Thursday, August 7, 2008

Khilafah Hanya 30 tahun?

Beberapa Tanggapan Terhadap Khilafah

Konferensi Khilafah Islamiyyah pada tanggal 12 Agustus 2007 dinilai banyak kalangan sebagai sukses besar. Kebanyakan media massa menggambarkannya bahwa Gelora Bung Karno ‘crowded’ oleh 100 ribu peserta. Acara ini merupakan konferensi umat yang datang dari berbagai organisasi Islam. Hizbut Tahrir Indonesia merupakan even organizer-nya.

Kini isu Khilafah telah menjadi milik banyak kalangan. Respon pun bermunculan. Dalam tulisan ini disajikan komentar beberapa pihak yang negatif terhadap Khilafah. Tujuannya adalah untuk melihat apa alasan keberatan mereka. Alasan penolakan sistem Khilafah ini antara lain:


1. Khilafah hanya 30 tahun.

Sebagian kaum muslim ada yang berpendapat bahwa masa kekhilafahan hanya berumur 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Mereka mengetengahkan hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Ibnu Hibban dan ulama-ulama lainnya. Rasulullah saw bersabda, “Setelah aku, khilafah yang ada pada umatku hanya berumur 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan.”[HR. Imam Ahmad, Tirmidziy, dan Abu Ya’la dengan isnad hasan]“Khilafah itu hanya berumur 30 tahun dan setelah itu adalah raja-raja, sedangkan para khalifah dan raja-raja berjumlah 12.”[HR.. Ibnu Hibban]

Kata khilafah yang tercantum dalam hadits pertama maknanya adalah khilafah nubuwwah, bukan khilafah secara mutlak. Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bariy berkata, “Yang dimaksud dengan khilafah pada hadits ini adalah khilafah al-Nubuwwah (khilafah yang berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip nubuwwah), sedangkan Mu’awiyyah dan khalifah-khalifah setelahnya menjalankan pemerintahan layaknya raja-raja. Akan tetapi mereka tetap dinamakan sebagai khalifah.” Pengertian semacam ini diperkuat oleh sebuah riwayat yang dituturkan oleh Imam Abu Dawud,”Khilafah Nubuwwah itu berumur 30 tahun”[HR. Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud no.4646, 4647].

Ringkasnya, khilafah bukan hanya 30 tahun. Yang hanya 30 tahun itu adalah khilafah ’ala minhajun nubuwwah. Setelah itu, muncul khilafah (bukan ’ala minhajun nubuwwah) berupa mulkan adhud dan mulkan jabbariyan. Setelah itu akan muncul lagi khilafah ’ala minhajun nubuwwah.


2. Tidak ada landasan Quraniy/syar’iy.

Didalam al-Quran banyak sekali kata dan turunan kata terkait khalifah. Diantara ayat yang menunjukkan makna khalifah sebagai penguasa yang menerapkan hukum Allah adalah: “Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan” (TQS. Ash-Shad[38]:26).

Disamping itu kewajiban mengangkat Kholifah di dalam Al Qur’an antara lain berdasarkankan perintah untuk mentaati pemimpin. Al-Quran di banyak ayat telah mewajibkan kaum muslim untuk mentaati seorang pemimpin (ulil amriy). Allah swt berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan ulil amri (pemimpin) diantara kamu…”[Al-Nisaa’:59].

Ibnu ‘Athiyyah menyatakan bahwa ayat ini merupakan perintah untuk taat kepada Allah, RasulNya dan para penguasa. Pendapat ini dipegang oleh jumhur para ‘ulama: Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Zaid dan lain sebagainya.Yang dimaksud dengan penguasa di sini adalah khalifah atau imam. (Ibnu ‘Athiyyah, al-Muharrir al-Wajiiz, juz 4/hal.158 )

Ali Ash-Shabuni menyatakan bahwa ayat ini merupakan perintah untuk mentaati penguasa (khalifah) mukmin yang selalu berpegang teguh kepada syariat Allah swt. Sebab, tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk bermaksiyat kepada Allah swt. (Ali Ash-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz I/285 )

