Tanya : Saya berpuasa Senin Kamis tidak dawam tapi sering, bolehkah diteruskan pada pertengahan akhir bulan Sya’ban? (08125025631)
Jawab :
Terdapat ikhtilaf di kalangan ulama dalam hal hukum berpuasa sunnah (tathawwu’) pada pertengahan akhir dari bulan Sya’ban. Ada tiga pendapat. Jumhur ulama membolehkan. Namun ada yang memakruhkan, seperti Imam Ar-Rauyani dari ulama Syafi’iyah; dan ada pula ulama yang mengharamkan, seperti pendapat banyak ulama Syafi’iyah (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/249; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/583; Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171; Imam Syaukani, Nailul Authar, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000, hal. 889).
Menurut pentarjihan kami, wallahu a’lam, berpuasa sunnah pada pertengahan akhir Sya’ban hukumnya adalah haram, kecuali jika seseorang sudah terbiasa melakukan puasa sunnah sebelumnya. Inilah pendapat para ulama Syafi’iyah, seperti Imam Syirazi sebagaimana dalam kitabnya Al-Muhadzdzab Juz I hal. 189.
Dalil keharamannya adalah sabda Nabi SAW : "Jika bulan Sya’ban telah sampai pertengahan, maka janganlah kamu berpuasa hingga datang Ramadhan!" (idzaa [i]ntashofa Sya’baanu falaa tashuumuu hattaa yakuuna ramadhaanu). (HR Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidziy, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah; dari Abu Hurairah RA). Hadits ini shahih menurut Ibnu Hibban, dan hasan menurut Imam Suyuthi. (Lihat Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171; Imam Suyuthi, Al-Jami’ush Shaghir, I/21).
Hadits Abu Hurairah itulah yang menjadi dalil keharaman menurut para ulama mazhab Syafi’i. Meski demikian, ada ulama yang menganggap hadits itu lemah (dhaif), seperti Imam Ahmad, rahimahullah, sehingga berpuasa sunnah pada pertengahan akhir Sya’ban tidaklah haram menurut beliau. Karena menurut Imam Ahmad pada hadits itu ada perawi yang lemah, yaitu al-‘Ala` bin Abdurrahman. Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in berkata,"Sesungguhnya hadits itu munkar." (innahu munkar). (1) (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 889).
Akan tetapi, kami lebih condong kepada pendapat ulama yang menghasankan hadits tersebut. Imam Shan’ani berkata,"Dan dia [Al-‘Ala` bin Abdurrahman] termasuk perawi-perawi hadits Imam Muslim." (wa huwa min rijaal muslim). Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata dalam kitabnya At-Taqrib,"Sesungguhnya dia [Al-‘Ala` bin Abdurrahman] adalah orang yang jujur meski kadang-kadang berbuat waham (mempunyai persangkaan yang lemah)." (innahu shaduuq wa rubbamaa wahama). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171). Maka dari itu, hadits di atas dalam pentarjihan kami adalah hadits hasan, yang dapat dijadikan hujjah (yuhtajju bihi). Imam Suyuthi menghasankan hadits tersebut (Lihat Imam Suyuthi, Al-Jami’ush Shaghir, I/21).
Dengan demikian jelaslah, bahwa dengan dalil hadits tersebut, berpuasa sunnah setelah pertengahan Sya’ban hukumnya adalah haram. Kecuali jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sunnah sebelumnya maka hukumnya tidak haram. Imam Shan’ani berkata,"Hadits di atas adalah dalil larangan berpuasa setelah pertengahan Sya’ban. Akan tetapi larangan itu muqayyad (ada dalil lain yang mengecualikannya) yaitu hadits Nabi,"kecuali bertepatan dengan puasa yang sudah biasa dilakukannya" (illa an yuwaafiqa shauman mu’taadan). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171).
Sebelum kami akhiri, kami tambahkan satu penjelasan untuk menambah faidah. Yaitu diskusi (munaqasyah) mengenai pendapat ulama yang membolehkan puasa sunnah setelah pertengahan Sya’ban. Mereka berdalil antara lain dengan hadits dari Ummu Salamah RA bahwa Nabi SAW tidak pernah berpuasa satu bulan penuh dalam setahun kecuali pada bulan Sya’ban yang bersambung pada bulan Ramadhan (anna an-nabiyya shallallahu ‘alaihi wa sallama lam yakun yashuumu min as-sanati syahran taamman illaa sya’baana yashilu bihi ramadhaana) (HR. Khamsah). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 879; hadits no.1722).
Kami tidak sepakat dengan pendapat yang membolehkan itu, karena hadits Ummu Salamah ini bertentangan (taa’rudh) dengan hadits Abu Hurairah di atas. Padahal dalam ushul fiqih terdapat kaidah bahwa hadits qauli (ucapan Nabi) lebih diutamakan daripada hadits fi’li (perbuatan Nabi). Hadits Abu Hurairah sebagai hadits qauli (ucapan Nabi) lebih diutamakan daripada hadits Ummu Salamah yang merupakan hadits fi’li (perbuatan Nabi). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171).
Sejalan dengan itu, menurut kami, pertentangan (taa’rudh) kedua hadits di atas hakikatnya hanyalah pada lahiriahnya saja. Artinya, masih dimungkinkan melakukan kompromi (jama’) di antara kedua hadits tersebut. Jika bertentangan hadits qauli dengan hadits fi’li pada suatu perbuatan, dalam keadaan tidak diketahui mana dari keduanya yang lebih dulu, maka menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, rahimahullah, berarti bahwa hadits qauli itu berlaku untuk umat Islam, sedang hadits fi’li berarti merupakan hukum khusus (khususiyat) bagi Nabi SAW (Lihat Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz III (Ushul Fiqih), pada Bab At-Ta’arudh Bayna Fi'lin An-Nabiy wa Qaulihi, hal. 107-110).
Dengan demikian, kedua hadits tersebut dapat dijama’ dengan menghasilkan satu pemahaman, bahwa kebolehan berpuasa setelah pertengahan Sya’ban adalah merupakan khususiyah Nabi, sedangkan bagi umat Islam, hukumnya adalah haram. Inilah pendapat yang rajih (kuat) menurut kami. Wallahu a’lam [ ]
Catatan :(1) Hadits Munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dhaif, menyalahi apa yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (definisi Ibnu Hajar Al-Asqalani). Definisi kedua, hadits munkar adalah hadits yang dalam isnadnya ada perawi yang banyak kesalahannya [dalam menyampaikan hadits], atau banyak kelengahannya [dalam menerima hadits], atau jelas kefasikannya (Lihat Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Musthalah Al-Hadits, hal. 95-96; Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, hal. 158-159).
No comments:
Post a Comment