Tuesday, August 5, 2008

KIAT KHILAFAH MENGATASI KONFLIK DAN PERPECAHAN

Pendahuluan

Negara manapun pasti menghadapi berbagai potensi konflik dan perpecahan, sebagaimana setiap negara pasti mempunyai kiat untuk mengatasinya. Yang berbeda hanyalah persepsi mengenai faktor penyebab konflik dan perpecahan, bergantung pada ikatan apa yang mempersatukan suatu negara. Selain itu kiat untuk mengatasi konflik dan perpecahan ini juga dapat berbeda-beda, bergantung pada persepsi mengenai "persatuan" (integrasi) dan "perpecahan" (disintegrasi).

Negara-bangsa (nation-state) yang berasaskan nasionalisme, misalnya, akan memandang nasionalisme sebagai faktor pemersatu, bukan faktor pemecah-belah. Karena itu, berbagai ikatan sub-nasional --yang oleh Geertz disebut ikatan primordial (primordial sentiments/attachments) seperti ikatan agama, suku, dan bahasa-- akan dipandang sebagai potensi disintegrasi yang dapat membahayakan keutuhan negara (Crouch, 1982). Berbagai ikatan tersebut, sudah barang tentu harus dijinakkan dengan tetap memposisikan nasionalisme sebagai ikatan tertinggi.

Namun Khilafah yang berasaskan Aqidah Islam, akan memandang nasionalisme sebagai faktor pemecah-belah, bukan faktor pemersatu. Sebab ikatan yang mempersatukan Khilafah adalah ikatan Aqidah Islam, bukan ikatan kebangsaan (Al-Maududi, 1993). Khilafah adalah negara untuk semua orang Islam di seluruh dunia, tanpa memandang kebangsaannya. Maka nasionalisme akan dianggap berbahaya karena dapat memecah-belah persatuan umat Islam di bawah satu Khilafah (Siddiqui, 2002). Ikatan nasionalisme ini tentu saja wajib dihancurkan agar Khilafah tidak mengalami disintegrasi (Haikal, 1996).

Tulisan ini bertujuan menjelaskan faktor-faktor penyebab konflik dan perpecahan dalam negara Khilafah serta menjelaskan bagaimana Khilafah mengatasinya.

Faktor-Faktor Penyebab Konflik & Solusinya

1. Perbedaan Visi Bernegara

Perbedaan ini secara garis besar ada 2 (dua) macam. Pertama, perbedaan mengenai sistem pemerintahan (nizham al-hukm), misalnya dalam Khilafah ada individu atau kelompok yang menginginkan sistem di luar Khilafah, seperti sistem republik atau sistem monarki (kerajaan). Contohnya adalah Musthafa Kamal yang menginginkan sistem republik atau Kelompok Ittihad wa At-Taraqqi yang mengadopsi sekularisme (Shalabi, 2004). Kedua, perbedaan dalam hal pemerintahan (al-hukkam), misalnya ada pihak yang ingin mengganti satu khalifah dengan khalifah yang lain, namun masih dalam sistem Khilafah. Contohnya golongan Bani Abbasiyah yang memerangi Khilafah Bani Umayyah (132 H) dengan tujuan agar Khilafah ada di tangan Bani Hasyim (An-Nabhani, 2002).

Untuk mengatasi perbedaan yang mengarah pada pergantian sistem pemerintahan, Khilafah dapat menempuh tiga langkah, yaitu : langkah pemikiran, politik, peradilan. Langkah pemikiran adalah berupa perang pemikiran (ash-shira’ul fikri) untuk menjelaskan kebatilan sistem republik atau monarki. Ini dapat ditempuh melalui sistem pendidikan, media massa, dan aktivitas dakwah oleh para ulama dan pemikir muslim. Langkah politik adalah kebijakan Khilafah melegislasi undang-undang yang melarang segala propaganda atau tindakan yang mendukung sistem-sistem pemerintahan selain Khilafah. Langkah peradilan adalah kebijakan para hakim untuk menindak setiap individu atau kelompok yang hendak mengganti Khilafah dengan sistem lain. Hakim berhak menjatuhkan ta’zir yang tegas untuk usaha mengubah sistem pemerintahan ini, yaitu penjara 15 tahun hingga hukuman mati (Al-Maliki, 1990).

Untuk mengatasi perbedaan yang hanya mengarah pada pergantian khalifah dengan jalan kekerasan, Khilafah dapat mengadopsi UUD yang secara rinci mengatur sistem pemerintahan (nizham al-hukm). Termasuk tatacara pergantian kekuasaan yang hanya sah dengan jalan baiat melalui dukungan umat (’an thariq al-ummah), bukan melalui jalan kekerasan (’an thariq al-quwwah) (An-Nabhani, 2002).

