Keberhasilan
Sementara itu, Co Chairman Komite Konferensi IAPC, ke-40, Robert Murdoch, menambahkan, Selain sebagai penghargaan, dipilihnya Indonesia menjadi tempat pertemuan juga merupakan perwujudan perjuangan IAPC untuk mempromosikan demokrasi di seluruh dunia, ujar Robert. (web.bisnis.com, 13/11/07)
Antara “Demokrasi Prosedural” dan Sistem Demokrasi
Siapapun yang mengkaji demokrasi tentu tidak akan melupakan dua hal: “demokrasi prosedural” dan sistem demokrasi. “Demokrasi prosedural” di antaranya mewujud dalam partisipasi rakyat dalam Pemilu, transparansi dan akuntabilitas. Dalam konteks Pemilu, misalnya, sejak merdeka hingga hari ini,
Namun, jangan lupa, penilaian itu hanya menyangkut Pemilu sebagai salah satu instrumen “demokrasi prosedural”. Apalagi IAPC sendiri adalah lembaga yang hanya menganalisis Pemilu di seluruh dunia. (http://innphotoes.com, 13/11/07). Ini berarti, keberhasilan demokrasi
Pemilu yang demokratis tentu tidak bisa dijadikan ukuran suksesnya sebuah negara, apalagi jika dikaitkan dengan persoalan kemakmuran warga negaranya, misalnya. Berdasarkan laporan penelitian Guru Besar Ilmu Politik University of California, Los Angeles (UCLA) Michael Ross, yang diberi judul, “Is Democracy Good for the Poor?” pemerintahan yang demokratis terbukti tidak mendorong perbaikan kesejahteraan kaum termiskin. Setidaknya itulah yang terjadi di 169 negara dalam kurun waktu 1970-2000. Di Indonesia sendiri, seiring dengan puja-puji atas Pemilu yang dianggap demokratis tersebut, laporan Bank Dunia justru menyebutkan bahwa sampai September tahun 2006 terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin hingga mencapai 17,5 persen dari total penduduk Indonesia atau sekitar 39 juta penduduk. Angka ini tidak jauh berbeda dengan temuan Biro Pusat Statistik (BPS) dari Februari 2005 sampai Maret 2006. Bahkan BPS menyatakan, pada Februari 2005, sekitar 30,29% penduduk hampir miskin menjadi jatuh miskin pada Maret 2006. Pada saat yang sama, 11,82% penduduk hampir tidak miskin pada Februari 2005, jatuh miskin pada Maret 2006 (Demografi, Oktober 2006).
Karena itu, Pemilu demokratis jelas tidak bisa dijadikan ukuran kesuksesan sebuah negara. Lebih dari itu, terlalu dangkal jika demokrasi dipahami sebatas “demokrasi prosedural” semacam ini, apalagi hanya dipahami lewat Pemilu, seraya mengabaikan demokrasi sebagai sistem (baca: sistem demokrasi), yang justru telah memproduksi banyak keburukan.
Hakikat Sistem Demokrasi
Sistem demokrasi di negara manapun selalu mencerminkan paling tidak dua hal: (1) Kedaulatan rakyat; (2) Jaminan atas kebebasan umum.
Kedaulatan rakyat.
Demokrasi identik dengan jargon “dari rakyat-oleh rakyat-untuk rakyat”. Secara teoretis memang demikian. Justru di sinilah pangkal persoalan demokrasi, khususnya jika dilihat dari sudut pandang ajaran Islam yang hanya mengakui “kedaulatan Hukum Syariah (Hukum Allah)”. Dalam demokrasi, rakyat (manusia) diberi kewenangan penuh untuk membuat hukum, termasuk membuat hukum yang bertentangan dengan aturan-aturan Allah (syariah). Inilah yang terjadi di negara-negara yang menerapkan demokrasi, termasuk
Adapun secara praktis, kedaulatan rakyat sebetulnya hanyalah ‘lipstik’. Faktanya, di Indonesia sendiri, yang berdaulat bukanlah rakyat, tetapi para elit wakil rakyat, termasuk elit penguasa, yang bahkan sering dipengaruhi oleh kepentingan para pemilik modal atau negara-negara asing. Tidak aneh jika banyak UU atau keputusan yang merupakan produk lembaga wakil rakyat (DPR) maupun Presiden—yang juga langsung dipilih oleh rakyat—sering bertabrakan dengan kemauan rakyat. Betapa sering kebijakan Pemerintah yang diamini para wakil rakyat justru didemo oleh rakyat sendiri.
Jaminan atas kebebasan umum.
Pertama: kebebasan beragama. Intinya, seseorang berhak meyakini suatu agama/keyakinan yang dikehendakinya tanpa tekanan atau paksaan. Dia berhak pula meninggalkan agama dan keyakinannya, lalu berpindah pada agama atau keyakinan baru.
Kedua: kebebasan berpendapat. Intinya, setiap individu berhak mengembangkan pendapat atau ide apapun dan bagaimanapun bentuknya tanpa tolok ukur halal-haram.
Ketiga: kebebasan kepemilikan. Intinya, seseorang boleh memiliki harta (modal) sekaligus mengembangkannya dengan sarana dan cara apa pun. Di Indonesia, pihak asing bahkan diberikan kebebasan untuk menguasai sumberdaya alam milik rakyat, antara lain melalui UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, dll.
Keempat: kebebasan berperilaku. Intinya, setiap orang bebas untuk berekspresi, termasuk mengekspresikan kemaksiatan seperti: membuka aurat di tempat umum, berpacaran, berzina, menyebarluaskan pornografi, melakukan pornoaksi, melakukan praktik homoseksual dan lesbianisme, dll.
Jelaslah, hakikat sistem demokrasi menjauhkan hukum Allah dan menanamkan liberalisasi.
Dampak Buruk Sistem Demokrasi
Dampak paling buruk dari penerapan sitem demokrasi tentu saja adalah tersingkirnya aturan-aturan Allah (syariah Islam) dari kehidupan masyarakat. Selama lebih dari setengah abad, negeri yang notabene berpenduduk mayoritas Muslim ini menerapkan sistem demokrasi. Selama itu pula syariah Islam selalu dicampakkan. Segala upaya untuk memformalkannya dalam negara selalu dihambat, baik pada masa Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi saat ini.
Dampak buruk lainnya antara lain sebagai berikut:
Pertama, akibat kebebasan beragama: muncul banyak aliran sesat di Indonesia. Sejak 2001 hingga 2007, sedikitnya ada 250 aliran sesat yang berkembang di Indonesia. (Waspada.co.id, 1/11/07).
Kedua, akibat kebebasan berpendapat: muncul ide-ide liberal seperti pendapat yang mengatakan bahwa syariah Islam, misalnya, jika diterapkan, akan mengganggu stabilitas, mengancam kemajemukan, menimbulkan disintegrasi, dll. Mereka yang berpendapat demikian, yang jelas-jelas melecehkan Islam, juga dibiarkan tanpa pernah bisa diajukan ke pengadilan. Itulah yang terjadi, khususnya di
Ketiga, akibat kebebasan kepemilikan: banyak sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh individu, swasta atau pihak asing. Sejak tahun 60-an Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6/1968). UU ini memberikan peluang kepada perusahaan swasta untuk menguasai 49 persen saham di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN. Tahun 90-an Pemerintah kemudian mengeluarkan PP No. 20/1994. Isinya antara lain ketentuan bahwa investor asing boleh menguasai modal di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN, hingga 95 persen. Kini, pada masa yang disebut dengan ‘Orde Reformasi’, privatisasi dan liberalisasi atas sektor-sektor milik publik semakin tak terkendali. Minyak dan gas, misalnya, yang seharusnya menjadi sumber utama pendapatan negara, 92%-nya sudah dikuasai oleh asing.
Keempat, akibat kebebasan berperilaku: Tersebarluasnya pornografi dan pornoaksi. Laporan kantor berita Associated Press (AP) menyebutkan,
Khatimah
Dari paparan di atas, jelas bahwa sebagai negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim, sebetulnya
Karena itu, belum saatnyakah kita mencampakkan demokrasi yang terbukti buruk dan menjadi sumber keburukan? Belum saatnyakah kita segera beralih pada aturan-aturan Allah, yakni syariah Islam, dan menerapkannya secara total dalam seluruh aspek kehidupan? Belum tibakah saatnya kita bertobat dan segera menyambut seruan Allah:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
No comments:
Post a Comment