Meskipun manthuq ayat ini berisikan perintah untuk mentaati pemimpin, namun ayat di atas menyiratkan dengan jelas kewajiban untuk mengangkat seorang pemimpin (khalifah). Pengertian semacam ini bisa dipahami dengan memperhatikan dalalah iltizam yang melekat pada ayat tersebut3. Perintah untuk taat kepada penguasa sekaligus merupakan perintah untuk mengangkat seorang pemimpin. Sebab, Allah swt tidak mungkin memerintahkan untuk mentaati pemimpin sementara itu pemimpinnya tidak ada atau belum diangkat. Atas dasar itu, ayat ini merupakan dalil wajibnya kaum muslim mengangkat seorang pemimpin (khalifah), agar mereka bisa memberikan ketaatan kepada ulil amri. Tanpa mengangkat khalifah (ulil amri) mustahil mereka bisa memberikan ketaatan. (Lihat Taqiyyuddin Al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz III/173-176; bandingkan pula dengan Imam Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiiq al-Haq min ‘Ilm Al-Ushul; al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushul al-Ahkaam. )

Sementara, banyak hadits yang menegaskan makna ini. Bahkan, referensi dari kalangan ulama terkemuka sangat banyak yang menyatakan Khilafah itu wajib. Misalnya, Menurut Syaikh Abu Zahrah, “Jumhur ulama telah bersepakat bahwa wajib ada seorang imam (khalifah) yang menegakkan shalat Jumat, mengatur para jamaah, melaksanakan hudûd, mengumpulkan harta dari orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin, menjaga perbatasan, menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan hakim-hakim yang diangkatnya, menyatukan kalimat (pendapat) umat, menerapkan hukum-hukum syariah, mempersatukan golongan-golongan yang bercerai-berai, menyelesaikan berbagai problem, dan mewujudkan masyarakat yang utama. (Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88).

Imam Ibnu Taimiyyah berkata, “Harus dipahami bahwa wilayat al-naas (mengurus urusan masyarakat –tertegaknya Khilafah Islamiyyah) merupakan kewajiban teragung diantara kewajiban-kewajiban agama yang lain, bahkan agama ini tidak akan tegak tanpa adanya khilafah Islamiyyah.”(Imam Ibnu Taimiyyah, al-Siyaasat al-Syar’iyyah. Lihat pada Mauqif Bani al-Marjah, Shahwah al-Rajul al-Maridl, hal. 375) Walhasil, khilafah memiliki argumen syar’iy yang kuat dan mendalam.


3. Sejarah Khilafah yang penuh keburukan .

Harus diakui bahwa ada kejadian dalam sejarah yang memang keliru. Tapi, dengan alasan ada sebagian yang keliru bukanlah alasan untuk menolak khilafah secara keseluruhan. Sebab, masih banyak sisi-sisi lain kekhilafahan yang baik. Sayangnya, ini ditutup-tutupi. Paul Kennedy dalam The Rise and Fall of The Great Powers: Economic Change an Military Conflict from 1500 to 2000, menulis tentang ke-khilafah-an Utsmani dengan: Imperium Utsmani, lebih dari sekadar mesin militer. Dia telah menjadi penakluk elite yang mampu membentuk kesatuan iman, budaya, dan bahasa pada sebuah area lebih luas dari yang dimiliki Imperium Romawi dan untuk jumlah penduduk yang lebih besar.

Dalam beberapa abad sebelum tahun 1500, dunia Islam telah melampaui Eropa dalam bidang budaya dan teknologi. Kota-kotanya luas, terpelajar, perairannya amat bagus. Beberapa kota di antaranya memiliki universitas dan perpustakaan lengkap dan memiliki masjid-masjid yang indah. Dalam bidang matematika, kastografi, pengobatan, dan aspek lain dari sains dan industri, kaum muslimin selalu ada di depan.

Sekalipun disana sini ada penyimpangan, namun inti dari Khilafah berupa penerapan syariah dan terjalinnya ukhuwah tetap ada sepanjang masa. Kedaulatan ada di tangan Allah. Menolak kedaulatan (dalam arti yang berhak menghalalkan dan mengharamkan, menetapkan aturan kehidupan) di tangan Allah, berarti menolak Allah sebagai al-Hakim al-Mudabbir. Dan berkali-kali ditegaskan bahwa yang sedang diperjuangkan oleh banyak umat Islam dari berbagai kalangan adalah khilafah ’ala minhajun nubuwwah sebagaimana berita gembira dari Rasulullah SAW.


4. Sulit, tidak cocok dengan Indonesia.

Kalau berbicara sulit, di dunia ini tidak ada yang gampang. Kalau disebut tidak cocok, dalam hal apanya? Indonesia dan umat secara keseluruhan sedang dalam persoalan berat. Bila solusinya bukan syariah dan khilafah, lalu apa? Bila dikatakan Indonesia ini plural, justru ajaran Islam dan sejarahnya menunjukkan bahwa Islam yang membentang mulai Spanyol hingga Asia Tenggara yang pasti sangat plural dapat diatur oleh Islam. Bahkan, di Spanyol selama 800 tahun Islam berkuasa selama itu pula tiga agama Islam, Kristen, dan Yahudi hidup bersama.

T.W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam menulis : ” Ketika Konstantinopel kemudian dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras dan untuk itu dikeluarkan sebuah dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya. Hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri. Sang Uskup juga berhak meminta perhatian pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adil,”.

Keagungan Islam menjamin kebolehan non muslim beribadah tampak ketika Umar bin Khottob ra memasuki Yerussalem. Ketika ia berada di Gereja Holy Sepulchre, waktu sholat umat Islam pun tiba. Dengan sopan sang uskup menyilakannya sholat di tempat ia berada, tapi Umar dengan sopan pula menolak. Jika ia berdoa dalam gereja, jelasnya, umat Islam akan mengenang kejadian ini dengan mendirikan sebuah mesjid di sana, dan ini berarti mereka akan memusnahkan Holy Sepulchre. TW Arnold dalam The Preaching of Islam menulis : ” Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa , toleransi keagamaan diberikan kepada mereka , dan perlindungan jiwa dan harta mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen”.

Tulisan Arnold tersebut sekaligus membantah kesalahpahaman yang selama ini terjadi terhadap syariah Islam tentang perlakuan terhadap non muslim di Negara Khilafah. Dikesankan penerapan syariah Islam berarti pembantaian besar-besaran terhadap orang non muslim . Syariah Islam diskriminatif karena akan menjadikan kelompok non muslim menjadi kelompok minoritas yang terpinggirkan. Non Muslim juga akan dipaksa untuk masuk Islam dan mereka tidak dibolehkan untuk beribadah. Gereja, biara, akan dibakar oleh Negara.

Jaminan keamanan pun diberikan kepada non muslim. Sejarah mencatat, bahwa Kholifah pernah memberikan sertifikat tanah kepada para pengungsi Yahudi yang diusir dari Spanyol setelah runtuhnya pemerintahan Islam di sana. Hingga kini dokomentasinya masih terdapat di Istambul, Turki. Raja Perancis pernah dilindungi oleh Kholifah Sulaiman al Qonuni ketika diancam oleh musuh-musuhnya. Sejarawan Will Durant dalam The Story of Civilization, menggambarkan hal ini dalam tulisannya : ” Para Kholifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Kholifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan bagi siapapun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setalah masa mereka “


5. Adanya resistensi dari masyarakat

Adanya penolakan terhadap sebuah ide yang dianggap baru dan belum dipahami betul, adalah wajar. Rosulullah saw saja saat menyerukan Islam pertama kali di Mekkah ditolak oleh banyak orang. Bukan hanya ditolak, Rosulullah saw juga mengalami berbagai ujian mulai dari tawaran harta, penyiksaan, sampai propaganda negatif. Karena itu adanya resistensi tidak bisa dijadikan alasan, ini hanya sekedar kekhawatiran. Resistensi umumnya disebabkan karena ketidakpahaman. Hal ini disadari betul. Justru karena itu, yang dilakukan HTI adalah penyadaran. Dan, dengan semakin sadar berbagai pihak terhadap urgensi khilafah ini maka resistensi yang ada akan berangsur hilang.

Indonesia dan umat Islam umumnya punya masalah besar dalam menghadapi kapitalisme global yang menjajah. Apa yang dapat kita lakukan untuk mengunggulinya? Secara syar’iy dan realitas, Islam memiliki ajaran syariah dan khilafah sebagai solusinya. Faktanya, disamping syar’iy, khilafah merupakan solusi rasional dengan agregat ekonomi, politik dan sosial budaya. Sekarang, apa solusi yang disodorkan oleh pihak yang menolak syariah dan khilafah? Apakah Anda rela umat dibiarkan dijadikan bulan-bulanan, hartanya dirampas negara imperialis, wanitanya diperkosa, nyawanya tak dihargai, asalkan yang penting khilafah ditolak? Kini, kita butuh solusi! Daripada menolak, bukankah akan lebih produktif kalau kita diskusi tentang khilafah sebagai solusi bagi umat manusia, Muslim maupun non Muslim.


