Dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja (TQS an-Nisa [4]: 3)
Berikanlah maskawin (mahar)
kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
Akibatnya (TQS an-Nisa [4]: 4)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan
isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 1)
“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya
Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka
setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang
ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian
tatkala dia merasa berat, keduanya (suami isteri) bermohon kepada
Allah, Tuhannya seraya berkata,”Sesungguhnya jika Engkau
memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orangorang
yang bersyukur.” (TQS al-A‘râf [7]: 189)
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak anak dan
cucu-cucu...” (TQS an-Nahl [16]: 72)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu
rasa kasih dan sayang.” (TQS ar-Rûm [30]: 21)
“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari
jenis kamu sendiri pasangan-pasangan.” (TQS asy-Syûrâ [42]: 11)
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.”
(TQS al-Hujurât [49]: 13)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum
kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan
keturunan.” (TQS ar-Ra’d [13]: 38)
“Janganlah sekali-kali seorang pria berkhalwat dengan seorang
wanita kecuali jika wanita itu disertai seorang mahramnya. Tidak
boleh pula seorang wanita melakukan perjalanan kecuali disertai
mahram-nya. Tiba-tiba salah seorang sahabat berdiri dan berkata,
‘Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya istriku hendak pergi
menunaikan ibadah haji, sedangkan aku sudah ditugaskan ke
peperangan anu dan anu.” Rasulullah SAW menjawab, ‘Pergilah
engkau dan tunaikan ibadah haji bersama istrimu.” (HR Muslim)
Ibn Baththah telah menuturkan sebuah riwayat dalam kitab
Ahkâm an-Nisâ’ yang bersumber dari penuturan Anas RA. Disebutkan
bahwa, ada seorang laki-laki yang bepergian dan melarang istrinya keluar rumah. Kemudian dikabarkan bahwa ayah wanita itu sakit.
Wanita itu lantas meminta izin kepada Rasulullah SAW agar dibolehkan
menjenguk ayahnya. Rasulullah SAW kemudian menjawab:
“Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan janganlah engkau
melanggar pesan suamimu.”
Tidak lama kemudian, ayah wanita itu meninggal. Wanita itu
pun kembali meminta izin kepada Rasulullah SAW agar dibolehkan
melayat jenazah ayahnya. Mendengar permintaan itu, beliau kembali
bersabda:
“Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan janganlah engkau
melanggar pesan suamimu.”
Allah SWT kemudian menurunkan wahyu kepada Nabi SAW:
“Sungguh, Aku telah mengampuni wanita itu karena ketaatan
dirinya kepada suaminya.”
Imam ath-Thabrânî telah meriwayatkan sebuah hadis yang
menyebutkan bahwa Rasulullah SAW. telah bersabda:
“Siapa saja yang memasukkan pandangannya ke dalam rumah
orang lain tanpa seizin penghuninya, berarti ia telah menghancurkan
rumah itu”.
Imam Abû Dâwûd juga menuturkan riwayat sebagai berikut:
Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apakah
aku harus meminta izin kepada ibuku?” Beliau menjawab, “Tentu
saja.” Laki-laki itu kemudian berkata lagi, “Sesungguhnya ibuku
tidak memiliki pembantu selain diriku. Lalu, apakah setiap kali aku
masuk (rumah) harus meminta izin?”Rasulullah SAW balik bertanya,
“Apakah kamu senang melihat ibumu telanjang?” Laki-laki itu pun
berkata, “Tentu tidak.” Selanjutnya, Rasulullah SAW bersabda,
“Karena itu mintalah izin kepadanya.”
“Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka
janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika
dikatakan kepadamu,’Kembali (saja)-lah’, maka hendaklah kamu
kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (TQS an-Nûr [24]: 28)
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki
dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig
di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu
hari) yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan
pakaian (luar)-mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya’.
(Itulah) tiga `aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak
(pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani
kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang
lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan apabila anakanakmu
telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta
izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (TQS an-Nûr [24]: 58-59)
“Katakanlah kepada wanita yang beriman,’Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya,
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka
miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita.” (TQS an-Nûr [24]: 31)
Pada saat keluar dari masjid, Rasulullah SAW memerintahkan
kaum wanita keluar lebih dulu kemudian disusul oleh kaum pria
sehingga kaum wanita terpisah dari kaum pria. Imam Bukhari
meriwayatkan dari Hindun binti Al-Harits dari Ummu Salamah isteri
Nabi SAW:
Bahwa kaum wanita pada masa Rasulullah SAW jika telah
mengucapkan salam dari shalat wajib, mereka berdiri. Rasulullah
SAW dan kaum pria diam di tempat selama waktu yang dikehendaki
Allah. Maka jika Rasulullah SAW berdiri, berdirilah kaum pria.”
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai pandangan
yang tiba-tiba (tidak disengaja). Maka Beliau menyuruhku untuk
memalingkan pandanganku.” (HR Muslim).
“Janganlah engkau ikuti pandangan pertama dengan pandangan
berikutnya. Karena pandangan pertama adalah untukmu,
sedangkan pandangan berikutnya bukanlah untukmu” (HR
Ahmad, dari jalur Buraidah).
“Siapa saja yang mengulurkan pakaiannya karena sombong, Allah
tidak akan memandangnya pada Hari Kiamat.” Ummu Salamah
bertanya, “lalu, bagaimana wanita memperlakukan ujung pakaian
mereka?” Rasulullah SAW menjawab, “Hendaklah mereka ulurkan
sejengkal.” Ummu Salamah berkata lagi, “Kalau begitu, akan
tampak kedua telapak kakinya.” Rasulullah menjawab lagi,
“Hendaklah mereka ulurkan sehasta dan jangan ditambah lagi.”
(HR Tirmidzî)
hadits
yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhârî dari Abdullâh ibn ’Abbâs RA,
ia berkata:
Suatu ketika, al-Fadhl ibn ‘Abbâs membonceng Nabi SAW, lalu
datang seorang wanita dari Khats‘am. Al-Fadhl lantas memandang
wanita itu dan wanita itu pun memandangnya. Maka Rasulullah
memalingkan wajah Fadhl ke arah yang lain.
Al-‘Abbâs RA kemudian bertanya kepada Rasulullah SAW: “Ya
Rasulullah, mengapa engkau memalingkan leher sepupumu?”
Rasulullah SAW menjawab, “Karena aku melihat seorang pemuda
dan seorang pemudi yang tidak aman dari gangguan setan.”
janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahulu.” (TQS al-Ahzâb [33]: 33)
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan.” (TQS an-Nûr [24]: 31)
“Wanita siapa saja yang memakai wewangian kemudian melewati
suatu kaum agar mereka mencium aromanya, maka ia (seperti)
wanita yang berzina (pelacur).” (HR Ibn Hibbân dan al-Hâkim)
“Ada dua golongan di antara penghuni neraka yang belum pernah
aku lihat keduanya: suatu kaum yang membawa cambuk seperti
ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul orang-orang; dan
perempuan yang berpakaian tapi telanjang yang cenderung dan
mencenderungkan orang lain, rambut mereka seperti punuk onta
yang miring. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan
mencium aroma surga. Dan sesungguhnya aroma surga itu bisa
tercium sejauh perjalanan demikian dan demikian.” (HR Muslim
dari jalur Abû Hurayrah)
diriwayatkan dari Ummu Salamah, ia
menuturkan:
“Aku pernah duduk di sisi Nabi SAW, Aku dan Maimunah. Lalu
Ibn Ummi Maktum meminta izin. Maka Nabi saw. bersabda,
“berhijablah kalian darinya.” Aku berkata, “Ya Rasulullah,
sesungguhnya dia buta, tidak bisa melihat.” Beliau bersabda,
“Apakah kalian berdua juga buta dan tidak melihatnya?”(HR Abû
Dâwud)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumahrumah
Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak
menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu
diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah
kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang
demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu
(untuk menyuruh kamu ke luar), dan Allah tidak malu
(menerangkan) yang benar. (TQS al-Ahzâb [33]: 53)
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya,
perkataan “Ah!” (TQS al-Isrâ’ [17]: 23)
Dari Ummu ‘Athiyah RA,
ia berkata:
“Rasulullah SAW memerintahkan agar kami mengeluarkan para
wanita, yakni hamba-hamba sahaya perempuan, wanita-wanita yang
sedang haid, dan para gadis yang sedang dipingit, pada hari Raya
Idul Fitri dan Idul Adha. Wanita-wanita yang sedang haid, mereka
memisahkan diri tidak ikut menunaikan shalat, tetapi tetap
menyaksikan kebaikan dan (mendengarkan) seruan kepada kaum
Muslim. Aku lantas berkata, “Ya Rasulullah, salah seorang di antara
kami tidak memiliki jilbab.” Rasulullah pun menjawab, “Hendaklah saudaranya memakaikan jilbabnya kepada wanita itu.” (HR
Muslim).
“Janganlah seorang wanita yang sedang berihram mengenakan
cadar dan jangan pula menutup kedua tangannya (mengenakan
sarung tangan).”
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap
dalam keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki
dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`,
laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan
yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut
(nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan
dan pahala yang besar.” (TQS al-Ahzâb [33]: 35)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya
akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS an-Nahl [16]:
97)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki
maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu
masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 124)
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan”
(TQS Ali ‘Imrân [3]: 195)
“Bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 32)
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 7)
“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bahagian dua orang anak perempuan” (TQS an-Nisâ [4]: 11)
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga
itu” (TQS an-Nisâ’ [4]: 12)
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang
lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.”
(TQS al-Baqarah [2]: 282)
Imam al-Bukhârî mengeluarkan
hadits dari jalur ’Uqbah bin al-Hârits, ia berkata: “Aku menikahi seorang
wanita, lalu datang seorang wanita dan berkata: “Sesungguhnya aku telah menyusui kalian berdua”. Maka aku mendatangi Nabi SAW, lalu
Beliau bersabda:
“Bagaimana lagi karena sudah dikatakan? Tinggalkan dia!”, atau
semisalnya.” Di dalam riwayat yang lain “maka Nabi melarangnya”.
“Rasulullah SAW telah melaknat seorang pria yang berpakaian
mengenakan pakaian wanita dan seorang wanita yang berpakaian
mengenakan pakaian pria.” (HR al-Hâkim, dan ia
menshahihkannya)
Diriwayatkan dari Ibn Abî Mulaykah, ia berkata:
“Pernah dikatakan kepada ‘Aisyah RA: “Jika seorang wanita
mengenakan terompah?.” ‘Aisyah berkata: “Rasulullah telah melaknat wanita yang menyerupai pria (rajulah min an-nisâ’).” (HR
adz-Dzahabi, ia berkata: sanadnya hasan)
“Rasulullah SAW telah melaknat pria yang bertingkah laku seperti
wanita dan seorang wanita yang bertingkah laku seperti pria.
Rasulullah SAW bersabda: Keluarkanlah mereka dari rumah-rumah
kalian. Ibn ’Abbâs berkata: “Maka Nabi SAW pernah mengeluarkan
si Fulan dan Umar juga pernah mengeluarkan si Fulan” (HR al-
Bukhârî)
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (TQS an-Nisâ’ [4]:
4)
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya.” (TQS ath-Thalâq [65]: 7)
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para
ibu.” (TQS al-Baqarah [2]: 233)
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (TQS an-Nisâ’
[4]: 3)
“Ya Rasulullah, sungguh Abû Sufyân seorang pria yang sangat pelit.
Ia tidak memberikan nafkah yang cukup bagi diriku dan anakku”.
Maka Rasulullah SAW bersabda: “Ambil saja olehmu apa yang
mencukupi untuk dirimu dan anakmu secara makruf”. (Muttafaq
‘alayh dari jalur ‘Aisyah)
“Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan
urusan (Kepimpinan) mereka kepada seorang wanita.” (HR al-Bukhârî)
“Nabi SAW telah melarang kami dari pekerjaan seorang pelayan
wanita kecuali yang dikerjakan dengan kedua tangannya. Beliau
bersabda, “begini (dia kerjakan) dengan jari-jemarinya seperti
membuat roti, memintal, atau menenun.” (HR Ahmad)
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (TQS an-Nûr [24]: 4)
“Jauhilah oleh kalian tujuh dosa besar.” Para sahabat bertanya: “Apa
saja itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah,
sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan
alasan yang dibenarkan, memakan riba, memakan harta anak yatim,
lari dari medan perang, dan menuduh berzina atas wanita yang suci, yang tidak melakukan apa-apa.” (Muttafaq ’alayhi dari jalur
Abû Hurayrah)
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu,
dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan
mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum
kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik.” (TQS al-Mâ’idah [5]: 5)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benarbenar)
beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi
orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi
mereka.” (TQS al-Mumtahanah [60]: 10)
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik
hatimu.” (TQS al-Baqarah [2]: 221)
“Rasulullah SAW telah mengirim surat kepada orang-orang Majusi
Hajr. Beliau menyeru mereka untuk memeluk Islam. Siapa saja
yang masuk Islam, keislamannya diterima. Sebaliknya, siapa saja
yang menolak, ia dikenai kewajiban membayar jizyah, sementara
sembelihannya tidak boleh dimakan dan wanitanya tidak boleh
dinikahi.” (HR al-Bayhaqî)
“Seorang Mukmin adalah saudara bagi Mukmin lainnya. Karena
itu, seorang Mukmin tidak boleh membeli (sesuatu) di atas
pembelian saudaranya, dan tidak boleh meminang (seorang wanita)
di atas pinangan saudaranya sampai saudaranya itu menyianyiakannya
(membatalkan atau meninggalkannya, pen).” (HR
Muslim)
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan
(yang ditempuh).” (TQS an-Nisâ’ [4]: 22)
“Tidak ada pernikahan, kecuali dengan (adanya) wali.” (HR Ibn
Hibbân dan al-Hâkim)
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin dari walinya, maka
pernikahannya adalah batil, pernikahannya batil, pernikahannya
batil!” (HR al-Hâkim)
“Janganlah seorang wanita mengawinkan wanita lainnya. Dan
janganlah seorang wanita mengawinkan dirinya sendiri. Sebab,
wanita pezina itu adalah wanita yang mengawinkan dirinya sendiri.”
(HR Ibn Mâjah dan al-Bayhaqî)
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu”
(TQS ath-Thalâq [65]: 2)
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudarasaudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan
sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang
dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi
jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan
(diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum
itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu
selain yang demikian.” (TQS an-Nisâ [4]: 23-24)
“Aku pernah bertemu dengan pamanku, dan ia membawa sebuah
panji. Aku lalu bertanya: “Hendak pergi kemana engkau paman?”
Ia menjawab: “Rasulullah SAW telah mengutusku kepada seorang
pria yang telah mengawini istri bapaknya (ibu tirinya) sepeninggal
bapaknya agar aku penggal lehernya atau aku bunuh.” (HR an-
Nasâ’i dan al-Hâkim)
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja (TQS an-Nisa [4]: 3)
“Siapa saja yang mempunyai dua orang isteri, lalu ia lebih
cenderung kepada salah satu dan mengabaikan yang lain, niscaya
ia akan datang pada hari Kiamat nanti berjalan sementara salah
satu kakinya lumpuh atau pincang.” (HR Ibn Hibbân di dalam
Shahîh-nya)
“Tatkala masa ‘iddah Zaynab berakhir, Rasulullah SAW berkata
kepada Zayd: “ingatkan Zaynab terhadapku.” Zayd berkata: “lalu
aku pergi menjumpai Zaynab dan aku katakan: “wahai Zaynab,
bergembiralah! Aku telah diutus oleh Rasulullah SAW untuk
mengingatkanmu.” Zaynab berkata: “Aku tidak akan berbuat apaapa
sampai aku diperintahkan oleh Tuhanku.” Zaynab kemudian
bangkit dan pergi menuju ke masjid. Lalu turunlah ayat al-Quran.
Dan Rasulullah datang hingga beliau masuk ke ruangannya (Zaynab)
tanpa meminta izin. Ketika itulah Allah menurunkan firman-Nya
(yang artinya):” Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan
terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan
dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk
(mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anakanak
angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada
isterinya.” (TQS al-Ahzâb [33]: 37)
Rasulullah SAW pernah bersabda dalam
khutbah beliau pada saat haji Wada‘:
“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam urusan kaum wanita,
karena sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan
amanat dari Allah, dan kalian pun telah menjadikan kemaluan
mereka halal bagi kalian dengan kalimat Allah. Kalian memiliki hak
atas isteri-isteri kalian agar mereka tidak memasukkan ke tempat
tidur kalian seorang pun yang tidak kalian sukai. Jika mereka
melakukan tindakan itu, pukullah mereka dengan pukulan yang
tidak kuat (tidak menyakitkan/meninggalkan bekas). Sebaliknya,
mereka pun memiliki hak terhadap kalian untuk mendapatkan rezeki
dan pakaian (nafkah) mereka menurut cara yang makruf.”
“Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik
kepada keluarga (isteri)-nya. Dan aku adalah orang yang paling
baik dari kalian terhadap keluarga (isteri)-ku.” (HR al-Hâkim dan
Ibn Hibbân dari jalur ’Aisyah RA)
“Rasulullah SAW pernah mengajakku berlomba lari, maka aku pun
berhasil mendahului beliau. Itu sebelum badanku gemuk. Lalu aku
mengajak beliau berlomba lari setelah aku gemuk, maka beliau
berhasil mendahuluiku. Lalu beliau bersabda: “Ini untuk membalas
kekalahanku waktu itu”. (HR Ibn Hibban di dalam Shahîhnya.)
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (TQS
an-Nisâ’: 34)
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.” (TQS al-
Baqarah: 228)
“Jika seorang isteri tidur malam meninggalkan tempat tidur suaminya
niscaya para malaikat akan melaknatnya sampai ia kembali.”
(Muttafaq ’alayh dari jalur Abû Hurayrah)
“Apakah engkau sudah bersuami?” Wanita itu menjawab: “Ya”.
Beliau lantas bersabda: “Sesungguhnya ia (suamimu) adalah surga
atau nerakamu.” (HR al-Hâkim dari jalur bibinya Husayn bin
Mihshin)
Imam al-Bukhârî meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah
bersabda:
“Tidak halal bagi seorang wanita berpuasa sementara suaminya
ada di rumah, kecuali dengan izinnya. Tidak halal pula baginya
memberikan izin masuk (kepada orang lain) di rumah suaminya
kecuali dengan izinnya. Dan harta apa saja yang dibelanjakannya
tanpa seizin suaminya, maka separuh pahalanya dikembalikan
kepada suaminya.”
Janganlah kalian mengetuk pintu wanita (isteri) pada malam hari
hingga wanita itu (bisa) menyisir rambutnya yang kusut dan wanita yang ditinggal suaminya itu (bisa) mempercantik diri.” (Muttafaq
’alayh dari jalur Jâbir RA)
Rasulullah SAW juga telah memerintahkan kepada isteri-isteri
beliau untuk melayani beliau. Beliau, misalnya, berkata:
“Ya ‘Aisyah tolong ambilkan aku minum, ya ‘Aisyah tolong ambilkan
aku makan, ya ‘Aisyah tolong ambilkan aku pisau dan asahlah
dengan batu.”
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu
rasa kasih dan sayang.” (TQS ar-Rûm [30]: 21)
dari Abû Hurayrah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Ada tiga golongan orang yang wajib bagi Allah untuk menolong
mereka: seorang mujahid (yang sedang berperang) di jalan Allah;
orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan; dan
mukâtab (budak yang mempunyai perjanjian dengan tuannya untuk
menebus dirinya sehingga merdeka) yang ingin membayar tebusan
dirinya.” (HR al-Hâkim dan Ibn Hibbân)
“Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya.
Utamakanlah karena agamanya, niscaya engkau akan beruntung.”
(Muttafaq ‘alayhi)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (TQS al-
Hujurât [49]: 13)
“Kawinilah oleh kalian wanita penyayang lagi subur, karena aku
akan membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan para
nabi yang lain pada hari Kiamat kelak.” (HR Ahmad)
“Seorang gadis pernah datang kepada Rasulullah SAW, lalu ia
menceritakan bahwa ayahnya telah menikahkannya, padahal ia
tidak suka. Maka Nabi SAW memberikan pilihan kepadanya (boleh
meneruskan perkawinannya atau bercerai dari suaminya, pen).”
(HR Abû Dâwud)
“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara
mereka dengan cara yang makruf.” (TQS al-Baqarah [2]: 232)
“Seorang laki-laki pernah datang menghadap Nabi SAW, lalu ia
berkata: “Aku berniat untuk mengawini seorang wanita
berketurunan baik lagi cantik, tetapi ia mandul. Bolehkah aku
mengawininya?” Nabi SAW menjawab: “Tidak.” Lalu ia datang
untuk kedua kalinya, dan beliau tetap melarangnya. Kemudian ia
datang untuk ketiga kalinya, lantas Nabi SAW bersabda: “Kawinilah
oleh kalian wanita penyayang lagi subur, karena aku akan
membanggakan banyaknya jumlah kalian.” (HR Abû Dâwud)
Diriwayatkan dari Jâbir bahwa Nabi SAW pernah bersabda
kepadanya:
“Wahai Jabir, engkau mengawini seorang gadis atau janda?” Jabir
menjawab, “Janda.” Nabi SAW lantas bersabda: “Mengapa engkau
tidak mengawini wanita yang masih gadis agar engkau bisa bermainmain
dengannya dan ia pun dapat bermain-main denganmu?”
(Muttafaq ‘alayhi)
“Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu
menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab, pernikahan
itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan.
Siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa,
karena puasa adalah perisai baginya.” (Muttafaq ‘alayhi)
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga
kesucian (diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan
karunia-Nya.” (TQS an-Nûr [24]: 33)
“Wanita yang paling besar mendatangkan berkah adalah yang paling
mudah maharnya.” (HR al-Hâkim dari jalur ‘Aisyah)
“Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu
menanggung beban, hendaklah segera menikah.” (Muttafaq
’alayhi dari jalur Abdullâh ibn Mas’ûd)
Rasulullah SAW telah bersabda kepada seorang pria yang hendak
menikahi seorang wanita yang awalnya memasrahkan dirinya kepada
Rasul SAW:
“Apakah engkau memiliki sesuatu yang bisa engkau berikan
kepadanya? Lalu ia mencari dan tidak mendapati sesuatu pun. Rasul
bersabda: “Carilah meski hanya sebuah cincin besi!” Dan ia tidak
mendapati sesuatu pun. Maka Rasul SAW megawinkannya dengan
wanita itu dengan ayat al-Quran yang ia hafal” (HR al-Bukhârî
dari jalur Sahal ibn Sa’d as-Sa’idi)
diriwayatkan dari Qatâdah yang menuturkan riwayat dari
al-Hasan, yang bersumber dari Samurah:
“Bahwa Nabi SAW telah melarang hidup membujang.” (HR
Ahmad)
Dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja (TQS an-Nisa [4]: 3)
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,’Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Dan katakanlah
kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya…” (TQS an-Nûr
[24]: 30-31)
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kerudung ke dadanya...” (TQS an-Nûr [24]: 31)
“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu, dan isteri-isteri orang Mukmin, hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak
diganggu.” (TQS al-Ahzâb [33]: 59)
“Tidak halal seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari
Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam, kecuali jika
disertai mahram-nya.” (HR Muslim).
“Janganlah sekali-kali seorang pria dan wanita berkhalwat, kecuali
jika wanita itu disertai mahram-nya.” (HR Bukhari).
“Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita
kecuali dia disertai mahramnya, karena yang ketiga di antara
keduanya adalah setan.” (HR Muslim, dari jalur Ibnu ‘Abbâs).
“Rasulullah SAW bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian
melamar seorang wanita, maka jika ia mampu untuk melihat apa
yang mendorongnya untuk menikahi wanita itu, hendaklah ia
melakukannya.” Jâbir kemudian berkata, “Aku melamar seorang
wanita. Aku pun bersembunyi untuk melihat wanita itu hingga aku
melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya. Lalu
aku pun menikahinya” (HR al-Hâkim dan beliau berkata,”Hadits
ini sahih menurut syarat Imam Muslim).
“Sesungguhnya seorang anak perempuan jika telah haid (baligh),
tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali wajah dan kedua tangannya
hingga pergelangan tangan.” (HR Abû Dâwud).