Gender dan Legitimasi Agama
Seperti sudah jadi tradisi, setiap bulan April, kiprah perempuan kembali dibicarakan. Diskursus tentang� jender pun muncul sebagai bagian dari gerakan feminisme. Gerakan ini � bukanlah gerakan baru, telah tumbuh sejak abad ke-19. Namun tidak terhimpun dalam satu wadah perjuangan. Salah satu yang paling menonjol adalah gerakan Pembebasan Wanita atau Women’s Liberation (Women’s Lib) yang berpusat di Amerika Serikat, dan menunjukkan aksi-aksinya pada abad ke-20.
Tahun 1975 gender, development, dan equality sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City. Ide-ide feminisme menjadi isu global semenjak PBB menetapkan Dasawarsa I untuk Perempuan pada tahun 1975–1985. United Nations Development Program (UNDP) melalui laporan berkalanya “Human Development Report” (HDR), telah memperkenalkan sebuah indikator baru dalam menilai keberhasilan pembangunan suatu negara yaitu indikator pembangunan manusia (Human Development Index atau HDI). Konsep HDI mencakup tiga pengukuran aspek usia harapan hidup (life expectancy), angka kematian bayi (Infant Mortality Rate) dan kecukupan pangan (Food Security).� Pada tahun� 1995, konsep HDI diberi tambahan lagi, yaitu konsep kesetaraan gender (equality gender). � � � � � � � Konsep kesetaraan gender makin dikuatkan dengan adanya adanya ratifikasi� berbagai konvensi internasional yang memuat isu kesetaraan gender. Konvensi tersebut diantaranya Convention on the Political Rights of Women (Konvensi Hak Politik Perempuan) tahun 1952 , Convention of the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/CEDAW) tahun 1979, Convention on the Rights of Child (Konvensi Hak Anak). Konvensi lain� yang juga diikuti wakil
Indonesia,
International Conference on Population and Development (Konvensi Kependudukan dan Pembangunan/ICPD) tahun 1994,
Beijing Declaration and Platform For Action (Deklarasi Beijing/BPFA) tahun 1995 dan
Millenium Development Goals ( Tujuan Pembangunan Milinium/MDGs) tahun 2001.
Teologi Kaum FeminisTeologi feminis tampaknya dipengaruhi � mahzab teologi pembebasan yang dikembangkan oleh James Cone pada akhir tahun 1960-an. Teologi pembebasan memakai paradigma yang sama dengan feminisme sosialis, namun pendekatannya lebih menonjolkan perubahan pemahaman keagamaan.� Namun tujuan keduanya sama, yaitu perubahan struktural agar keadilan gender, dan keadilan sosial seterusnya, dapat tercipta. � Teologi feminisme ini berkembang dalam berbagai agama seperti Kristen, Yahudi dan Islam. Menurut para feminis, agama-agama tersebut sering ditafsirkan dengan memakai ideologi patriat yang menyudutkan perempuan.Para teologi feminis yang berkembang dalam Islam adalah mereka yang mencari konteks dan latar belakang ayat-ayat dan hadis yang berkenaan dengan perempuan.� Tujuannya adalah membantah penafsiran dan fiqh mapan yang dianggap bisa merugikan perempuan.� Beberapa penafsiran fiqih perempuan yang dilontarkan� antara lain; perempuan boleh menjadi imam shalat jamaah umum, menjadi khatib, menjadi muazdin dan akad nikah tanpa wali. Aturan-aturan Islam� mapan pun digugat� seperti pembagian harta warisan perempuan setengah dari pria, kesaksian seorang pria disetarakan dengan dua orang perempuan, poligami, kepala rumah tangga, dan pemimpin negara di tangan laki-laki. Kemunculan gerakan feminisme yang menginginkan kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki sampai kaum feminis rela menggugat ajaran agamanya, diilhami nasib perempuan sekarang. Para feminis kemudian menganalisa bahwa penderitaan yang dialami perempuan selama ini akibat budaya patriarki sehingga perlu adanya perombakan konstruksi sosial dalam masyarakat. Perbedaan jenis kelamin tidak mengakibatkan peran dan perilaku gender� dalam tatanan sosial. Oleh karena itu, semua jenis pekerjaan � perempuan harus dihilangkan dalam kehidupan sosial. Satu sisi konsep kesetaraan gender ini dibantah oleh feminis aliran lain yang mengatakan bahwa perbedaan jenis kelamin akan selalu berdampak terhadap kontruksi konsep gender dalam kehidupan sosial. Dalam aktvitasnya, para feminis seringkali mem-blow up fakta-fakta perempuan tertindas seperti istri poligami yang dizalimi, Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang dianiaya majikan, perempuan yang diperkosa, dilecehkan, direndahkan versi pemahaman mereka. Jarang sekali suara-suara feminis yang mengangkat figur TKW yang sukses di negeri orang, para suami takut yang takut terhadap istrinya yang macho, para wanita yang membuat anak-anaknya terlantar atau membunuhnya, perempuan yang kumpul kebo menderita, para WTS yang merana tanpa masa depan pasti, kasus pembunuhan PRT yang dilakukan oleh majikan perempuan.� Hal ini bisa dimengerti, karena kalau figur-figur ini� diangkat, maka gambaran perempuan sebagai “budak”, kaum tertindas, lemah, atau kaum yang perlu di berdayakan, yang semuanya ini dapat membangkitkan rasa “kemarahan” para perempuan, tidak akan tercapai. SekularistikSeorang feminis bernama Alice Rossi, yang awalnya sangat menentang adanya perbedaan peran gender antarjenis kelamin, ternyata telah mengubah pandangannya.� Sebelumnya ia berpendapat, stereotip� gender bukan karena nature, melainkan karena adanya sosialisasi. Ia kemudian menulis perbedaan peran gender bukan karena fakta sosialisasi, melainkan bersumber dari keragaman antarseks, yang mempunyai tujuan fundamental untuk kelangsungan hidup spesies manusia. Allah SWT menciptakan manusia baik laki-laki dan perempuan dengan bentuk biologis dan peran yang berbeda.� Perbedaan jenis kelamin adalah hal yang nature, tak bisa diubah bagaimana pun caranya dan berefek pada peran manusia dalam masyarakat. Perbedaan jenis kelamin ini sengaja diciptakan Allah demi kelangsungan hidup spesies manusia itu sendiri. Ide feminisme � bersifat sekularistik, yakni terlahir dari aqidah pemisahan� agama dari kehidupan. Para feminisme � memberikan solusi-solusi terhadap problem yang ada berdasarkan analisa akal dan metode logika semata. Bukannya memberikan solusi namun menimbulkan persoalan baru. Adapun para feminis Muslim penganut teologi feminist yang mencoba membenarkan ide-ide feminisme dengan dalil-dalil Al Quran dan Hadis,� sesungguhnya tidak benar-benar menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai tumpuan ide feminisme. Sebenarnya, yang mereka lakukan adalah mengambil asumsi-asumsi feminisme apa adanya, lalu mencari-cari ayat atau hadits untuk membenarkannya. Kalau ternyata ada ayat atau hadits yang tidak sesuai dengan konsep kesetaraan gender yang dianut secara fanatik, maka ayat atau hadits itu harus diubah maknanya sedemikian rupa agar tunduk kepada konsep kesetaraan gender. Ketika mereka mendapatkan ayat atau hadist yang tidak sesuai dengan konsep tersebut, poligami atau ketidakbolehan perempuan menjadi penguasa, para feminis Muslim lalu menta`wilkan –tepatnya : memperkosa– ayat atau hadits tersebut agar sesuai dengan kehendaknya. Oleh karena itu, agar harkat martabat perempuan mulia, maka tiada jalan lain kita kembali pada aturan kehidupan Sang Pencipta manusia khususnya perempuan yang paling tahu mana yang terbaik bagi umat-Nya. [Aris Solikhah, penulis penggiat di Aliansi Penulis Pro Syariah
No comments:
Post a Comment