6. Mengancam keutuhan NKRI.

Hizbut Tahrir Indonesia dalam berbagai tulisannya di majalah al-Waie, website, dan tulisan beberapa media massa menegaskan bahwa Khilafah adalah untuk Indonesia menjadi lebih baik. Dalam konteks Indonesia, ide khilafah adalah jalan untuk membawa Indonesia ke arah lebih baik. Syariah akan menggantikan sekularisme yang terbukti memurukkan negeri ini. Ide khilafah sebenarnya juga merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan multidimensi yang kini nyata-nyata mencengkeram negeri ini dalam berbagai aspek. Hanya melalui kekuatan global, penjajahan oleh kekuatan kapitalisme global bisa dihadapi dengan cara yang sama. Karena itu, dakwah penerapan syariah dan khilafah merupakan bentuk kepedulian yang amat nyata dari HTI dan umat Islam terhadap masa depan Indonesia dan upaya menjaga kemerdekaan hakiki negeri ini atas berbagai bentuk penjajahan yang ada.

HTI telah memperingatkan Pemerintah tentang skenario asing yang melibatkan PBB melalui UNAMET, yang menghendaki Timtim lepas dari Indonesia. Bahkan ketika akhirnya Timtim lepas, HTI pernah menyampaikan kepada media massa bahwa HTI akan mengambil kembali Timtim dan menggabungkannya dengan Indonesia walaupun butuh waktu 25 tahun! Saat pembicaraan MoU Aceh di Helnsinki, tatkala kalangan tentara khawatir dengan hasil Perjanjian Helsinki, HTI-lah yang berteriak lantang agar Aceh tidak lepas dari NKRI dan agar NKRI jangan berada di bawah ketiak pihak asing. HTI pun secara konsisten terus memperingatkan Pemerintah tentang kemungkinan keterlibatan asing dalam percobaan disintegrasi di wilayah Ambon dengan RMS-nya atau Papua dengan OPM-nya. Wajar jika seorang pejabat militer pernah berujar bahwa ternyata HTI lebih ’nasionalis’ daripada organisasi dan partai-partai nasionalis. Sebab, bagi HTI, keutuhan wilayah NKRI itu final, dalam arti, tidak boleh berkurang sejengkal pun! Lagipula disintegrasi NKRI berarti akan semakin menyuburkan perpecahan umat. Bagi HTI, ini jelas kontraproduktif dengan gagasan Khilafah yang justru ingin mewujudkan persatuan umat yang memang dikehendaki syariah (QS Ali Imran [3]: 103).

Dalam konteks ekonomi, HTI pun telah sejak lama memperingatkan bahaya Kapitalisme global. Jauh sebelum krisis ekonomi menimpa bangsa ini sekitar tahun 1998, Hizbut Tahrir telah mengeluarkan buku tentang bahaya utang luar negeri melalui lembaga internasional seperti IMF. Sebab, bagi HTI, utang luar negeri berbasis bunga (riba), di samping haram dalam pandangan syariah, (QS al-Baqarah [2]: 275), juga merupakan alat penjajahan baru untuk mengeksploitasi negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia. HTI pun telah lama memperingatkan Pemerintah untuk: tidak ‘menjual murah’ BUMN-BUMN atas nama privatisasi yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak; tidak memperpanjang kontrak dengan PT Freeport yang telah lama menguras sumberdaya alam secara luar biasa di bumi Papua; mencabut HPH dari sejumlah pengusaha yang juga terbukti merugikan kepentingan publik, di samping mengakibatkan penggundulan hutan yang luar biasa; menyerahkan begitu saja pengelolaan kawasan kaya minyak Blok Cepu kepada ExxonMobile; tidak mengesahkan sejumlah UU bernuansa liberal seperti UU SDA, UU Migas, UU Penanaman Modal dll yang memberikan keleluasan kepada para kapitalis asing untuk menguras sumberdaya alam negeri ini; dll. Bagi HTI, kebijakan-kebijakan Pemerintah yang terkait dengan sumberdaya alam milik publik ini bertentangan syariah Islam, karena Nabi saw. pernah bersabda: Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) atas tiga hal: air, hutan dan energi (HR Ibn Majah dan an-Nasa’i). Sesuai dengan sabda Nabi saw. ini, Pendiri Hizbut Tahrir Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1953) memandang, bahwa seluruh sumberdaya alam yang menguasai hajat publik harus dikelola negara yang seluruh hasilnya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 213). Aneh, bila sikap menentang ketidakadilan dicurigai membahayakan. []

No comments: