Pada Hari Senin, 13 Juni 2005, pukul 08.30 WIB, dalam acara Good Morning, Trans TV melakukan kampanye legalisasi perkawinan sesama jenis. Ketika itu ditampilkan sosok wanita lesbi bernama Agustin, yang mengaku sudah 13 tahun hidup bersama pasangannya yang juga seorang wanita.
Agustin, yang mengaku menyukai sesama wanita sejak umur 12 tahun, ditampilkan sebagai sosok yang “tertindas”, diusir oleh keluarganya, pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, gara-gara dirinya seorang lesbi. Kini ia bekerja di LSM Koalisi Perempuan Indonesia.
Ketika ditanya, mengapa dia berani membuka dirinya, sebagai seorang lesbi, Agustin menyatakan, bahwa dia sudah capek berbohong. Dia ingin jujur dan mengimbau masyarakat bisa memahami dan menerimanya.
Praktik hubungan seksual dan perkawinan sesama jenis, katanya, adalah sesuatu yang baik. Seorang psikolog yang juga seorang wanita (tidak dijelaskan apakah dia lesbi atau tidak) juga menjelaskan bahwa homoseksual dan lesbian bukan praktik yang abnormal, tetapi merupakan
orientasi dan praktik seksual yang normal.
Acara Trans TV itu tentu saja perlu diberi perhatian serius oleh kaum Muslimin. Sebab, ini merupakan kampanye dan promosi perkawinan sesama jenis yang bersifat massal dan terbuka. Selama ini, banyak TV yang menayangkan acara –baik sinetron, komedi, film– yang secara terselubung berisi kampanye dukungan buat kaum homo.
Hanya saja, biasanya tidak sampai kepada bentuk dukungan terhadap perkawinan sesama jenis.
Setelah acara itu, saya mengirimkan banyak SMS kepada beberapa tokoh Islam di Indonesia. Namun, hampir seminggu ini, belum ada reaksi.
Mungkin tokoh-tokoh Islam sedang sibuk, atau sedang mengalami “kegagapan” menghadapi arus globalisasi dan hegemoni media televisi yang saat ini menjadi “penguasa moral” dan penentu nilai-nilai moral baru di tengah masyarakat.
Salah satu dampak globalisasi adalah lahirnya sikap “ketidakberdayaan” (powerless) yang gagap dan gamang dalam menyikapi kedigdayaan media informasi seperti TV. Kasus Inul, Dewa, dan sebagainya, menunjukkan, bagaimana tokoh-tokoh dan institusi keagamaan yang mencoba melawan kebathilan itu akhirnya justru dihajar habis-habisan, dilecehkan, diperhinakan oleh sang
penguasa media TV.
Melalui kekuasaannya, sang media mampu mengarahkan opini publik, bahwa yang menolak
praktik-praktik kemaksiatan adalah orang-orang yang naif, emosional, berpikiran sempit, sok moralis, dan sebagainya.
Lihatlah, hingga kini, berbagai stasiun TV secara bergiliran menampilkan figur Artika Sari Devi, putri Indonesia yang berhasil masuk 15 besar dalam kontes Miss Universe di Bangkok tahun ini. Semua TV memuji Artika sebagai sosok yang sabar menghadapi ujian yang berat –berupa protes-protes sebagian masyarakat– dan telah mengharumkan nama bangsa di dunia internasional.
Orang-orang yang protes keikutsertaan Artika diposisikan sebagai berwawasan sempit, karena
mempersoalkan soal kecil, yaitu masalah “pakaian renang”.
Bahkan, Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Meutia Hatta secara implisit juga ikut mengakui jasa Artika buat bangsa. Opini publik digiring dengan sangat kuat, untuk mengakui bahwa Artika adalah pahlawan bangsa, sedangkan yang memprotes Artika adalah manusia-manusia picik, naif dan dungu.
Apa yang sedang terjadi saat ini adalah terjadinya penghancuran besar-besaran terhadap nilai-nilai
kebenaran dan kebathilan dalam masyarakat kita. Jika digunakan teori konspirasi, ternyata hal ini sulit lagi dipetakan. Meskipun sebagian besar pemilik stasiun TV adalah non-Muslim, tetapi ternyata TV yang dimiliki Muslim (seperti Trans TV dan Lativi) juga tidak jauh beda cara berpikir dan berperilakunya dengan stasiun TV yang dimiliki orang non-Muslim.
Tampak yang dominan adalah pola pikir “materialisme” dan “kapitalisme” yang mengedepankan keuntungan materi. Yang menjadi tolok ukur suatu acara layak ditayangkan atau tidak di TV, adalah “rating” dan daya tarik iklan.
Kampanye penyesatan, pergeseran, dan penghancuran nilai-nilai moral tampaknya dirancang dengan sangat canggih. Sebagai contoh dalam kasus Artika. Orang tidak diajak berdiskusi dalam soal substansi tentang nilai manusia, tetapi dibelokkan ke masalah “pakaian renang.”
Acara-acara kontes kecantikan adalah sebuah bentuk penistaan manusia dan penghancuran tata nilai kemanusiaan. Apa pun alasannya, kontes semacam ini, tetap lebih mementingkan unsur kecantikan fisik yang “given” dari Tuhan. Seorang dihargai karena cantik, bukan karena prestasi dan usaha kerasnya.
Dalam Islam, yang paling bertaqwa dinilai yang paling mulia. Tapi, soal pakaian juga bukan soal kecil. Protes terhadap masalah itu juga merupakan hal yang prinsip. Karena dianggap hal penting itulah, maka peserta kontes Miss Universe diwajibkan memakai pakaian renang dalam salah
satu sesi acara.
Kita bertanya, apa hubungannya kewajiban mengenakan pakaian renang dengan kemuliaan
seorang wanita? Mengapa hal ini tidak diprotes oleh Artika dan pendukungnya?
Promosi dan kampanye kebatilan semacam ini saat ini berlangsung dari menit ke menit melalui layar TV yang menerobos masuk tanpa permisi ke kamar-kamar masyarakat. Tak terkecuali kampanye legalisasi perkawinan sesama jenis, seperti yang dilakukan Trans TV.
Pemilik dan awak televisi ini seperti tutup mata dan telinga, bahwa apa yang mereka lakukan adalah
sebuah tindakan yang sangat bejat dan biadab, karena telah mempromosikan sebuah kebatilan. Jika mereka muslim, mestinya mereka sadar, bahwa praktik homoseksual dan lesbianisme adalah tindakan bejat.
Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa praktik homoseks merupakan satu dosa besar dan sanksinya sangat berat. Rasulullah saw bersabda, “Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaki).
Imam Syafii berpendapat, bahwa pelaku homoseksual harus dirajam (dilempari batu sampai mati) tanpa membedakan apakah pelakunya masih bujangan atau sudah menikah.
Untuk pelaku praktik lesbi (wanita dengan wanita), diberikan ganjaran hukuman kurungan dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya. (QS 4:15). Para fuqaha membedakan hukuman antara pelaku homoseksual (sesama laki-laki) dengan lesbian (sesama wanita). Pelaku lesbi tidak dihukum mati.
Dalam Kitab Fathul Mu’in –kitab fiqih yang dikaji di pesantren-pesantren Indonesia-- dikatakan, bahwa pelaku lesbi (musaahaqah) diberi sanksi sesuai dengan keputusan penguasa (ta’zir).
Jadi, bagaimana pun, homoseksual dan lesbian adalah sebuah praktik kejahatan kriminal,
dan tidak patut dipromosikan apalagi dilegalkan.
Dalam agama Kristen pun, homoseksual masih tetap dipandang sebagai kejahatan. Paus saat ini, Benediktus XVI, dikenal sebagai penentang gigih praktik homoseksual, meskipun dia sendiri tidak menikah.
Dalam Kitab Imamat (Leviticus) 20:13, disebutkan: “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.”
Karena itu, kita tidak habis mengerti, mengapa sebuah stasiun TV, seperti Trans-TV berani-beraninya mempromosikan sebuah kejahatan, berupa homoseksual dan lesbianisme. Keuntungan apakah yang mereka raup dari promosi kejahatan seperti ini?
Yang masih kita syukuri, saat itu, TransTV tidak menampilkan orang-orang sekular-liberal dari kalangan agama tertentu yang melegalisasi praktik semacam itu.
Di dunia Kristen, sudah lazim ditemukan tokoh-tokoh agama Kristen yang menghalalkan homoseksual atau bahkan yang secara terang-terangan menjalankan praktik homoseksual. Kita masih ingat, bagaimana pada tanggal 2 November 2003, dunia Kristen diguncang hebat oleh
satu peristiwa dilantiknya Gene Robinson, seorang gay, sebagai Uskup Gereja Anglikan di New Hampshire, Amerika Serikat.
Posisi yang ditempati Robinson merupakan jabatan tertinggi yang pernah dicapai oleh
seorang gay di lingkungan Gereja.
Robinson (56 tahun) adalah pelaku homoseksual yang telah hidup bersama dengan pasangan homoseks-nya bernama Mark Andrew, selama 14 tahun. Bisa dibayangkan, selama ia menjadi tokoh gereja pun, sebenarnya publik telah mengatahui perilakunya.
Dalam acara penobatannya sebagai Uskup, Mark Andrew-lah yang menyerahkan topi keuskupan (bishop's miter) kepada Robinson. Di akhir upacara penobatannya, Gene Robinson
menatap publik, dan bersama-sama mereka menyanyikan lagu "Hallelujah".
Itu terjadi di dunia Kristen. Di kalangan Islam, bahkan di lingkungan pendidikan tinggi Islam, juga
sudah muncul kondisi serupa. Sejumlah akademisi Islam yang belajar Islam di IAIN memberikan legitimasi terhadap perkawinan sejenis.
Tahun 2004 lalu, “Jurnal Justisia” terbitan Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, menulis “cover story” dengan judul “Indahnya Kawin Sesama Jenis”. Isi jurnal ini kemudian juga disebarkan melalui sebuah media internet (www.indoqueer.com).
Dari delapan artikel utama yang membahas isu tersebut, semuanya menyuarakan keberpihakannya terhadap pernikahan gay dan homoseksualitas secara umum, kecuali satu tulisan saja yang dengan tegas mengharamkannya.
Dikatakan di Jurnal ini, bahwa “Hanya orang primitif saja yang yang melihat perkwinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.
Jika dulu Tuhan mengutus Luth untuk menumpas kaum homo karena mungkin bisa menggagalkan proyek Tuhan dalam menciptakan manusia (karena waktu itu manusia masih sedikit)?”
M Kholidul Adib Ach yang menulis artikel berjudul "Agama Peduli Homoseksual: Membebaskan Kaum Homoseksual dari Penindasan Agama", berpendapat begini: “Pengharaman nikah sejenis adalah bentuk kebodohan umat Islam generasi sekarang karena ia hanya memahami doktrin agamanya secara given, taken for granted, tanpa ada pembacaan ulang secara kritis atas
doktrin tersebut.”
Menurut pemimpin redaksi Jurnal Justisia ini, pembacaan yang dilakukan umat sekarang atas kisah kaum Luth hanya sebatas permukaan dan tidak membaca "narasi yang tak tampak".
Katanya, "Boleh jadi cerita kaum Luth ini, kalaupun benar adanya, jangan-jangan malah
cuma mitos, terdapat kepentingan politik Luth terhadap seseorang yang kebetulan homoseks."
Senada dengan Kholidul Adib, penulis lain bernama Sumanto al-Qurtuby yang juga redaktur eksekutif Justisia mengkritisi kisah yang sama dengan pertanyaan, andaikan kisah Luth itu "historis", apakah homoseksualitas merupakan unsur utama atau komplemen saja?
Qurtuby memberi ilustrasi dengan menyebut kisah perseteruan mantan PM Mahathir
Muhammad dengan Anwar Ibrahim di Malaysia: sebuah kisah pertandingan politik yang dibungkus dengan isu sodomi.
Jika kita ikuti wacana dan perdebatan tentang homoseksual yang diangkat sebagian mahasiswa IAIN Semarang ini, nyaris sama dengan wacana serupa di kalangan Kristen.
Dalam kasus homoseksual, para teolog Kristen pendukung homoseksual juga berlomba-lomba membuat tafsiran baru, agar praktik maksiat itu disahkan oleh Gereja. Dalam Bible, Kitab Kejadian 19:4-11, diceritakan tentang hukuman Tuhan terhadap kaum Sodom dan Gomorah.
Pada umumnya, kaum Kristen memahami, bahwa homoseksual adalah penyebab kaum itu dihancurkan oleh Tuhan. Sehingga mereka mempopulerkan istilah Sodomi yang menunjuk pada praktik maksiat antar sesama jenis.
Tetapi, sebagian teolog Kristen pendukung homoseksual kemudian membuat tafsiran lain. John J. McNeill SJ, misalnya, menulis buku “The Church and the Homosexual” memberikan justifikasi moral terhadap praktik homoseksual. Menurut dia, Tuhan menghukum kaum Sodom dan Gomorah, bukan karena praktik homoseksual, tetapi karena ketidaksopanan penduduk kota itu terhadap Tamu Lot.
Kaum Katolik mendirikan sebuah kelompok gay bernama “Dignity” yang mengajarkan, bahwa
praktik homoseksual tidak bertentangan dengan ajaran Kristus.
Tahun 1976, dalam pertemuan tokoh-tokoh Gereja di Minneapolis, AS, dideklarasikan, bahwa
“homosexual persons are children of God.”
Itulah yang terjadi dalam dunia Kristen. Dan itu pula yang sekarang sedang diusahakan oleh sebagian orang dari kalangan Muslim untuk mengikuti jejak Kristen.
Promosi homoseksual kini terus digencarkan sebagai bagian dari proses sekularisasi dan liberalisasi
Islam. Meskipun secara formal mereka mengaku Islam, para promotor kemunkaran tidak berhenti untuk mempromosikan kebatilan (al-munkar) dan justru aktif mencegah dan melawan kebenaran. Allah sudah mengingatkan akan adanya makhluk-makhluk seperti ini:
No comments:
Post a Comment