Tuesday, August 5, 2008

GERAKAN FEMINISME KEMBALI KE "SUNNATULLAH"?

Salah satu icon feminisme Barat, Gloria Steinem, menulis dalam majalah kaum feminis terkemuka Ms. (edisi musim panas 2003), sebuah artikel yang bernostalgia tentang kehidupan manusia primitif Australia berabad lalu. Menurut Steinem kehidupan kaum primitif Australia itu ditandai pembagian kekuasaan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan, dan antara manusia dengan alam, karena semuanya adalah bagian dari satu kesatuan yang sama.


Dalam artikel berjudul Remember Our Power (Ingatlah Kekuatan/Kekuasaan Kita) itu Steinem menggambarkan harmoni ketika para kepala suku memang dipilih dari kalangan pria tetapi dengan mendengarkan nasihat kaum wanita. "Semua ini memiliki satu tujuan, keseimbangan, antara pria dan wanita, antara tiap manusia dengan masyarakatnya, antara manusia dan alam– kalau pun memang semuanya itu dianggap terpisah satu sama lain."

Sungguh kedengaran indah dan harmonis, bukan? Namun bandingkan dengan artikel Steinem di majalah Ms. Oktober 1978 yang berjudul If Men Could Menstruate (Kalau Saja Lelaki Bisa Menstruasi) yang penuh dengan olok-olok tentang betapa apa pun yang melekat pada diri pria akan dijadikannya alasan untuk menancapkan supremasi kekuasaan mereka. Kalau saja lelaki bisa mens, menurut Steinem, maka akan terjadilah male competition tentang misalnya "Saya ganti pembalut 3 kali sehari, Anda berapa?" "Berapa lama Anda mens? Wah, banyakan juga saya!" atau bahkan dijadikannya mens sebagai syarat untuk menjadi tentara ("Anda harus meneteskan darah diri sendiri sebelum meneteskan darah orang lain!").

Salah satu icon feminisme lainnya adalah Germaine Greer yang sekitar 30 tahun lalu menulis buku terkenal berjudul The Female Eunuch. Dia berargumentasi bahwa menjadi perempuan dan ibu rumah tangga saja tidaklah cukup bagi wanita. Buku ini menjadi semacam kitab suci kaum feminis. Pada tahun 1999 Greer menerbitkan buku barunya, The Whole Woman, yang menggambarkan perjalanan melelahkan kaum feminis dalam upaya mereka memperjuangkan kesetaraan gender.

Greer menggambarkan betapa pada akhir 60-an, yang disebut kebebasan seakan-akan demikian dekat dan dapat dicapai. Pada tahun 1999, yang mereka saksikan adalah semakin memudarnya cita-cita mereka – bukan saja karena negara dan pemerintahan dianggapnya masih terus mempertahankan pola kekuasaan lama, tetapi juga tidak bertambah banyaknya perempuan yang mengadopsi konsep feminisme yang pertama kali diusung di Barat ini. Selain itu, yang terpenting, Greer masih menyoroti apa yang dianggapnya sebagai dominasi pria, tetapi juga tampak mulai menyadari bahwa ada hal-hal yang tak bisa diubah dari spesies yang bernama manusia ini.

Greer menggambarkan betapa sesudah berpuluh tahun gerakan feminisme, gadis-gadis kita masih dijajah oleh konsep "wanita cantik" yang sama – miliaran anak perempuan berdiet keras dan menghabiskan uang untuk kosmetika dan fashion agar menjadi objek seks dan kegairahan pria. Bahkan, menurut Greer, "kebebasan seks yang menyertai revolusi gender malahan lebih sering merugikan wanita." Apa yang disebut "kebebasan seks" hanya menguntungkan pria, kata Greer, karena wanita terus saja harus merasakan efek terpentingnya yakni kehamilan, sementara tubuh laki-laki sama sekali tidak terpengaruh.

Satu lagi area yang menggambarkan betapa feminisme berpuluh tahun tidak berefek baik pada wanita adalah pornografi. Greer menyoroti betapa sesudah feminisme yang berusaha menjadikan wanita sebagai subjek, industri pornografi yang menghina dan merendahkan wanita dan menjadikannya objek seks terus menggelembung menjadi industri miliaran dolar tiap tahunnya!

Akhirnya Germaine Greer mengakui bahwa berbagai strategi yang dipakai di tahun 1960-an tidaklah membawa hasil yang jelas kalau bukan malahan membawa kerusakan. Yang terjadi saat ini bukanlah pembebasan wanita dari ketertindasan tetapi tidak lebih dari sekedar menggantikan ketergantungan wanita dari satu hal ke hal lainnya. Wanita memberontak dari ketergantungannya terhadap pria di awal gerakan feminisme, terutama di tahun 1970-an, tetapi mereka kini ganti tergantung pada hal-hal lain seperti industri kosmetika dan fashion.

Contoh terakhir adalah satu lagi icon feminisme, perempuan aktivis feminisme dari kalangan Yahudi yang ikut berperan besar dalam penggodokan Plan of Action Konferensi Beijing 1995 yang bernama Bella Abzug. Selama puluhan tahun Bella berada di garis depan kaum feminisme yang menyuarakan kemandirian dan kesamaan hak bagi perempuan di segala lini. Ketika Bill Clinton berkuasa, dia menjadi salah satu pendukung vokal Partai Demokrat. Di belakang wanita yang tampak perkasa ini terdapat Martin, suaminya yang pendiam yang selalu mendukung semua sepak terjangnya. Dalam Ms. 1990, Bella menulis artikel "Martin, What Should I Do Now?" (Martin, Apa yang Harus Kulakukan Kini?) tentang betapa kematian Martin membuatnya bagai kapal kehilangan kemudi.

"Saya memiliki reputasi sebagai seorang perempuan mandiri, dan memang saya mandiri. Tetapi jelaslah sebenarnya saya tergantung pada Martin. Dia sering merengkuhku ke dadanya yang berbulu dan hatinya yang hangat untuk melindungiku dari semua kebusukan yang mesti dialami orang-orang yang hidup di jalanku ini. Apa yang bisa kukatakan? Hanyalah ini, ‘Hargailah hubungan (antarmanusia) dan lakukan apa saja yang bisa kau lakukan untuk memeliharanya’. Belum lama ini saya bermimpi dan bertanya kepadanya, ‘Martin, Martin, apa yang harus kulakukan sekarang?’ Dia hanya tersenyum lalu menghilang."

Ketiga ikon feminisme ini, Gloria Steinem, Germaine Greer, dan Bella Abzug, menggambarkan sebuah perubahan besar yang terjadi dalam kurun waktu beberapa dasawarsa, yaitu sebuah pergeseran pemikiran feminisme yang sangat signifikan mengenai posisi mereka dalam relasi gender dan kekuasaan. Diawali gerakan emansipasi di Amerika awal tahun 1900an, ketika wanita menuntut hak dan perlakuan yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, kaum feminis menggunakan battle-cry atau teriakan perang yang beragam, mulai dari "persamaan hak", "persamaan kekuasaan", "perbedaan pria dan wanita hanyalah soal pengasuhan dan social concepts" sampai kemudian, akhir-akhir ini, kesadaran bahwa perbedaan pria dan wanita memang bersifat biologis dan tidak bisa dielakkan. Pendulum gerakan feminisme mulai berayun ke arah yang berlawanan dengan gerakan di awal-awal lahirnya dulu.

Professor T.J. Winters --yang sesudah Muslim kini bernama Abdal-Hakim Murad (Universitas Cambridge), mencatat bahwa feminisme tahun 1960-an dan 1970-an adalah "feminisme kesejajaran" yang berjuang menghancurkan ketimpangan gender yang menurut mereka semata-mata social constructs yang bisa diubah lewat pendidikan dan media. Sedangkan feminisme tahun 1990-an adalah "feminisme perbedaan" yang berakar pada semakin tumbuhnya kesadaran bahwa faktor alami (nature) itu sama pentingnya dengan faktor pengasuhan (nurture) dalam pembentukan perilaku pria dan wanita.

Kesimpulan Murad dalam artikelnya Boys will be Boys ini adalah bahwa pada akhirnya memang ada faktor-faktor tak terbantahkan yang bertanggungjawab pada perbedan pria dan wanita – dan ini semakin lama semakin diterima oleh para pemikir feminisme.

Berbagai eksperimen untuk membuktikan bahwa PRIA DAN WANITA SERATUS PERSEN SAMA sudah menyebabkan banyak kerugian. Contohnya, ketika pada tahun 1997 pemerintah Inggris memberlakukan "gender free approach" dalam merekrut tentaranya dan memberlakukan ujian fisik yang sama kepada kadet pria dan wanita maka yang terjadi adalah tingkat cedera yang tinggi di kalangan kadet wanita. Dalam Perang Teluk, satu per 10 kru wanita Kapal Perang Amerika USS Acadia dikembalikan karena hamil di perjalanan menuju atau di medan perang, sementara jumlah tentara pria yang dikembalikan: Nol. Kapal itu kemudian diolok-olok dan diganti namanya menjadi The Love Boat.

Di manakah posisi kaum feminis sekarang di Indonesia, baik yang mengaku feminis Muslim maupun feminis doang? Sama seperti banyak wacana di Indonesia yang kerap kali masih ketinggalan beberapa dasawarsa dari yang berlangsung di Barat, mereka ketinggalan beberapa langkah. Kebanyakan feminis di sini masih menyuarakan gender equality dan ramai memprotes yang mereka sebut "dominasi budaya patriarki".

Dalam waktu tak lama lagi, insya Allah, perlahan-lahan, mereka pun akan mengalami ayunan pendulum yang sejajar dengan kawan-kawan mereka di Barat. Mungkin lebih cepat karena semakin canggihnya teknologi informasi dan media. Mari mendoakan agar pada akhirnya bukan sekedar berayun ke arah kesadaran baru tentang tidak terbantahkannya perbedaan pria dan wanita, tetapi juga agar mereka sampai pada kesadaran adanya sunnatullah mengenai peran dan posisi wanita dan pria yang justru paling harmonis dengan kehidupan.

wa-akhiru da‘wana ani’l-hamdu li’Llahi rabbi’l-alamin

No comments: