ISLAM DAN IDEOLOGI TRANSNASIONAL
Ada yang menarik untuk dicermati dari pidato salah seorang tokoh Muslim negeri ini saat memperingati 100 hari wafatnya KH Yusuf Hasyim 29 April 2007 yang lalu sebagai mana dilansir harian ini hari Senin 30 April 2007. Dalam pidatonya, tokoh tersebut tidak sungkan-sungkan mendesak pemerintah untuk mencegah masuknya ideologi transnasional ke Indonesia, baik ideologi transnasional dari Barat maupun dari Timur.
Tokoh yang sama juga menyatakan, bahwa Islam adalah agama, bukanlah ideologi. Masih menurut dia, yang terjadi di Timur Tengah saat ini adalah akibat dari Islam sebagai ideologi, bukan sebagai agama. Benarkah demikian? Bisakah Islam dipisahkan sebagai agama dan ideologi? Lalu di manakah posisi Ikhwanul Muslimin, Majelis Mujahidin, Alqaidah yang beliau kategorikan sebagai ideologi Islam di Timur Tengah dan bukan Islam dengan alasan Islam sebagai agama bukan gerakan kepentingan apalagi politis?
Islam, agama, dan ideologi
Islam, menurut Imam Akbar Mahmud Syaltut, dalam kitabnya Al Islam 'Aqidatan wa Syari'atan (1966: 9-11) adalah dinullah yang seluruh ajarannya, baik akidah maupun syariatnya, telah disampaikan kepada Nabi SAW. Dari Alquran, kita tahu bahwa Islam mempunyai dua bagian pokok, di mana faktanya tidak akan pernah ada, dan maknanya juga tidak akan terealisasi, kecuali jika kedua bagian tersebut ada dan diwujudkan. Dua bagian itu tak lain adalah akidah dan syariat.
Ibarat bangunan, akidah adalah pondasi, sementara syariat adalah konstruksi dari seluruh bangunan yang dibangun di atasnya yang mengandung berbagai unsur bangunan seperti ibadah, muamalah, akhlak, ukhuwah Islamiyyah dan kelengkapannya. Sebagai pondasi, akidah memang tidak tampak di permukaan. Ini berbeda dengan syariat, karena akidah adalah aktivitas kalbu, sementara syariat adalah aktivitas fisik. Meski demikian, dua-duanya tidak dapat dipisahkan. Inilah Islam.
Islam adalah din yang lengkap dan sempurna (QS 05: 03). Sebagai din, Islam bukan hanya membahas masalah keakhiratan, tapi Islam juga membahas berbagai masalah keduniaan, seperti pemerintahan, ekonomi, pendidikan, sosial-kemasyarakatan, politik luar negeri dan sebagainya, yang lazimnya menjadi wilayah ideologi. Karena itu, bisa disimpulkan, bahwa Islam adalah agama sekaligus ideologi.
Kita memang sering dirancukan dengan istilah ideologi, sebagai kerangka filosofis yang dihasilkan oleh manusia, seperti kapitalisme dan sosialisme. Sedemikian, sehingga Islam, menurut logika ini, bukan merupakan ideologi, melainkan agama. Alasannya, karena ideologi adalah kerangka filosofis yang dihasilkan oleh akal manusia, sementara Islam tidak. Padahal, konteks pembahasannya adalah sumber ideologi, bukan apa ideologi itu sendiri? Ini adalah dua fakta yang berbeda. Karena itu, dalam konteks sumber ideologi, bisa disimpulkan ada dua kategori ideologi, yaitu ideologi yang bersumber dari akal manusia, dan ideologi yang bersumber dari wahyu Allah SWT. Dari sini, bisa disimpulkan, bahwa Islam adalah ideologi yang bersumber dari wahyu Allah, yang jelas berbeda dengan kapitalisme maupun komunisme.
Agama dan ideologi transnasional
Istilah transnasional sering digunakan dengan merujuk pada penggunaan istilah kejahatan transnasional, dengan konotasi lintas batas negara. Jika ada agama dan ideologi yang disebut sebagai agama dan ideologi transnasional, itu adalah Islam. Kalau Islam bukan agama transnasional, maka tidak ada ibadah yang dilakukan lintasnegara, seperti haji, umrah dan jihad. Kalau Islam bukan agama transnasional, pasti praktik ibadah kaum Muslim di Indonesia berbeda dengan kaum Muslim di Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait, dan sebagainya. Namun, justru karena shalat, puasa, zakat dan hajinya sama, maka semuanya ini membuktikan, bahwa Islam adalah agama transnasional.
Demikian halnya dengan Islam sebagai idoelogi. Persatuan umat Islam di seluruh dunia selama 14 abad dalam satu kebudayaan dan negara adalah bukti, bahwa Islam juga merupakan ideologi transnasional. Seperti kata Will Durant (1885-1981), "Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan sampai Maroko dan Spanyol. Islam juga telah menguasai cita-cita mereka, mendominasi akhlaknya, membentuk kehidupannya dan membangkitkan harapan di tengah-tengah mereka, yang meringankan masalah maupun duka mereka. Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka, sehingga jumlah orang yang memeluknya dan berpegang teguh kepadanya pada saat ini (era Will Durant) sekitar 350 juta jiwa. Agama Islam telah menyatukan mereka dan melunakkan hatinya walaupun ada perbedaan pendapat dan latar belakang politik di antara mereka." (Will Durant, The History of Civilization, vol XIII).
Nah, dalam konteks agama dan ideologi transnasional ini, posisi Islam sama dengan Kristen dan Yahudi di satu sisi, dan dengan kapitalisme maupun sosialisme di sisi lain. Bedanya, jika Kristen dan Yahudi adalah agama transnasional, sama dengan Islam. Namun, kedua agama yang aslinya diturunkan kepada Bani Israil itu sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai ideologi secara hakiki. Sebab, ideologi hakiki adalah sekumpulan keyakinan yang menghasilkan sistem peraturan kehidupan, seperti sistem ekonomi, sistem sosial, sistem politik, dan lain-lain. Kedua agama Bani Israil itu hanya memuat sekumpulan keyakinan, ibadah ritual, dan budi pekerti. Para penganut mereka tunduk dalam sistem ideologi apapun yang diberlakukan, baik itu sistem sosialis, kapitalis maupun Islam. Sedangkan di dalam Islam, peraturan tentang bebagai sistem kehidupan tersebut secara sempurna dan menyeluruh telah tersusun secara sistematis di dalam syariat Islam yang kaffah.
Berkaitan dengan ajaran ideologi kapitalisme maupun sosialisme, keduanya adalah ideologi transnasional, sama dengan Islam. Bedanya, kapitalisme maupun sosialisme bukanlah agama, dan tidak akan pernah bisa menjadi agama. Dengan demikian, satu-satunya agama dan sekaligus ideologi transnasional yang utuh adalah Islam.
Pertanyaannya adalah, ideologi transnasional manakah yang dimaksud oleh tokoh tersebut, sedemikian gawatnya, sehingga dia memprovokasi pemerintah untuk mencegahnya. Jika yang dimaksud adalah sosialisme (komunisme), tentu kita setuju. Karena secara generik bertentangan dengan akal dan fitrah manusia, dan telah terbukti gagal. Demikian halnya, jika yang dimaksud adalah adalah kapitalisme, kita pun setuju. Namun, jika yang dimaksud itu adalah Islam, maka mencegah masuknya ideologi Islam transnasional jelas tidak mungkin.
Adapun posisi Ikhwanul Muslimin, Alqaidah, dan Majelis Mujahidin menurut hemat penulis bukanlah ideologi tetapi organisasi yang berideologi Islam. Posisi organisasi-organisasi tersebut kiranya sama dengan NU, Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad, Dewan Dakwah, HMI, PII, dan lain-lain di Indonesia sebagai organisasi-organisasi yang berideologi Islam. Tentu saja pemerintah tidak bisa melarang organisasi-organisasi dakwah dan gerakan Islam tersebut karena ideologi Islam yang mendasari pikiran dan gerakannya. (Republika, 25 Mei 2007)
Ikhtisar
- Selain menjadi agama, Islam juga telah menjadi ideologi yang menyebar secara transnasional.
- Posisi Islam sebagai agama dan sebagai ideologi tidak bisa dipisahkan.
- Keinginan untuk melarang masuknya ideologi transnasional harus diuraikan lebih tegas.
Sumber : http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=294329&kat_id=16
ARTIKEL TERKAIT :
KRITIK ATAS PENOLAKAN IDEOLOGI TRANSNASIONAL
Oleh : Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Pada pembukaan temu wicara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Pengkajian Konstitusi di Jakarta, Jum'at 23 Februari 2007, Ketua PB NU Hasyim Muzadi menyatakan, "NU menggunakan pendekatan substansial inklusif ketika berhubungan dengan negara. Bagi NU, UUD 45 itu sarat makna agama meski tidak ada stempel agamanya. Namun, saat diberi stempel Islam, agama lain akan marah. NU memiliki dua dimensi. Pertama, sesuai AD/ART, NU melakukan syari'at Islam dalam lingkup umat Islam. Kedua, untuk Indonesia, NU tak memaksakan syari'at. Tetapi membangun hukum nasional yang diilhami nilai agama. Bagi NU, Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler." (Kompas, 26 Februari 2007).
Pernyataan tersebut jelas bertentangan dengan khithah perjuangan NU sendiri. Dalam AD/ART NU Pasal 2 ayat 2 dinyatakan, "Menegakkan syari'at Islam menurut haluan Aswaja (Ahlu sunnah wal Jama'ah)." Konkretnya, seperti dikatakan Imam Syafi'i, haluan Aswaja, adalah mengamalkan syari'at Islam dalam pengelolaan pemerintahan dan pengadilan.
Lagi pula, benarkah UUD '45 sarat makna agama meski tidak ada stempel agamanya? Pernyataan ini bukan kenyataan yang terjadi di masyarakat? Terjadinya pelacuran, perjudian, korupsi, narkoba, perdagangan perempuan, jual beli bayi, ternyata tidak diharamkan dalam UUD '45. Tidak ada ketegasan sikap terhadap perbuatan maksiat yang bertentangan dengan semua agama. Lalu, dimana nuansa agamanya?
Keberpihakan UU terhadap doktrin agama harus tegas. Penolakan terhadap paham sesat dan perbuatan yang dikategorikan maksiat, yang sudah jelas merugikan masyarakat, juga harus jelas. Menghalalkan atau mengharamkan, agar tidak terjadi persepsi abu-abu dan oportunistik. Alih-alih bersikap tegas, negara justru banyak membuat aturan moral, politik, ekonomi, keamanan, yang bersifat munkarat dan zalim. Akibatnya, perilaku bejat, merajalela mulai dari pejabat hingga rakyat jelata.
Dalam posisinya sebagai ketua PB NU, ia juga mendesak pemerintah untuk mencegah masuknya ideologi transnasional ke Indonesia, baik ideologi transnasional dari Barat maupun dari Timur, yang dinilainya sama-sama merusak NU dan Indonesia. Kemudian, dirinya mengaku hendak mengkampanyekan Islam ala NU sebagai alternatif transideologi, dengan memandang Islam sebagai agama dan bukan sebagai ideologi.
Ketika memperingati khaul 100 hari wafatnya KHM Yusuf Hasyim di kantor PWNU Jawa Timur, Ahad 29 April 2007, Hasyim Muzadi berpidato, "Apa yang terjadi di Timur Tengah selama ini bukan Islam sebagai agama, tapi ideologi Islam. Dan ideologi Islam di Timur Tengah antara lain Ikhwanul Muslimin, Majelis Mujahidin, Alqaidah, dan sebagainya. Tapi ideologi Islam itu bukan Islam, karena Islam sebagai agama bukan bersifat gerakan kepentingan apalagi politis." (Republika, 30/4/2007).
Peringatan agar menolak ideologi Islam made in Timur Tengah, persis sama dengan nasihat Snouck Hurgronje kepada penjajah kolonial Belanda yang berkedudukan di Batavia. Barangkali hanya kebetulan saja, tapi untuk mengetahui misi dan latar belakang pemikiran yang secara tiba-tiba dilontarkan Hasyim Muzadi, cukup menarik dan mengundang tanda tanya. Apalagi, peringatan itu dikaitkan dengan institusi Islam, Majelis Mujahidin, yang selama 6 tahun terakhir ini menawarkan formalisasi syari'at Islam di lembaga negara, sebagai solusi alternatif mengatasi problem bangsa Indonesia.
Dalam buku Nasihat-nasihat C Snouck Hurgronje Semasa kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronje pernah menyusup ke Makkah dengan mengganti namanya, Abdul Ghafar. Dia menasihatkan agar pemerintah Belanda selektif dan cermat terhadap transpemikiran yang datang dari Timur Tengah, khususnya dari pemerintahan Khilafah Utsmaniyah. Agar mengawasi arus komunikasi antara komunitas ulama Indonesia terutama dengan para ulama Timur Tengah, khususnya ulama Makkah yang beraliran wahabi. Nasihat ini disampaikan oleh Snouck kepada gubernur jenderal Belanda yang berkedudukan di Batavia, 4 Mei 1898.
Penolakan seperti ini lebih banyak membingungkan ketimbang memberi solusi keagamaan. Apalagi, logika penolakan yang dilontarkannya bersifat tanaqud (kontroversi). Sungguh menyedihkan, di satu segi dia menolak paham Islam yang datang dari luar, tetapi dia mau mengekspor ajaran NU sebagai ideologi transnasional. Apa dasar pembenaran logika pemikiran semacam ini?
Pengertian Islam
Penonjolan istilah Islam ideologis yang dianggapnya bukan Islam, hanyalah gambaran dari pengaruh doktrin marxisme atau gereja yang sangat membenci segala yang bernuansa agama dalam kancah politik praktis. Karena pembagian antara Islam sebagai agama di satu pihak dan Islam sebagai ideologi di pihak lain, persis doktrin gereja yang bersemboyan, 'gereja hanya mengurusi ritual, sedang urusan negara menjadi kewenangan kaisar'.
Jika Islam ideologi dianggap bukan agama, lalu apa definisi agama yang dimaksud? Pada tahun 50-an, sidang tarjih Muhammadiyah, menelorkan sebuah keputusan tentang makna agama. Yaitu, tatanan kehidupan dalam segala aspeknya, termasuk politik dan kenegaraan.
Jadi agama, baik dalam pandangan NU maupun Muhammadiyah berfungsi sebagai tatanan kehidupan yang mencakup semua aspek kehidupan. Dalam persepektif ini, jelas tidak ada perbedaan antara Islam ideologis dengan Islam sebagai agama. Dahulu, Muhammadiyah menjadi pendukung utama partai Masyumi yang bertujuan tegaknya syari'at Islam dalam kehidupan orang seorang, masyarakat, bangsa, dan negara. Tujuan ini, pada awalnya juga mendapat dukungan penuh warga NU.
Oleh karena itu, menganggap Islam ideologi hanyalah gerakan politik, dan bukan gerakan agama, selain membingungkan warga Nahdhiyin sendiri, juga mengundang dilema. Sebab, faktanya para kiai NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), bahkan sekarang muncul tandingan baru, Partai Kebangkitan Nahdhatul Ummah (PKNU). (Republika, 9 Mei 2007).
Sumber : http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=292473&kat_id=16
No comments:
Post a Comment