2. Perbedaan Firqah & Mazhab

Perbedaan firqah merupakan perbedaan kelompok atas dasar pemahaman tertentu dalam memahami Aqidah Islam. Ini berpotensi menimbulkan konflik antar firqah, misalnya antara Ahlus Sunnah dan Syiah, atau antara Ahlus Sunnah dan Mu’tazilah. Ahlus Sunnah misalnya memandang setelah Rasulullah SAW wafat, khalifah yang sah adalah Abu Bakar. Sementara Syiah memandang, seharusnya khalifahnya adalah Ali bin Abi Thalib, bukan Abu Bakar. Demikian pula perbedaan mazhab dalam banyak masalah fiqih antara mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, seringkali juga dapat menjadi potensi konflik atau perpecahan (Al-Wakil, 1998; Isa, 1982).

Menyikapi perbedaan firqah, Khilafah tidak akan campur tangan, selama Aqidah yang dianut berbagai firqah masih Aqidah Islam. Kecuali jika aqidah suatu firqah telah keluar dari Aqidah Islam, misalnya meyakini bahwa Allah telah hulul (merasuk) pada Ali bin Abi Thalib. Firqah seperti ini dianggap murtad dan diperlakukan sebagai orang murtad, yakni dijatuhi hukuman mati oleh Khilafah jika tidak bertaubat (An-Nabhani, 2002).

Khilafah juga tidak mengadopsi suatu aliran tertentu dalam Aqidah Islam, misalnya Mu’tazilah, sebab ini menimbulkan haraj (kesulitan/kesempitan) bagi umat. Kecuali jika ahlul bid’ah telah merajalela dengan aqidah yang tidak sahih (namun belum dapat dikafirkan), maka Khilafah akan menjatuhkan sanksi yang membuat mereka jera. Jika aqidah ahlul bid’ah termasuk aqidah kufur, maka mereka diperlakukan sebagai orang murtad.

Adapun perbedaan fiqih pada masalah-masalah ijtihadiyah, misalnya penentuan awal Ramadhan apakah dengan ru’yat atau hisab, maka Khilafah berhak mengadopsi satu hukum syara’ tertentu yang wajib atas seluruh umat untuk mentaati dan mengamalkannya. Sebab kaidah syariah menetapkan : Amrul Imam yarfa’ul khilaf (perintah Imam menghilangkan perbedaan pendapat).

3. Kelemahan Pengelolaan Pemerintahan

Misalnya diamnya Daulah Abbasiyah terhadap Abdurrahman Ad-Dakhil di Andalusia dan membiarkannya berkuasa secara independen. Demikian pula yang terjadi dengan golongan Saljukiyin dan Hamdaniyin yang sebetulnya adalah para wali (gubernur), bukan para khalifah. Namun karena diberi wewenang yang luas dalam urusan dalam negeri, akhirnya propinsi-propinsi mereka menjadi seperti negara-negara kecil yang berdaulat (An-Nabhani, 1990).

Untuk mengatasi masalah ini, Khilafah dapat dapat mengadopsi UUD yang mengatur pembatasan kekuasaan para wali. Misalnya, wali tidak diberi kewenangan umum (wilayah ’ammah) yang mencakup segala urusan, tapi hanya diberi kewenangan khusus (wilayah khashash) yang tidak mencakup urusan peradilan, militer, dan keuangan. (Ajhizah Dawlah Al-Khilafah, 2005).

4. Ketidakadilan Pemerintah

Pemerintah Khilafah dalam sejarah ada yang berbuat zalim atau tidak adil sehingga dapat memicu munculnya konflik. Misalnya, dalam penarikan jizyah dari Ahludz Dzimmah (warga negara nonmuslim), Khalifah Umar bin Khaththab dalam perjalanannya ke Syam pernah melihat para pegawainya menyiksa orang-orang non-muslim yang tidak membayar jizyah. Khalifah Walid bin Abdul Malik (Bani Umayyah) pernah merampas gereja Yohana dari tangan Nasrani, lalu dijadikan masjid. (Al-Maududi, 1993).

Solusi masalah ini adalah Khilafah wajib menegakkan keadilan dan menghilangkan segala bentuk kezaliman. Dalam kasus di wilayah Syam atas, Khalifah Umar langsung mengambil tindakan dengan melarang penyiksaan atas non-muslim itu (Abu Yusuf, Al-Kharaj, hal. 71). Demikian juga dalam kasus perampasan masjid, ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, beliau mengembalikan gereja yang sudah dijadikan masjid kepada kaum Nasrani (Al-Balazhuri, Futuhul Buldan, hal. 132).

5. Kecemburuan Sosial dan Ekonomi

Kecemburuan sosial ekonomi dapat pula memicu konflik atau perselisihan, sebagai akibat kebijakan memprioritaskan kelompok, golongan, suku, atau ras tertentu di atas yang lain tanpa alasan syar’i. Khalifah Al-Mu’tashim (Bani Abbasiyah) misalnya, mengistimewakan orang-orang Turki untuk menjabat posisi-posisi penting. Ini dilakukannya untuk menggeser orang-orang Persia yang menjadi pejabat-pejabat administrasi pemerintahan Abbasiyah sejak Khalifah Al-Makmun (Shalabi, 2004).

Mengatasi masalah ini, Khilafah wajib berbuat adil tanpa mengutamakan satu kelompok, golongan, ras, atau suku tertentu atas yang lain. Sebab tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non-Arab, kecuali atas dasar taqwa. Dalam ketentuan mengenai pengangkatan pegawai, diberlakukan hukum ijarah yang bersifat umum dan mutlak. Yaitu setiap orang yang memiliki kewarganegaraan dan memenuhi kualifikasi, laki-laki atau perempuan, muslim atau non-muslim, berhak menjadi pegawai pemerintah (Ajhizah Dawlah Al-Khilafah, 2005).

Dalam konteks yang lebih luas, Khilafah wajib melakukan distribusi kekayaan secara adil kepada seluruh individu masyarakat. Khilafah mengambil berbagai kebijakan ekonomi dalam bidang perdagangan, jasa, pertanian, dan sebagainya agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja (QS Al-Hasyr : 7).

6. Intervensi Negara Asing

Sejarah mengajarkan bahwa intervensi negara asing dalam tubuh Khilafah Utsmaniyah, misalnya serangan politik dan pemikiran serta kristenisasi yang dijalankan Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat, ternyata sangat mematikan karena berujung hancurnya Khilafah tahun 1924. Tersebarnya paham sekularisme dan nasionalisme yang kafir juga merupakan salah satu dampak intervensi asing yang jahat ini (Tha’imah, 1984; Khalidi & Farrukh, 1986).

Khilafah wajib menghadapinya dengan tindakan tegas. Selain mengaktifkan jaringan intelijen negara yang didukung oleh umat, Khilafah dapat menjatuhkan sanksi ta’zir yang keras. Kepada individu atau kelompok mana pun yang menjadi agen asing yang menyerukan ide kafir seperti sekularisme dan nasionalisme, dapat dijatuhi hukuman mati dan setelah itu jenazahnya disalib di pinggir jalan. [ ]

DAFTAR PUSTAKA

Al-Maliki, Abdurrahman, Nizham Al-’Uqubaat, (Beirut : Darul Ummah), 1990

Al-Maududi, Abul A’la, Hak-Hak Minoritas Nonmuslim dalam Negara Islam, Penerjemah A. Syatibi Abdullah, (Bandung : Sinar Baru), 1993

Al-Wakil, M. Sayyid, Wajah Dunia Islam dari Dinasti Umayyah Hingga Imperialisme Modern (Lamhah min Tarikh Ad-Da’wah : Asbab Adh-Dha’f fi Al-Ummah Al-Islamiyyah), Penerjemah Fadhli Bahri, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar), 1998

An-Nabhani, Taqiyuddin, Ad-Dawlah Al-Islamiyah, (Beirut : Darul Ummah), 2002

Ash-Shalabi, Muhammad, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (Ad-Dawlah Al-Utsmaniyah ’Awamil Al-Nuhudh wa Asbab As-Suquth), Penerjemah Samson Rahman, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar), 2004

Crouch, Harold, Perkembangan Politik dan Modernisasi, (Jakarta : Yayasan Perkhidmatan), 1982

Haikal, M. Khair, Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Asy-Syar’iyah, Juz I, (Beirut : Darul Bayariq), 1996

Khalidi, Musthafa & Farrukh, ’Umar, At-Tabsyir wa Al-Isti’mar fi Al-Bilad Al-‘Arabiyah, (Beirut : Al-Maktabah Al-Arabiyah), 1986

Isa, Abdul Jalil, Masalah-Masalah Keagamaan Yang Tidak Boleh Diperselisihkan Antara Sesama Ummat Islam (Maa Laa Yajuuzu fiihi Al-Khilaaf Bayna Al-Muslimin), Penerjemah M. Tolchah Manyur & M. Masyhur Amin, (Bandung : Almaa’rif), 1982

Lembaga Studi & Penelitian Islam Pakistan, Membangun Kekuatan Islam di Tengah Perselisihan Ummat (Al-’Amal Al-Islami Bayna Da’awiy Al-Ijtima’ wa Du’aat An-Nizaa’), Penerjemah M. Thalib, (Yogyakarta : Wihdah Press), 2001

Siddiqui, Kalim, Seruan-Seruan Islam: Tanggung Jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat (In Pursuit of the Power of Islam), Penerjemah Akhmad Affandi & Humaidi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), 2002

Tha’imah, Shabir, Akhthar Al-Ghazw Al-Fikri ’Ala Al-’Alam Al-Islami, (Beirut : ’Alam Al-Kutub), 1984

No comments: