makan, seperti yang engkau makan, dan berilah mereka pakaian seperti pakaian yang engkau kenakan. Janganlah memberi beban tugas yang memberatkan mereka. Jika engkau membebani mereka dengan tugas maka berlakulah baik (tidak memberatkan) kepada mereka.” (HR Muslim).

Nas-nas di atas menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa Islam telah memerintahkan kaum Muslim untuk berbuat baik kepada budaknya, dan menyetarakan kedudukan mereka, secara fitrah dan kemanusiaan, dengan manusia merdeka. Dengan kata lain, Islam telah menyetarakan budak dan orang merdeka dalam hal darah dan kehormatan. Dalam fikih juga dinyatakan, jika tuan “menikmati budaknya” maka statusnya dipandang sebagaimana tatkala ia menikmati istrinya yang merdeka. Untuk itu, jika seorang budak hamil atau melahirkan anak dari tuannya, dengan segera ia harus dibebaskan secara paksa setelah kematian tuannya.

Kedua, pada saat itu, Islam telah mendorong manusia untuk membebaskan budak-budak yang mereka miliki. Al-Quran menyatakan dengan sangat jelas bahwa pembebasan budak akan membantu dirinya untuk bersyukur atas nikmat Allah Swt., dan memudahkan dirinya untuk mendaki jalan yang sukar (QS al-Balad []: 11-13).

Ketiga, Islam telah mensyariatkan sejumlah hukum yang memaksa seseorang untuk membebaskan budaknya, atau dibebaskan oleh penguasa. Jika seseorang memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan waris dengan budaknya maka ia wajib membebaskan budak tersebut, baik rela maupun tidak rela. Jika ia tidak rela maka penguasa yang akan membebaskan budak tersebut. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa Nabi saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang memiliki budak yang memiliki hubungan kekerabatan (keluarga dan waris), maka ia adalah orang bebas.” (HR Abu Dawud).

Budak yang disiksa oleh tuannya dengan cara dibakar, dipotong salah satu anggota tubuhnya, atau siapa saja yang memukul atau mendera budak dengan deraan yang berlebihan, maka budak itu wajib dibebaskan. Jika tuannya tidak mau membebaskan maka penguasa berhak memaksanya untuk membebaskan budaknya. Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Siapa saja yang memukul budaknya atau menderanya maka dendanya adalah membebaskannya.” (HR Muslim).

Islam juga telah menjadikan pembebasan budak sebagai denda (kifarah) atas dosa-dosa yang dilakukan seorang Muslim. Allah telah menjadikan pembebasan budak sebagai kifarah atas pembunuhan tidak sengaja (QS an-Nisa’ [4]: 92). Pembebasan budak juga ditetapkan sebagai kifârah atas pelanggaran sumpah (QS al-Maidah [5]: 89). Pembebasan budak juga dijadikan kifarat pada kasus zhihâr dan kasus suami yang menyetubuhi istrinya pada siang hari bulan Ramadlan.

Hukum-hukum di atas telah dikaitkan dengan pembebasan budak. Ini menunjukkan bahwa Islam telah mendorong umatnya untuk berlaku baik, mendudukkan mereka pada tempat yang setara dengan orang merdeka, baik dalam hal harta dan darah, serta mendorong kaum Muslim untuk membebaskan budak.

Islam tidak mencukupkan diri hanya dengan menetapkan hukum-hukum yang memaksa seseorang untuk membebaskan budak, tetapi juga telah menetapkan hukum bagi budak untuk membebaskan dirinya sendiri, sebagaimana Islam telah menetapkan mekanisme bagi tuan untuk membebaskan budaknya (Lihat: QS an-Nur []: 33). Ayat ini berbicara tentang budak yang ingin membebaskan dirinya (mukatab).

Keempat, dalam Baitul Mal, terdapat pos khusus untuk membantu para budak membebaskan dirinya (Lihat: QS at-Taubah [9]: 60). Pos untuk pembebasan budak tidak ditentukan besar-kecilnya. Khalifah boleh saja memberikan prosentase di atas 50% untuk pembebasan budak. Bahkan ia boleh mengalokasikan semua perolehan zakat untuk pembebasan budak.


Islam dan Sistem Perbudakan

Pada dasarnya Islam telah menghapuskan perbudakan. Dengan kata lain, Islam telah mengharamkan perbudakan atas orang-orang merdeka dengan pengharaman yang pasti. Rasulullah saw. bersabda, “Ada tiga orang yang akan aku tuntut kelak pada Hari Kiamat. Seorang laki-laki meminta kepadaku, kemudian ia berkhianat, dan seorang laki-laki yang menjual seorang laki-laki merdeka, kemudian ia memakan hasil penjualannya itu, dan seorang laki-laki yang mempekerjakan seseorang dan tidak pernah diberi upahnya.” (HR Bukhari).

Hadis ini menunjukkan bahwa Allah Swt. melarang memperjualbelikan (memperbudak) orang-orang yang merdeka.

Adapun dalam kondisi perang, Islam telah mengharamkan secara mutlak memperbudak tawanan perang. Pada tahun ke 2 Hijrah, Allah Swt. telah menjelaskan ketentuan hukum mengenai tawanan perang, yaitu: (1) dibebaskan; (2) ditebus dengan sejumlah harta, ditukar dengan tawanan kaum Muslim atau kafir dzimmi. Hukum ini telah melarang memperbudak tawanan perang (Lihat: QS Muhammad [47]: 4).

Ada sebagian fukaha menyatakan bahwa Rasulullah saw. telah memperbudak tawanan perang saat Perang Hunain. Padahal ayat di atas turun pada tahun ke 2 Hijriyah jauh sebelum peristiwa Perang Hunain. Untuk itu, mereka berpendapat bahwa dalam kondisi perang, kaum Muslim masih diperbolehkan memperbudak tawanan perang.

Sesungguhnya perbuatan dan perkataan Rasulullah hanya berfungsi untuk men-taqyîd, mengkhususkan, atau men-tafshîl (merinci) kemutlakan, keumuman, dan ke-mujmal-an (keglobalan) al-Quran, namun tidak bisa digunakan untuk menghapus al-Quran (naskh). Ayat di atas sama sekali tidak berbentuk muthlaq sehingga layak untuk di-taqyîd. Ayat di atas redaksinya juga tidak berbentuk umum sehingga absah untuk di-takhshîsh. Ayat di atas juga tidak berbentuk mujmal sehingga layak dirinci oleh sunnah. Adapun hadis yang menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah memperbudak tawanan perang di Hunain adalah hadis ahad. Khabar ahad tidak boleh me-naskh (menghapus) al-Quran yang mutawâtir. Karena itu, jika riwayat yang menuturkan perbudakan tawanan perang dalam Perang Hunain memang benar-benar sahih maka ia harus ditolak matan-nya karena bertentangan dengan khabar mutawâtir.

Fakta saat Perang Hunain menunjukkan bahwa para wanita dan anak-anak telah terlibat dalam perang, baik untuk memperkuat pasukan atau memberi semangat pasukan. Tatkala pasukan Hunain dikalahkan, wanita dan anak-anak itu dihukumi sebagai sabaya. Sabaya adalah kaum wanita dan anak-anak yang turut serta dan melibatkan diri dalam kancah peperangan. Menurut orang Arab, istilah sabaya hanya ditujukan untuk kaum perempuan dan anak-anak yang terlibat dalam peperangan, dan tidak mencakup kaum laki-laki. Rasulullah saw. membagi-bagikan mereka (sabaya) kepada kaum Muslim yang turut berperang. Sebagian Sahabat ada yang mengembalikan sabaya ini kepada keluarganya. Namun demikian, tatkala Rasulullah saw. memerangi Khaibar, Beliau tidak menawan penduduknya, baik laki-laki, wanita dan anak-anak. Beliau saw. membiarkan mereka menjadi orang-orang yang bebas (merdeka). Ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap sabaya bergantung kepada Khalifah. Khalifah boleh saja memperbudak mereka atau membebaskan mereka. Namun, hukum semacam ini hanya berlaku kepada sabaya, yakni wanita dan anak-anak yang terlibat dalam perang. Adapun laki-laki yang turut perang dan orang-orang yang berada di dalam rumahnya dan tidak ikut berperang tidak boleh diperbudak sama sekali. Dengan kata lain, tawanan perang (al-usri) tidak boleh diperbudak, sedangkan sabaya (wanita-wanita dan anak-anak yang turut perang) boleh diperbudak atau dibebaskan. Hanya saja, sabaya tidak boleh ditebus dengan harta. Tindakan semacam ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. pada saat Perang Hunain dan Khaibar. Pada saat Perang Hunain, Rasulullah saw. memperbudak sabaya, kemudian membebaskan mereka. Adapun pada saat Perang Khaibar, Beliau membebaskan para sabaya, dan tidak memperbudak mereka.

Hanya saja, tindakan Khalifah (Imam) untuk “memperbudak” sabaya tidak boleh diartikan bahwa sabaya itu hendak diperbudak secara langsung, atau bahwa Islam masih mentoleransi dan melanggengkan perbudakan. Tindakan semacam ini diberlakukan hanya dalam kondisi peperangan dan berada di bawah koridor hukum darurat perang. Dengan demikian, tindakan Khalifah tersebut semata-mata demi kepentingan politik perang (siyâsah al-harb) dan bukan ditujukan untuk memperbudak mereka secara langsung.

Dari seluruh keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Islam telah memecahkan masalah perbudakan, sekaligus juga menetapkan aturan-aturan komprehensif yang bisa mencegah terjadinya perbudakan kembali. Selain itu, Islam juga memberikan kewenangan kepada Khalifah untuk memperlakukan sabaya sesuai dengan politik dan kepentingan perang. Tidak hanya itu, Islam juga telah menghapuskan perbudakan ketika Islam melarang melibatkan anak-anak dan wanita dalam medan peperangan, seperti yang diterapkan pada hukum perang modern. Ini semua menunjukkan bahwa Islam melarang dan menghapuskan perbudakan yang terjadi di tengah-tengah manusia untuk selama-lamanya.

No comments: