Dalam kunjungannya ke beberapa negara di Amerika Selatan beberapa waktu lalu, George Bush menyatakan bahwa
kemakmuran hanya dapat diraih dengan demokrasi yang kuat (Republika, 9 Maret 2007). Warta tentang demokrasi
tersebut ditunjukkan untuk mengkritik semangat “kiri” yang semakin menguat di kawasan Amerika Latin.
Bukan hal baru bahwa Bush dan para pejabatnya selalu berkoar bahwa peran Amerika yang dominan dalam kancah
internasional adalah dalam rangka mengemban misi demokrasi. Kampanye “demokrasi” paling
sensasional pada pembuka milenium ini barangkali adalah invasi militer mereka ke Irak sejak tahun 2003. Demokrasi
memang menjadi agama bagi Amerika. Ia musti disebarkan dengan cara apapun.
Dasar religius demokrasi Amerika dapat dibaca dari karya Alexis de Tocqueville, Democracy in America, sarjana Eropa
generasi pertama yang melakukan kajian terhadap perkembangan demokrasi di Amerika. Menurutnya, institusi
demokrasi pertama di Amerika adalah agama. Ajaran materialisme sekuler Eropa, bagi orang Amerika, justru lebih
mendukung aristokrasi daripada demokrasi.
Ajaran-ajaran Kristiani lah yang, menurut Tocqueville, mendukung tiga premis utama bagi demokrasi modern: harga diri
(dignity) setiap individu yang berakar pada kebebasan dan menjadikan setiap orang sebagai bayangan Tuhan (imago
Dei); prinsip kesetaraan universal (equality) bagi semua orang di hadapan Tuhan; dan ide tentang kemerdekaan
manusia (liberty) yang merupakan tujuan dan prinsip penciptaan manusia oleh Tuhan.
Dasar religius bagi demokrasi modern ini memuaikan makna demokrasi bukan sekadar sebagai prinsip bernegara,
namun juga sebagai etos budaya, nilai universal bahkan sebagai ideologi dan agama itu sendiri.
Bangsa tanpa tradisi
Demokrasi Amerika bertumbuh dalam kawasan yang sama sekali baru. Penduduk yang mewarisi dan mendominasi
tanah Amerika adalah para budak imigran yang meninggalkan tanah kelahiran mereka di Eropa. Mereka telah
melepaskan ikatan mereka dari tradisi lama mereka. Warisan yang mereka kenal hanyalah protestanisme dan
kolonialisme Inggris.
Setelah revolusi abad delapan belas, mereka mewarisi sebuah masyarakat tanpa tradisi dan tata sosial. Tidak ada
feodalisme, Gereja Katholik bahkan kepemilikan atas tanah. Tanah diperebutkan antar-mereka hingga mengakibatkan
perang saudara.
Jika di Eropa Protestanisme memberi spirit bagi berkembangnya kapitalisme, maka di Amerika agama itu memberi spirit
berseminya perlawanan terhadap kolonialisme dan bertumbuhnya demokrasi sebagai tata sosial-politik baru. Maka,
demokrasi Amerika berkembang dalam waktu singkat karena ia merupakan satu-satunya nilai yang mendukung
pembentukan bangsa baru Amerika saat itu.
Hal itu tidak bisa disamakan dengan pergulatan demokrasi di Eropa yang merupakan antiklimaks dari puluhan abad
dominasi Gereja Katholik dan monarki feodal. Bagi bangsa Eropa, harga yang harus dibayar oleh demokrasi adalah
penghancuran total terhadap warisan-warisan tradisi dan budaya mereka.
Agama radikal
Kenyataan seperti itulah yang membuat bangsa Amerika begitu bangga akan demokrasi mereka. Demokrasi yang lahir
dari tanah hampa tradisi. Agama baru ini kemudian diwartakan kepada seluruh umat manusia dan, seiring waktu,
menjadi ajaran yang berlaku universal. Semua bangsa yang akan berdemokrasi musti berkiblat pada negeri Amerika.
Sebagai misi suci (mission sacré), kampanye dan penyebaran agama ini ditempuh dengan aneka ragam cara. Mulai dari
cara persuasif sampai represif; dari jalan kultural hingga yang struktural; mulai penetrasi ideologis hingga invasi militer.
Mendemokratisasikan manusia di seluruh muka bumi adalah – meminjam term Calvinis – sebuah
panggilan religius (beruf) yang harus dipenuhi semua warga Amerika.
Atas dasar itu, seluruh komponen masyarakat Amerika terlibat dalam agenda ini. Pemerintah, partai politik hingga
swasta bahu membahu dalam melakukan ekspansi tradisi demokrasi mereka ke seluruh penjuru bumi. Sejak usainya PD
II, lembaga-lembaga pemerintah dan swasta Amerika banyak mengucurkan dana bagi proyek-proyek demokrasi di
negara-negara berkembang.
Sebagai Paus demokrasi, Amerika berhak mengeluarkan penilaian atas kinerja demokrasi di sebuah negara dan
merekomendasikan bagaimana negara itu mengatasinya. Amerika menilai sejauh mana sebuah pemerintahan dipilih
secara demokratis, melibatkan kelompok-kelompok demokratis dan bekerja secara demokratis.
.:: Lakpesdam NU Ngawi ::.
http://lakpesdamngawi.org Powered by: Joomla! Generated: 22 April, 2008, 05:36
Jika sebuah pemerintahan dipilih secara demokratis, namun hasilnya memenangkan sebuah ‘kelompok yang
tidak demokratis’, maka pemerintahan itu belum memenuhi prasyarat demokrasi. Pemerintahan semacam itu
dipastikan kemudian hari tidak akan bekerja secara demokratis. Kasus kemenangan politik Hammas di Palestina adalah
contohnya.
Ideologi teroris
Beberapa waktu lalu, kementerian Luar Negeri Cina merilis catatan mereka tentang praktik pelanggaran HAM oleh
Amerika Serikat (Republika, 9 Maret 2007). Rilis itu sebagai balasan atas penilaian sama yang dilakukan AS
sebelumnya terhadap praktik HAM di negeri komunis tersebut. Dalam rilis itu, pemerintah Cina membeberkan
bagaimana kampanye militer Amerika di Irak telah menghilangkan 655 ribu nyawa manusia.
Invasi itu juga menciptakan rezim boneka yang lemah dan konflik komunal serta perang saudara yang tak berujung
hingga sekarang. Berbagai penyiksaan yang dilakukan tentara Amerika di penjara Guantanamo, bagi Cina, juga menjadi
rapor merah catatan HAM negeri Bush itu.
Di abad tengah di Eropa dikenal doktrin yang sangat diagungkan, “tiada keselamatan di luar Gereja”. Bush
telah mengulangi doktrin yang digugat oleh Martin Luther itu dalam formulasi baru, “tiada keselamatan dan
kemakmuran di luar demokrasi”. Doktrin Bush ini mungkin tidak terlalu bermasalah manakala term
‘demokrasi’ diberi kebebasan memaknai dirinya sendiri, sesuai tempat di mana dan pada siapa ia melekat.
Tapi, jika sebaliknya, demokrasi bisa menjadi ideologi dan agama kaum teroris. Amerika telah membuktikannya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment